Bayangkan kita adalah seorang pemilik restoran sebagai usaha sampingan. Karena kita sehari-harinya sibuk dengan pekerjaan utama, kita merekrut teman baik sebagai manajer untuk mengelola restoran tersebut. Bagaimana kita bisa yakin bahwa si manajer ini selalu berusaha mengelola restoran kamu sebaik-baiknya untuk kepentingan kita? Contoh ini adalah salah satu masalah dunia nyata yang termasuk dalam topik contract theory (teori kontrak). Dengan penelitian yang berfokus pada teori kontrak, Prof. Oliver Hart (Harvard University) dan Prof. Bengt Holmström (MIT) meraih penghargaan hadiah Nobel Ekonomi tahun 2016.
Kenapa sih kita perlu kontrak?
Dalam dunia bisnis dan sosial modern, semua relasi selalu didasari oleh kontrak. Ada kontrak antara pemilik restoran dengan manajer pengelola, ada kontrak antara manajer perusahaan dengan staf bawahannya, ada juga kontrak antara bank dan pengusaha yang meminjam uang, dan lain-lain. Kontrak berfungsi untuk mengatur dan membatasi perilaku individu di masa depan, diharapkan supaya perilaku masing-masing individu yang terlibat dalam kontrak tidak merugikan satu sama lain. Sederhananya, kontrak yang optimal diperlukan untuk membuat orang-orang bekerja sama dengan sebaik-baiknya.
Di sinilah pentingnya kontribusi kedua pemenang Nobel Ekonomi 2016 ini. Dalam risetnya masing-masing, mereka merumuskan teori kontrak yang pada intinya menjawab dua hal utama: (1) kenapa kontrak bermacam-macam desainnya dan (2) desain yang bagaimana yang bagus untuk mencapai tujuan optimal dari masing-masing perusahaan.
Dilema: risiko vs. insentif
Pada umumnya, komponen insentif (= kompensasi = gaji + tunjangan) terdiri dari gaji pokok (besarannya biasanya tetap) dan bonus (besarannya berubah-ubah tergantung performa). Menurut teori dari Holmström, kontrak yang paling baik adalah yang menggunakan elemen gaji dan bonus ini untuk menyeimbangkan antara risiko dan insentif. Jika porsi gaji tetap terlalu besar, karyawan akan malas bekerja (karena dia rajin atau malas akan digaji sama). Di sisi lain, jika bonusnya yang terlalu besar, karyawan akan sembrono dalam mengambil keputusan berisiko (karena besaran bonusnya tergantung performa). Kontrak yang baik akan memotivasi karyawan dan manajer untuk bekerja sebaik-baiknya dan berinovasi untuk perusahaan, tetapi juga menjaga mereka supaya tidak sembrono dalam keputusannya.
Memang namanya teori itu selalu ideal, dan dalam dunia nyata amatlah sulit untuk mencapai kondisi ideal tersebut. Dalam dunia nyata, ada dua faktor penting yang menyebabkan terjadinya dilema antara risiko dan insentif, yang membuat kita harus pusing-pusing mengatur porsi gaji dan tunjangan supaya karyawan kita bekerja maksimal. Pertama, tidak semua orang itu orang baik. Ada juga orang-orang “jahil” yang memanfaatkan celah-celah untuk meraih keuntungan. Bahasa keren dari fenomena ini adalah “moral hazard”. Jika semua orang seperti malaikat, kita tidak usah capek-capek mengatur berapa porsi gaji tetap dan berapa porsi bonusnya. Kedua, kita sulit juga memantau performa karyawan. Pemantauan peforma dan penentuan seberapa besar kontribusi seorang karyawan terhadap hasil yang didapat menjadi tantangan untuk menentukan porsi gaji vs bonus. Istilah kerennya adalah imperfect information.
Teori kontrak ini sangat erat kaitannya dengan salah satu teori paling terkenal di dunia bisnis dan keuangan, yaitu agency theory. Teori ini membagi pihak yang terlibat menjadi dua lagi, yakni pemilik perusahaan (principal) dan agen (agent, atau manajer dan karyawan yang diamanahkan untuk mengelola). Pemilik perusahaan mengamanahkan agen untuk mengelola perusahaannya. Tentunya si pemilik ingin perusahaannya dikelola sebaik-baiknya sesuai kepentingannya. Namun, si agen ini juga manusia yang punya kepentingan, maka dia tidak akan mau berkorban terlalu banyak untuk perusahaan kecuali kalau dia juga ikut untung ketika perusahaannya untung. Di sinilah perlunya kontrak yang optimal untuk “mengikat” antara pemilik dan agen supaya sama-sama tidak dirugikan.
Kontribusi Holmström: desain kontrak antara pemilik dan agen
Pada prinsipnya, riset Holmström berfokus pada teori kontrak dari perspektif pemilik usaha (“employer/principal”). Sepanjang karirnya, Holmström paling dikenal atas karyanya yang membahas tentang prinsip “informativeness”. Dalam prinsip ini, Holmström mewanti-wanti kepada perusahaan agar jangan sampai salah atau bias dalam memberikan insentif kepada karyawan karena perusahaan salah mengukur kontribusi si karyawan dalam hasil yang dicapai.
Mari kita lihat lagi contoh kasus kita sebagai pemilik restoran. Kita jangan semerta-merta memberikan bonus kepada si manajer kita karena restoran kita untung besar pada satu waktu. Sebaiknya kita membandingkan performa restoran kita dengan restoran sejenis di sekitar lokasi. Siapa tahu keuntungan yang didapat adalah gara-gara faktor eksternal (misal: ada perumahan besar baru dibuka di komplek sebelah), bukan karena manajer kita jago mengelola restoran. Dalam hal ini, Holmström memberikan saran, kalau susah memantau kontribusi manajer terhadap hasil yang didapat, sebaiknya porsi bonus yang bergantung pada performa jangan banyak-banyak.
Selain prinsip informativeness, Holmström juga membahas beberapa hal lain. Di antaranya, Holmström menyimpulkan bahwa karyawan tidak hanya memikirkan insentif jangka pendek, tapi juga dimotivasi oleh insentif masa depan. Oleh karena itu, sebaiknya untuk orang muda, porsi bonusnya yang diperbesar supaya memotivasi untuk berinovasi karena di masa depan si orang muda ini akan menanggung hasil dari yang dia lakukan saat ini. Sementara untuk orang tua, porsi gaji tetapnya yang diperbesar untuk menjaga supaya tidak sembrono dalam mengambil keputusan karena sedikit lagi pensiun dan bisa lepas tangan dari hasil keputusan. Holmström juga membahas tentang team-work effect. Jika seseorang digaji berdasarkan performa tim, bisa saja beberapa orang malas-malasan (“free-riding”). Oleh karena itu, insentif harus didesain pula supaya bisa mengapresiasi performa individu.
Kontribusi Hart: incomplete contract
Dalam penelitian terpisah (tapi masih dalam topik yang sama), Hart membahas tentang bagaimana kontrak itu bisa mengatur tentang ketidakpastian yang bisa terjadi di masa depan. Walaupun tidak mungkin kita membayang-bayangkan seluruh seluruh skenario yang bisa terjadi di masa depan lalu menuliskannya di kontrak, setidaknya kita bisa kontrak menulis siapa yang akan lebih punya hak untuk memutuskan dan dalam kondisi apa.
Konsep ini mungkin terdengar ribet, tapi sebenarnya teori ini adalah teori yang mendasari pemberian pinjaman (loan) dari bank kepada pengusaha. Dalam hal ini, bank sebagai pemilik uang meminjamkan sejumlah uang kepada seorang pengusaha untuk melakukan usaha (perluas pabrik, beli mesin baru, beli lisensi baru, dll). Pada kondisi yang baik-baik saja, bank akan diam-diam saja dan akan menerima pembayaran bunga tetap per tahunnya. Namun, jika kondisi usaha memburuk, bank bisa turun tangan tiba-tiba dan menyita aset pengusaha tersebut, dan menjualnya jika perlu. Dalam hal ini, di dalam kontrak pinjaman tersebut haruslah tertulis klausul terkait ketidakpastian kondisi di masa depan. Misalnya jika kondisi bagus si pengusaha akan punya hak lebih atas usahanya, tapi di saat kondisi memburuk, bank akan punya hak lebih atas usaha yg dimiliki.
Bahan bacaan:
- https://www.nobelprize.org/nobel_prizes/economic-sciences/laureates/2016/popular-economicsciences2016.pdf
- https://www.theguardian.com/business/economics-blog/live/2016/oct/10/nobel-prize-in-economics-2016-awarded-live
- http://bigthink.com/laurie-vazquez/what-contract-theory-is-and-why-it-deserves-a-nobel-prize
Penulis:
Muhammad Rifqi, alumnus Jurusan Ekonomi Manajemen, Tohoku University, Jepang. Kontak: rifqilazio(at) yahoo(dot)com.