“Canopus, Capella, Vega?” ucap Sherina takjub setelah mendengar penjelasan Sadam dalam film “Petualangan Sherina”. Langit dan objeknya yang menakjubkan memang tidak pernah kehilangan pesona untuk menginspirasi umat manusia sejak dulu. Kebudayaan mengamati langit telah menjadi bagian dari tumbuh kembangnya peradaban manusia.
Fenomena yang terjadi di langit tidak jarang menjadi bahan inspirasi untuk menentukan hari baik pernikahan, kapan memulai bercocok tanam, melakukan aktivitas keagamaan atau pemujaan di zaman nenek moyang kita dulu. Sebagai contoh, fenomena gerhana matahari sering dihubungkan dengan kemarahan dewa sehingga dibutuhkan upacara pengorbanan di suku-suku tertentu. Kita pun akan menemui cerita-cerita rakyat yang terkait erat dengan langit, seperti Rangga dan penciptaan bulan serta bintang-bintang (Papua), cerita Datu Makoto dan Sanggiyang Selli (Sulawesi), Nini Anteh (Jawa Barat), dan masih banyak lagi.
Kebudayaan langit selain tersimpan dalam bentuk cerita daerah juga ada dalam peninggalan kebudayaan seperti kuil, prasasti dan candi (Stonehenge, Inggris; Candi Borobudur, Indonesia; Piramida Giza, Mesir, dan lain-lain). Contoh lain dalam kebutuhan praktis adalah penggunaan posisi bintang sebagai acuan untuk memulai bercocok tanam, seperti posisi rasi Orion (Waluku).
Di masa modern seperti sekarang ini, tidak banyak orang-orang yang mengamati langit untuk tujuan pertanian. Mereka tidak terlalu menghubungkan fenomena langit dengan kehidupan. Masyarakat yang sudah banyak terfokus di perkotaan sulit untuk menemukan tempat yang bagus untuk menikmati langit malam karena kesibukan yang tidak mengenal waktu serta polusi cahaya.
Sekarang, kita tidak lagi membuat janji dengan patokan matahari atau bulan secara langsung, tetapi cukup dengan menyebutkan tanggal dan jam yang sudah disepakati secara global. Kebutuhan sistem waktu dan penanggalan yang baik memerlukan sebuah sistem acuan dan perhitungan yang akurat. Pergerakan benda-benda langit termasuk bumi menjadi acuan yang baik dalam penentuan sistem kalender dari dulu sampai sekarang.
Secara umum dalam astronomi, sistem kalender berpatokan pada pergerakan matahari atau syamsiah (kalender masehi), bulan atau kamariah (kalender hijriyah), atau kombinasi keduanya. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat bagaimana menentukan beberapa tanggal merah yang bertepatan dengan hari raya keagamaan secara astronomi (khususnya di Indonesia).
Hari Raya Waisak
Waisak merupakan hari suci umat Buddha dalam rangka memperingati tiga peristiwa penting, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta, kebangkitannya menjadi Buddha dan wafatnya. Pada umumnya, bangsa di Asia menyelenggarakan Waisak saat bulan purnama di bulan Mei atau Juni. Bulan purnama penuh dalam astronomi akan terjadi jika posisi bulan berada 180 derajat dari posisi matahari atau disebut oposisi hakiki.
Untuk penentuan tanggal Waisak itu sendiri, waktu terjadinya oposisi hakiki masih mengacu pada zona waktu di India sebagai asal dari agama ini (Universal Time (UT) + 5,5 jam). Jika terjadi dua oposisi hakiki antara tanggal 6 Mei – 6 Juni, referensinya adalah Waisak tahun sebelumnya . Jika Waisak tahun sebelumnya berlangsung bulan Mei, aka tahun berikutnya dipiliih bulan Mei.
Hari Raya Nyepi
Nyepi adalah hari raya umat Hindu setiap tahun baru Saka (kalender yang menggunakan matahari-bulan). Hari raya Nyepi ditetapkan berdasarkan peristiwa bulan baru atau bulan mati atau konjungsi atau ijtimak. Pertanyaannya, bulan mati yang mana? Bulan mati yang berdekatan dengan tanggal 21 Maret saat matahari cukup dekat dengan ekuator langit atau jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX), yakni bulan mati kesembilan, dalam hitungan umat Hindu dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup.
Tilem ditentukan dengan cara tabulasi atau urfi, bukan bulan mati secara perhitungan astronomi atau tilem hakiki. Dengan demikian, penentuan ini bisa berakibat adanya selisih satu hari dalam penentuan tilem. Di India, cara ini telah direformasi pada tahun 1957 sehingga tidak lagi menggunakan tabulasi, tetapi menggunakan hakiki. Contoh kasus akibat menggunakan tabulasi adalah pada tahun 2001, ketika upacara Tawur Agung berlangsung pada 24 Maret 2001 sedangkan konjungsi terjadi pada tanggal 25 Maret 2001.
Hari Raya Paskah
Paskah adalah salah satu hari penting bagi umat Kristiani untuk memperingati kebangkitan Yesus Kristus. Berdasarkan perhitungan astronomi, yang telah dirumuskan dari Konsili Nicaea tahun 325 M, Paskah dihitung berdasarkan kalender bulan karena kebangkitan Yesus Kristus diperkirakan terjadi di sekitar bulan purnama. Problematika penggunaan bulan purnama penuh muncul dalam penentuan Paskah secara global. Perbedaan zona waktu akan menyebabkan perbedaan hari bagi pemeluk Kristen untuk hari Minggu pertama setelah adanya bulan purnama. Bulan purnama tersebut terjadi pada atau setelah titik balik musim semi (Vernal Equinox), secara astronomi ditetapkan tanggal 21 Maret.
1 Ramadan dan 1 Syawal
Umat Islam menggunakan kalender Hijriyah berdasarkan pergerakan bulan. Awal bulan atau tanggal 1 dalam kalender ini terjadi ketika matahari terbenam. Selain itu juga umat Islam menggunakan matahari untuk menghitung waktu sholat. Ada beberapa tanggal penting yang terkait ibadah dan hari raya umat Islam yaitu bulan Ramadan (ibadah puasa satu bulan penuh), 1 Syawal (Idul Fitri), 9 Zulhijah (Wukuf di Arafah), 10 Zulhijah (Idul Adha). Akurasi perhitungan dibutuhkan dalam penentuan awal bulan. Oleh karena itu, penentuan awal bulan biasanya dilakukan dengan melakukan rukyat atau pengamatan hilal (bulan sabit muda setelah peristiwa konjungsi), tidak hanya dengan perhitungan murni.
Hilal ini mulai diamati sekitar akhir bulan (tanggal 29) setelah konjungsi dan sesaat setelah matahari tenggelam. Pengamatan ini pun belum tentu berjalan dengan baik, bergantung pada seberapa terang hilal dan kondisi langit ketika pengamatan itu berlangsung. Pengamatan hilal menjadi tantangan karena jangka waktu yang singkat antara langit gelap sesaat setelah matahari tenggelam dan sebelum hilal itu tenggelam. Jika pada saat itu hilal tidak teramati, bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari dan hari berikutnya merupakan tanggal 1. Keputusan tanggal 1 Ramadhan atau Syawal biasanya ditetapkan oleh otoritas pemerintah atau ulama berdasarkan musyawarah dan hasil perhitungan (hisab).
Seiring dengan perkembangan teknologi, pergerakan objek-objek langit pun sudah dapat dipetakan dengan baik oleh astronomi sehingga penanggalan menjadi lebih akurat. Setiap tahunnya para astronom mengeluarkan koreksi terhadap rumusan untuk menghitung pergerakan benda langit. Hal ini akan terkait dengan koreksi terhadap waktu dan penanggalan yang kita pakai sehari-hari.
Mari kita ambil contoh sederhana dalam menentukan tanggal-tanggal tersebut dari data-data astronomi (diambil dari laman http://aa.usno.navy.mil/).
Di antara tanggal 6 Mei 2017 – 6 Juni 2017 ada satu bulan purnama yaitu tanggal 10 Mei 2017 pukul 21.42 UT. Jika waktu terjadinya bulan baru tersebut diubah ke waktu lokal India (UT+5,5), hari raya Waisak terjadi pada 11 Mei 2107, pukul 03.12 waktu India. Hari raya Nyepi terjadi pada saat bulan baru yang berdekatan dengan tanggal 21 Maret. Jika kita mengacu pada kriteria dan tabel astronomi di atas, kita akan menemukan tanggal 28 Maret 2017 sebagai hari raya Nyepi. Hari raya Paskah diperingati pada hari Minggu tanggal 16 April 2017. Bulan purnama setelah tanggal 21 Maret 2107 terjadi pada tanggal 11 April 2017 yang bertepatan dengan hari Selasa. Hari raya Paskah disepakati sebagai hari Minggu pertama setelah tanggal tersebut.
Sekarang kita akan mencoba menentukan kira-kira kapan terjadinya 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H di tahun 2017. Perkiraan 1 Ramadan, dimulai dengan acuan akhir bulan Syaban 1438 H berada di bulan Mei 2017. Jika kita mengacu pada hal tersebut, kita akan menemui bulan baru terjadi pada 25 Mei 2017 pukul 19.44 UT atau 26 Mei 2017 pukul 02.44 WIB. Pada sore hari tanggal 26 Mei 2017, sudah dapat dilakukan pengamatan hilal dengan usia sekitar 15 jam.
Untuk perkiraan 1 Syawal 1438 H, kita mendapati tanggal 24 Juni 2017 pukul 02.31 UT atau 09.31 WIB sehingga sore harinya kita sudah dapat melakukan pengamatan hilal. Jika pada tanggal-tanggal tersebut hilal teramati, sore itu telah memasuki tanggal 1, esok harinya menjadi hari pertama puasa (Ramadan) atau hari raya Idul Fitri (Syawal). Yang menjadi catatan penting di sini adalah, perhitungan seperti ini akan dilakukan untuk mengetahui waktu mulai mengamati hilal, lebih kompleksnya yaitu menghitung tinggi bulan dari ufuk, waktu terbenam matahari dan bulan pada tanggal itu. Hasil yang didapat dari pengamatan tidak serta merta dijadikan acuan untuk menentukan tanggal 1 Ramadan atau Syawal. Musyawarah dan sidang isbat oleh para ulama dan pemerintah di Jakarta tetap dilakukan.
Bahan bacaan:
- Bahan Kuliah Sistem Kalender Astronomi ITB
Penulis:
Anton Timur Jaelani, mahasiswa doktor di Astronomical Institute, Tohoku University, Jepang.
Kontak: @antonteje (Twitter)