Sejak lama, saat sebagian dari kita mungkin belum dilahirkan, kontroversi mengenai monosodium glutamat atau lebih akrab disapa MSG telah ramai diperbincangkan. Kontroversi ini dimulai sejak Robert Ho Man Kwok, seorang dokter Amerika, melaporkan pengalaman pribadinya kepada New England Journal pada tahun 1968 setelah mengonsumsi makanan di rumah makan China (Chinese restaurant). Ia merasakan gejala yang disebutnya sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS) yang merupakan kumpulan gejala berupa rasa kebas di belakang leher, tubuh lemas, dan jantung berdebar-debar. Padahal, dokter Robert tidak menyatakan bahwa gejala yang dialaminya merupakan efek mengonsumsi MSG.
Dari saat itu penggunaan MSG menuai kontroversi di mana-mana. MSG dituding sebagai penyebab hadirnya penyakit-penyakit berbahaya. Isu ini tidak kehilangan popularitas hingga lewat bertahun-tahun. Di Indonesia sendiri, isu ini kembali heboh sejak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengampanyekan bahaya mi instan pada laman Facebook YLKI. Di situ, MSG lagi-lagi disebut sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memacu kerja saraf secara berlebihan dan mengakibatkan kerusakan, kematian, hingga pemicu terjadinya penyakit Alzheimer, Parkinson, dan penyakit lainnya. Pertanyaannya, benarkah semua isu-isu tersebut? Sebelum mengupas lebih jauh mengenai kebenaran di balik isu-isu MSG, ada baiknya kita mengenal lebih jauh apa itu MSG. Banyak orang kontra MSG tetapi tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang MSG.
Monosodium glutamat (MSG) adalah bentuk garam dari asam glutamat. MSG telah lama digunakan sebagai penyedap makanan yang dapat menghadirkan rasa gurih dan berperan dalam menguatkan rasa. Asam glutamat (glutamat) sendiri adalah salah satu jenis di antara 20 asam amino yang menyusun protein dalam tubuh. Asam glutamat merupakan asam amino non-esensial, maksudnya asam amino yang diproduksi sendiri oleh tubuh. Di sisi lain, asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat diproduksi tubuh sehingga untuk mendapatkannya memerlukan asupan dari luar sepenuhnya seperti lewat makanan.
MSG tidak berbeda dengan asam glutamat yang merupakan asam amino, komponen penyusun protein. Hanya saja, salah satu gugus hidrogennya (H) diganti dengan natrium (sodium). Tujuan penggantian gugus ini adalah untuk meningkatkan kelarutan glutamat dalam air. Glutamat dalam bentuk garam lebih larut di air dibandingkan glutamat dalam bentuk asam. Secara bahasa, monosodium glutamat berarti glutamat yang memiliki satu gugus natrium (sodium). Glutamat itu bukan komponen berbahaya. Bahkan, asam glutamat sendiri terdapat pada berbagai pangan yang biasa kita konsumsi. Pangan-pangan tersebut di antaranya tomat (246 mg/100 g), jagung (106 mg/100 g), dan keju Roquefort (1620 mg/100g).
Apakah MSG aman?
Jika ditinjau dari struktur kimianya, MSG tidak berbeda dengan asam amino glutamat. Dengan demikian, metabolisme glutamat pada MSG tidak akan berbeda dengan asam glutamat. Tubuh kita telah mengenali glutamat sebagai komponen yang telah lama dikonsumsi manusia sehingga tidak akan dikenal sebagi zat asing. Bahkan, tubuh sendiri memproduksi glutamat sebagai salah satu asam amino. Sekitar 50 gram glutamat bebas diproduksi tubuh untuk kebutuhan metabolisme setiap harinya.
Glutamat memiliki banyak peran dalam metabolisme. Pada otak, glutamat berperan sebagai neurotransmitter (senyawa yang berperan membawa sinyal antara sel saraf). Glutamat yang kita konsumsi pun berperan sebagai sumber energi utama untuk usus halus dalam penyerapan zat gizi. Hanya 4% glutamat yang keluar dari usus halus dan digunakan oleh organ tubuh lain, 96%-nya habis digunakan sebagai energi usus halus (Singh, 2005). Nah, dari penjelasan ini, dapat kita simpulkan kalau glutamat bukanlah zat asing yang berbahaya bagi tubuh. Banyak penelitian yang dilakukan dilatarbelakangi kontroversi penggunaan MSG. Monosodium glutamat dituding sebagai senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan saraf, obesitas, kanker, dan berbagai penyakit lainnya.
Seorang psikiater di Washington University bernama John Onley menjadi salah satu orang yang berada di garis terdepan dalam menentang MSG. Berdasarkan penelitiannya terhadap tikus, Onley melaporkan bahwa MSG dapat menyebabkan neurotoksisitas (kerusakan fungsi otak) akibat tingginya konsentrasi glutamat yang tinggi yang dapat merusak otak. Akan tetapi, studi ini ditentang oleh International Food Information Council Foundation dikarenakan metodologi yang digunakan Onley. Dosis yang digunakan sangat tinggi, yaitu 4g per kg BB tikus. Metode injeksi (suntikan) MSG pun tidak mewakili perilaku normal manusia ketika mengonsumsi MSG lewat makanan. Tidak ada manusia yang mengonsumsi MSG lewat suntikan, melainkan lewat makanan yang dikonsumsinya.
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Dr. John Fernstrom menyatakan bahwa sirkulasi (peredaran) glutamat berbeda dengan glutamat yang terdapat dalam otak untuk fungsi saraf. Kesimpulannya, konsumsi glutamat tidak akan memberikan efek negatif terhadap fungsi otak karena tertumpuknya glutamat yang berlebihan pada otak.
Isu mengenai MSG yang dikabarkan dapat menyebabkan obesitas (kegemukan) pun dipatahkan oleh hasil penelitian. Kondoh dan Tori (2008) menyatakan bahwa konsumsi air minum dengan kadar MSG 1% dapat mengurangi bobot lemak pada perut tikus dan pengurangan berat badan secara signifikan. Penelitian oleh Shi dkk. (2012) juga menyatakan bahwa kelebihan berat badan disebabkan oleh berbagai faktor, seperti usia, wilayah tinggal, pekerjaan yang panjang, aktivitas fisik dan asupan makanan. Jadi, tidak ada hubungan yang signifikan antara kelebihan berat badan dengan konsumsi MSG.
Dari segi peraturan, Food Drug Administration (FDA) mengelompokkan MSG sebagai bahan tambahan pangan dengan kategori GRASS (Generally Recognized as Safe) pada tahun 1958 bersama dengan garam, cuka, dan baking powder. Bisa dikatakan, MSG sama tingkat keamanannya dengan garam, cuka, ataupun baking powder. JECFA* juga menyatakan bahwa batas konsumsi harian seseorang terhadap glutamat, baik dalam bentuk asam ataupun garam (MSG), adalah ADI** not specified (artinya, tidak ada batasan khusus dalam konsumsi MSG, kita dapat menggunakan secukupnya). Penetapan GRASS dan ADI not specified pada MSG tentunya bukan berdasarkan “simsalabim” semata. Telah dilakukan berbagai penelitian-penelitian yang tidak sederhana untuk menetapkannya.
Lalu, adakah manfaat MSG?
Mungkin sudah saatnya kita berhenti dengan segala ketakutan berlebihan tentang MSG. MSG sendiri dapat memiliki dampak yang baik terhadap kesehatan. Salah satunya adalah dapat mengurangi risiko penyakit hipertensi (tekanan darah tinggi). Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang saat ini menghantui dunia. World Health Organization (WHO) tahun 2016 melaporkan hipertensi menyebabkan 7,5 juta kematian di dunia, sekitar 12,8% total kematian di dunia.
Hipertensi merupakan penyakit berbahaya karena dapat berujung pada penyakit-penyakit lain seperti stroke, jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Konsumsi garam (berupa natrium) yang tinggi merupakan penyebab nomor satu penyakit hipertensi. WHO sendiri menganjurkan konsumsi garam maksimal 5 gram atau 1 sendok teh dalam sehari. Akan tetapi, di Indonesia, konsumsi garam harian masih tinggi, yaitu 15 gram lebih tinggi dari anjuran WHO (INASH, 2007). Inilah salah satu alasan tingginya kasus hipertensi di Indonesia.
Nah, karena MSG berperan sebagai penguat rasa, kita dapat menggunakannya untuk mengurangi konsumsi garam yang berlebihan. Dengan menambahkan MSG, kita dapat menikmati makanan yang lezat meskipun kadar garamnya dikurangi. Kombinasi antara garam dan MSG dapat mengurangi asupan natrium sebesar 30-40% (Anguish Institute for Health, 2015). Misalnya saja ketika kita menggoreng telur dadar, kita tak perlu banyak-banyak menambahkan garam. Cukup dengan menambahkan lebih sedikit garam dari yang biasa kita pakai dan sejumput MSG, telur dadar lezat dapat tersaji di hadapan kita.
Catatan:
*JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committer on Food Additive), lembaga yang meneliti mengenai batas-batas konsumsi BTP.
**Acceptable Daily Intake (ADI) adalah jumlah maksimal asupan bahan tambahan pangan yang boleh kita konsumsi dalam sehari yang tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan.
Bahan bacaan:
- Anguish Institute for Health Education. 2015. Review: Monosodium Glutamat, Pro dan Kontra. Jakarta: Anguish Institute for Health Education.
- Kondoh, T dan Torii, K. 2008. MSG intake suppress weight gain, fat deposition, and plasma leptin levels in male Sprague-Dawley rats. Physiol Behaviour, 3; 95 (1-2): 135-44.
- Indonesian Society of Hypertension (INASH), 2007. Indonesian Society of Hypertension. [online]. http://www.inash.or.id. Diakses tanggal 27 Februari 2016.
- Singh, Monica. 2005. Fact or Fiction? MSG Controversy. Paper. Harvard Law School, Harvard.
- Shi, Z., et al. 2010. Monosodium glutamate is not associated with obesity of a greater prevalence of weight gain over 5 years: findings from the Jiangsu Nutrition Study of Chinese adults. British Journal of Nutrition, Volume 104, no.3, pp. 457-63.
- Walker, Ronald and John R. Lupien. 2000. The Safety Evaluation of Monosodium Glutamate. The Journal of Nutrition, Volume 130, no.4, pp. 1049-1052.
- Wikipedia. 2015. Glutamic Acid. [online]. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Glutamic_acid. Diakses tanggal 27 Februari. 2016
- Wikipedia. 2015. Monosodium Glutamate. [online]. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Monosodium_glutamate. Diakses tanggal 27 Februari. 2016
- World Health Organization. 2016. Global Health Observatory (GHO) Data: Raised Blood Pressure [online]. http://www.who.int/en/. Diakses tanggal 2 Maret 2016.
Penulis:
- Risqah Fadilah, Mahasiswa Angkatan 2012, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Bakrie, Jakarta. Peserta Sakura Exchange Program Science 2015 di Tohoku University, Sendai, Jepang. Kontak: risqahfadilah(at)gmail.com
- Ardiansyah, Dosen Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Bakrie, Alumnus Tohoku University, Sendai, Jepang (2003-2012). Kontak: ardiansyah(at)bakrie.ac.id