Lomba Mengepel Lantai di Jepang

Lomba mengepel lantai? Ada-ada saja! Seperti itu komentar penulis ketika membaca berita selintas di Koran Higashiaichi beberapa waktu lalu. Tapi baru-baru ini, saya melihat acaranya di TV. Ternyata lombanya tidak main-main, dan sangat menarik.

Adalah Kota Toyohashi di Aichi yang memperkenalkan lomba ini pada bulan Februari 2016. Salah satu SD di kota ini, SLB Kusunoki (Kusunoki Tokubetsu Shien Gakkou), dibangun dengan lantai kayu khusus sehingga sangat nyaman untuk dipakai untuk anak-anak. Lorong-lorong di sekolah memisahkan ruang-ruang kelas yang berhadapan cukup lebar dan panjang. Hal ini yang membedakannya dengan sekolah lain sehingga untuk menyelenggarakan lomba mengepel di lorong tersebut sangat memungkinkan.

Lorong di sekolah ini ada yang panjangnya 60 meter, dengan lorong terlebar berukuran 3.7 m. Kusunoki Tokubetsu Shien Gakkou adalah sekolah yang menyatukan antara SD, SMP, dan SMA untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Model sekolah seperti ini lazim kita temui di Jepang. Jadi, agak berbeda dengan di Indonesia yang biasanya memisahkan sekolah berdasarkan jenjang atau level.

Upaya untuk memajukan sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Toyohashi tampaknya menjadi perhatian khusus walikotanya, Koichi Sahara, sehingga pembuatan lorong sekolah yang diganti dengan bahan kayu. Diadakannya lomba ini juga memberikan makna dukungan yang besar dari pemerintah terhadap pendidikan inklusi. Dengan mengadakan lomba ini, ada beberapa pelajaran dan misi yang ingin disampaikan kepada khalayak, terutama upaya untuk selalu menjaga kebersihan.

Kalau kita cermati, hampir semua lorong sekolah di Jepang, sangat bersih dan licin karena anak-anak rutin mengepelnya. Kegiatan bersih-bersih lorong ini selain untuk melatih hati/jiwa  dan empati anak pada kebersihan, juga untuk melatih fisik agar kuat, dan secara khusus memperkenalkan masyarakat kota khususnya dan juga penduduk Jepang umumnya dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Ed60-sosbud

Sepertinya mudah mengepel di atas tipe lantai tersebut. Namun, kalau tidak biasa, bisa-bisa badan kita terjungkal atau kita terpeleset. Kain pel yang digunakan itu dibuat khusus dari bahan handuk berlapis, berukuran panjang kira-kira 40 cm, dan lebar 30 cm. Kain itu cukup untuk menaruh dua telapak tangan pada jarak yang berdekatan. Kain pel tersebut berwarna-warni dan merupakan buatan tangan anak-anak cacat yang bersekolah di sekolah ini.

Posisi tubuh ketika mengepel adalah dengan menungging. Bagi orang dewasa yang berbadan agak besar bisa susah payah juga untuk berlari dengan posisi tubuh menungging sambil mendorong kain pel dengan kedua tangan. Tapi bagi anak-anak ini sangat mudah.

Peserta pada hari itu dari berbagai macam kelompok, bahkan beberapa berasal dari perusahaan yang datang dari seluruh Jepang. Yang menjadi jagoan di kelompok dewasa tentu saja orang-orang dari Tim Penanganan Bencana, karena mereka dianggap kuat-kuat. Kalau dari kelompok anak-anak, hampir semua anak bisa melakukan ini, jadi yang akan berhasil adalah yang kuat larinya dan stamina baik.

Perlombaan dibedakan antara kelompok anak (kelas 1 sampai dengan 3 SD), dan umum (usia SMP ke atas), dan hanya anak laki-laki yang boleh ikut. Selain itu, jenis lomba terdiri dari tunggal, berpasangan (untuk kelompok SD), dan estafet 4 orang. Yang berpasangan menempuh jarak 25 meter, dan kain pel yang dipakai agak panjang.  Untuk estafet beregu, panjang lintasan yang ditempuh adalah 180 meter.

Menariknya, yang menjadi pemenang di kelompok umum pada perlombaan tersebut ternyata bukan Tim Penanganan Bencana Aichi, melainkan kelompok guru muda sebuah SMP. Dalam siaran TV terkait perlombaan tersebut digambarkan bagaimana persiapan yang dilakukan oleh semua tim, termasuk ada beberapa tim dari kelompok umum yang berlatih di kuil mengikuti kebiasaan para penjaga kuil yang dikenal rajin mengepel lantai.

Bagaimana dengan budaya bersih-bersih di sekolah kita, apakah ada yang bisa dibuat kompetisi, selain lomba kebersihan kelas? Kegiatan ini menarik, karena selain bersih, tubuh anak-anak juga menjadi sehat. Salah satu prinsip pendidikan anak usia dini adalah menekankan pada aktivitas telapak kaki dan telapak tangan, yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk mengepel lantai. Telapak kaki dan telapak tangan adalah pusat-pusat saraf yang dipercayai neurosaintis sebagai pusat kecerdasan.

Hal lain yang juga dapat ditanamkan dalam kegiatan semacam ini adalah jiwa kompetisi yang merupakan jiwanya anak-anak. Bagi orang dewasa, jiwa berkompetisi mereka terkadang sudah melemah. Namun, supaya ada semangat hidup, ada baiknya sekali-sekali kita mengikuti taupun membuat kegiatan seperti lomba mengepel lantai ini.

Selamat mencoba.

Catatan:
Artikel ini pernah dimuat dalam blog milik penulis di http://murniramli.wordpress.com dan kembali dimuat di majalah 1000guru dengan sedikit penyesuaian.

Penulis:
Murni Ramli, dosen di Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, serta alumnus Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University. Kontak: moernier(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top