Pelajaran dari Sebilah Papan Congklak

Terik matahari sama sekali tak digubris orang-orang yang mengerumuni Pasar Kelapa Dua. Walaupun cuaca siang itu panas, mereka masih asyik dengan kesibukannya bertransaksi. Baik yang membeli maupun yang menjual, masing-masing berinteraksi atas dasar kebutuhan. Di sela-sela keramaian tersebut hadir seorang paruh baya yang menjual mainan. Sesekali pengunjung datang membeli atau hanya sekedar melihat dan bertanya-tanya. Alih-alih menjual mainan plastik yang kini umum diigemari anak-anak, bapak itu justru menjual mainan tradisional bernama congklak.

Dialah Pak Bowo, bapak yang setiap harinya berjualan congklak di sudut  utara Pasar Kelapa Dua. Pria yang juga pengrajin congklak kayu ini konsisten berdagang sejak tahun 2002. Baginya berjualan mainan tradisional tersebut bukan hanya demi mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.  Ada keinginan untuk terus melestarikan budaya dan menebarkan nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang terkandung dalam permainan congklak.

Congklak dari Zaman ke Zaman

Congklak sebenarnya merupakan permainan tradisional yang ada di berbagai belahan dunia. Dalam bahasa Inggris congklak disebut mancala sedangkan dalam bahasa Arab disebut naqala. Jika ditinjau sejarahnya, congklak dibawa oleh bangsa Arab yang rata-rata datang ke Indonesia untuk berdagang atau berdakwah. Hal ini didukung dengan penemuan lempengan permainan congklak yang terbuat dari batu kapur oleh arkeolog National Geographic di Yordania. Papan permainan yang diperkirakan telah ada sejak 7000-5000 tahun sebelum Masehi ini lalu tersebar ke berbagai belahan dunia.

Di Indonesia sendiri congklak dikenal dengan berbagai istilah. Di Jawa orang menyebutnya bantumi, dakon atau dhakonan. Di Sulawesi permainan ini dikenal dengan istilah mokaotan, magalenceng, dan nogarata, sedangkan di Lampung orang menyebutnya dentuman lamban. Walaupun berbeda istilah, secara umum aturan main di berbagai tempat tersebut masih sama.

“Semakin ke sini semakin jarang anak-anak yang bermain mainan tradisional, termasuk congklak. Sekarang mereka lebih suka bermain play-station dan game online. Sulit menemukan anak-anak yang aktif bermain di lapangan atau taman kompleks rumah saya. Kalau tidak di rumah, mereka biasanya mangkal di game center. Saya jadi takut gimana jadinya anak-anak itu nanti,” sahut pak Bowo.

Dari zaman ke zaman permainan untuk anak-anak terus berkembang. Terlebih lagi di era digital ini telah banyak permainan yang berbasis teknologi, baik menggunakan komputer maupun game console. Belum lagi smartphone menyediakan fitur-fitur game yang menarik. Kendati demikian, permainan congklak masih eksis di Indonesia.  Dan kini Pak Bowo menjadi agen yang berusaha melestarikan mainan tradisional ini.

Filosofi bermain congklak

Dalam papan congklak terdapat total 16 lubang yang terdiri dari dua kali tujuh lubang kecil di masing-masing sisi pemain dan dua kali dua sebagai lubang sebagai lumbung penyimpanan yang disebut “induk”.  Pada awalnya permainan congklak menggunakan biji-biji tumbuhan seperti kopi dan menggunakan kayu sebagai papannya, tetapi kini telah banyak beredar permainan congklak yang terbuat dari plastik.

Terdapat banyak pelajaran kehidupan yang bisa dipetik dalam permainan congklak. Terlepas dari sadar atau tidaknya anak-anak dalam memainkannya, sebenarnya mereka sedang menggali nilai-nilai kebijaksanaan. Walaupun memang belum tentu signifikan, nilai-nilai tersebut dapat terinternalisasi ke dalam pola pikir dan watak berprilaku anak. Setidaknya permainan congklak itu melatih sisi kognitif dan afektif anak.

“Main congklak itu gak hanya belajar matematika, Mas,” terang pak Bowo. “Selain hitung-hitungan, anak-anak juga sekaligus belajar berhemat dan berbagi untuk teman. Mainnya saja kan memang bagi-bagi biji.” Permainan congklak dimulai dengan masing-masing pemain diberikan modal 7 biji di dalam setiap lubang kecil. Ketujuh lubang tersebut melambangkan 7 hari yang harus dilalui dalam seminggu. Setiap orang diberi potensi dan kesempatan masing-masing ketika lahir. Tinggal bagaimana orang memainkan gilirannya dalam hidup.

Kemudian, pemain mengambil biji-biji di salah satu lubang dan mengisi lubang-lubang kecil berlawanan arah jarum jam. Satu per satu biji ditaruh di lubang, tahap demi tahap, hari demi hari dilewati dengan jujur dan hati-hati. Ketika biji diambil di satu lubang, ia mengisi lubang yang lain. Apapun yang kita lakukan di hari ini akan ada dampaknya di hari lain, termasuk hari-hari orang lain. Setiap orang punya andil dalam membentuk masa depannya dan masa depan orang lain. Oleh karenanya, tindakan kita haruslah bermakna positif.

Pada setiap putaran pemain mengisi lubang induk miliknya. Artinya, dalam satu putaran (satu minggu) kita diingatkan untuk berhemat dan menyisihkan sebagian harta untuk ditabungkan. Namun, jangan sampai kita mengisi induk lawan agar tidak menyuburkan budaya mengemis. Yang kita isi di pihak lawan adalah lubang-lubang kecil. Kita memberdayakan orang lain dengan memberi kesempatan dalam usaha kesehariannya.

Ketika biji terakhir jatuh di lubang yang terdapat biji-bijian lain, bijian tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Begitu seterusnya sampai biji terakhir jatuh ke lubang kecil yang kosong dan berganti dengan pemain lawan. Pemenangnya adalah anak yang paling banyak mengumpulkan biji-bijian ke lubang induk miliknya. Tentunya butuh strategi yang matang untuk memenangkan permainan ini.  Hidup memang penuh persaingan. Namun, bukan berarti itu dapat dijadikan alasan permusuhan. Boleh jadi orang lain punya kepentingan yang sama dengan tujuan kita. Karenanya kita harus cerdik dan strategis.

Selain dari aturan mainnya, peralatan yang digunakan pun punya makna tersendiri. Biji-biji tumbuhan yang digunakan dalam permainan congklak merepresentasikan bangsa Indonesia yang identik dengan agrikultur. Biji tersebut juga menjadi simbol potensi kesejahteraan yang dapat ditumbuhkan dengan kerja keras.

Anak-anak bermain congklak. Gambar dari expat.or.id
Anak-anak bermain congklak. Gambar dari expat.or.id

Congklak dan permainan masa kini

Layaknya sebagian besar permainan tradisional lainnya, permainan congklak mulai ditinggalkan anak-anak. Anak-anak beralih ke permainan modern, baik yang berupa fisik seperti remote control, ataupun yang berupa program seperti play-station, game console, dan fitur game di gadget lainnya. Di era milenium ini permainan-permainan tersebut memang tampak lebih menarik dari permainan tradisional, terlebih dalam penyajian sisi imajinatif. Namun, perlu diperhatikan bagaimana dampak permainan tersebut pada anak.

Menanggapi hal tersebut Pak Bowo beranggapan, “Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan mesti harus bermain permainan tradisional atau permainan yang modern. Yang pasti jangan sampai permainan yang dilakukan sekarang merusak anak. Misalnya anak malah suka berkelahi karena biasa bermain game pertarungan di komputer.”

Congklak membawa nilai-nilai kebijaksanaan yang bermanfaat baik bagi psikologis anak. Bukan berarti kita memaksakan anak bermain congklak, bukan juga membebaskan anak bermain semaunya. Banyaknya permainan saat ini membuat orang tua sulit mengontrol perkembangan anak. Dalam memberikan permainan, orang tua perlu mempertimbangkan perkembangan sisi afektif, kognitif, dan motorik bagi si anak. Perlu diperhatikan pula nilai pelajaran dari permainan tersebut, seperti yang ada pada permainan congklak.

Bahan bacaan:

  • http://dolananndeso.blogspot.com/p/congklak.html
  • http://www.expat.or.id/info/congklak.html

Penulis:

Pyan Putro Surya A M, Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia.

Back To Top