Doktrin

Mungkin teman-teman sudah tak asing lagi dengan kata yang satu ini. Namun, mungkin juga sebagian yang lain tak tahu sama sekali dan belum pernah mendengarnya. Satu hal yang pasti, doktrin adalah salah satu alat terampuh dalam mendistorsikan makna suatu hal dan mencekoki orang-orang dengan paradigma si pendoktrin.

Kalau teman-teman rela meluangkan waktu mengetik kata kunci “doktrin” pada mesin pencari Google, niscaya yang akan ditemukan kebanyakan adalah berupa masalah agama. Memang, doktrin masih identik dan melekat dengan agama. Keterkaitan yang erat antara doktrin dan agama bisa jadi disebabkan sifat doktrin yang cenderung membantu menyokong agama dan organisasi sosial lainnya.

Merujuk pada kamus, misalnya berdasarkan Free Online Dictionary, makna doktrin adalah:

  1. Sebuah prinsip atau kumpulan prinsip yang ditujukan untuk meyakinkan orang lain, yang biasa dipakai organisasi keagamaan, organisasi politik, atau kelompok filsafat; serupa maknanya dengan dogma.
  2. Sebuah aturan atau prinsip hukum.
  3. Sebuah pernyataan kebijakan resmi pemerintah, terutama dalam urusan luar negeri dan strategi militer.
  4. (Definisi kuno): Ajaran, instruksi.

Dalam sebagian besar pembicaraan mengenai doktrin, kebanyakan bertema sesuai poin pertama, dan kebanyakan menjurus masalah agama. Beberapa organisasi keagamaan banyak menggunakan doktrin untuk menyebarluaskan ajarannya. Misalnya, dalam salah satu ajaran agama samawi, kata doktrin bermakna seperti pada poin ke-4 yang tertulis di atas, yaitu berupa ajaran pokok yang dinilai amat penting dalam rangka menyebarkan ajaran agama tersebut kepada seluruh umat di muka bumi (penulis tidak bermaksud SARA menyebutkan hal ini, sekadar sebagai informasi untuk pengetahuan bersama).

Meskipun begitu, makna sebenarnya doktrin jauh lebih luas dari sekedar urusan agama. Banyak juga doktrin yang ditanamkan dalam sisi budaya, sosial, dan politik. Mari kita lihat dua contoh yang paling nyata dalam masalah sosial budaya.

Contoh doktrin pertama: “Barat selalu lebih baik”

Dampak dari doktrin yang satu ini terasa begitu nyata, khususnya di Indonesia. Penulis sendiri menganggap munculnya doktrin seperti ini merupakan akibat penjajahan selama sekian ratus tahun yang dilakukan bangsa Barat (Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis) terhadap bangsa Indonesia. Penjajahan telah membuat mental sebagian rakyat Indonesia menjadi inferior dan tidak percaya diri.

Penjajahan tersebut, yang secara tidak langsung menahbiskan para penjajah sebagai yang “orang yang lebih baik” dari yang terjajah, memicu timbulnya paradigma yang benar-benar keliru, yakni bahwa bangsa Barat selalu (atau pada umumnya) lebih baik, lebih modern, dan lebih maju. Dampaknya benar-benar terasa jelas. Lihat saja lingkungan sekitar kita tempat orang-orang biasa berlalu lalang. Banyak orang yang merasa lebih keren dengan segala macam gaya busana ala Barat, yang cenderung mengenang masa lalu mereka sebagai kera yang tak berpakaian, sebagaimana dijelaskan oleh teori evolusi (ini kalimat satire, semoga bisa dipahami).

Ada sebuah cerita fiktif yang cukup dikenang penulis yang terkait dengan teori evolusi. Konon, sekitar pertengahan abad ke-19, seorang ilmuwan pencetus teori evolusi mendatangi kaisar Jepang untuk menjodohkan putri sang kaisar dengan putranya yang sudah lama membujang. Berikut ini percakapan fiktif di antara mereka.

Ilmuwan evolusi: “Yang terhormat Kaisar Negeri Matahari Terbit, saya datang jauh-jauh ke sini semata-mata untuk menjodohkan putrimu dengan putra saya.”

Kaisar Jepang: “Tidak bisa.”

Ilmuwan evolusi: “Mengapa putra saya tidak bisa menikahi putrimu? Apakah karena saya bukan seorang bangsawan?”

Kaisar Jepang: “Bukan, permasalahannya bukan itu. Masalahnya ada pada perbedaan garis keturunan.”

Ilmuwan evolusi: “Apa karena saya bukan orang Jepang?”

Kaisar Jepang: “Bukan itu. Kami, para bangsawan Jepang adalah keturunan Dewa Matahari, sedangkan Anda dan yang sejenis Anda adalah keturunan kera.” (Kena deh…)

Tentunya, cerita fiktif ini tidak benar-benar terjadi. Namun, teori evolusi telah menjadi salah satu teori ilmiah yang kerap menjadi sandaran doktrin keunggulan ras tertentu, biasanya ras Kaukasoid, yang dalam hal ini memang agak berlawanan situasinya dengan cerita fiktif di atas. Di dunia nyata, dengan berlandaskan pada teori evolusi, berbagai ras ataupun suku bangsa di benua Afrika di masa dahulu kala kerap menjadi budak dari suku bangsa berkulit putih.

Dengan mudah, kita dapat pula melihat di mana-mana, banyak orang yang mengecat rambutnya hingga berwarna coklat, merah atau pirang layaknya ras Kaukasoid di Eropa dan Amerika. Orang-orang ini seolah tak puas dengan apa yang telah mereka miliki, walaupun memang tidak berlaku secara keseluruhan juga. Di Indonesia, sebagian orang juga menganggap bahwa kriteria cantik atau tampan haruslah putih bersih berseri. Paradigma yang kacau ini diperparah dengan iklan kosmetik yang menjamur di seantero Indonesia, yang mengagungkan “cantik dengan kulit putih mulus”, “rambut lurus dan elastis”, dan masih banyak lagi.

Menariknya, kalau kita coba tanyakan ke orang-orang Barat yang kebanyakan gaya hidupnya diikuti sebagian warga Indonesia, terkadang mereka malah ingin mengikuti budaya Timur yang menurut mereka indah dan penuh kreativitas. Para kulit putih senang berjemur karena mereka ingin kulit menjadi cokelat. Orang-orang Indonesia yang beruntung terlahir dengan kulit coklat, nyatanya malah mendambakan kulit putih berseri sebagaimana yang selama ini digaungkan dan didoktrinkan iklan-iklan.

Berusaha tampil menarik itu baik, tetapi tentunya jangan sampai mengubah ciptaan Tuhan hanya karena tertipu oleh doktrin tertentu yang mengikuti suatu kebudayaan di luar budaya kita. Apa yang diberikan oleh Tuhan kita adalah yang terbaik untuk kita. Meskipun saat ini kita tak menyadarinya, mungkin nanti kita akan lebih memahaminya.

Contoh doktrin kedua: Bersekolah untuk bekerja (menjadi pegawai)

Meskipun contoh yang ini tidak segencar doktrin yang pertama, setidaknya bisa kita cermati, betapa banyak orang yang bersekolah dan berusaha mendapat nilai bagus supaya nantinya bisa berkuliah di universitas yang bagus, kemudian mengulangi berusaha mendapat nilai bagus supaya nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai seorang karyawan atau pegawai biasa. Cara berpikir seperti inilah yang mendominasi pikiran sebagian besar manusia di bumi ini, yang bisa mengakibatkan munculnya lebih banyak pengangguran.

Lho, mengapa doktrin ini bisa menyebabkan lebih banyak pengangguran? Mari kita ulas. Orang-orang yang terpapar doktrin semacam ini sebenarnya tetap mesti ada untuk terjaminnya stabilitas sosial. Namun, jika perbandingannya tidak tepat, yang muncul tentunya adalah ketidakseimbangan. Jika terlalu banyak orang yang berpikiran bersekolah hanya untuk bekerja, ini akan membuat jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia hanyalah sedikit, dan itu pun masih harus diperebutkan banyak orang. Padahal, kita tentunya ingat pepatah yang sangat penting, bahwa 9 dari 10 pintu rejeki ada pada perdagangan ataupun penciptaan lapangan pekerjaan.

Untuk konteks masa ini, terbukti perdagangan menjadi sumber munculnya orang-orang terkaya di dunia. Sebutlah Bill Gates. Kekayaannya berasal dari hasil berdagang perangkat lunak untuk komputer. Bisa juga kita sebut contoh orang kaya lainnya (dalam hal duniawi tentunya) yang lebih dekat ke kehidupan kita sehari-hari, seperti Chairul Tanjung, Bob Sadino, Presiden Jokowi, mereka adalah sederetan orang yang pernah meraih keuntungan besar dan menjadi kaya berkat berdagang.

Nah, di saat para pedagang handal tersebut menorehkan satu demi satu pencapaian kekayaan maupun amal (karena mereka pun telah membuat lapangan pekerjaan bagi orang lain), sebagian besar masyarakat masih terbelenggu akan doktrin mengenai “jalan hidup aman” dengan bersekolah kemudian langsung bekerja menjadi pegawai. Beberapa hari setelah ribuan, atau mungkin jutaan sarjana baru di Indonesia dilantik, sebagian besar dari mereka berbondong-bondong mengirim amplop lamaran kerja ke sana-sini. Hanya sedikit yang memilih membentuk lapangan kerja, bisnis, ataupun riset sendiri.

Melawan doktrin? Melawan arus?

Di saat doktrin begitu kuat ditanamkan tangan-tangan tak terlihat sehingga mengakar menjadi paradigma di masyarakat kita, mungkin orang-orang yang melawan doktrin bisa dikatakan telah melawan arus. Namun, melawan arus tidaklah selalu salah. Bisa kita lihat bahwa orang-orang yang sukses itu selalu minoritas. Mereka bisa sukses karena mereka mau menempuh jalan yang berbeda dengan yang dilalui kebanyakan orang.

Meskipun jalan yang melawan arus lebih sulit dilalui, justru kesulitan-kesulitan yang ada di sanalah yang kemudian dapat membangun kita menjadi pribadi yang tangguh dan cerdas dalam menghadapi masalah. Sebagai nasihat untuk diri penulis juga, jika kita ingin menjadi orang sukses, kita perlu berani untuk melawan doktrin buruk yang umum berlaku dan menggantinya dengan yang lebih baik. Bukankah layang-layang mampu terbang tinggi karena ia berani melawan derasnya arus angin?

Tentunya melawan doktrin tertentu tidak dengan asal seruduk. Jika kita mengetahui suatu doktrin tertentu baik untuk diikuti, ya tidak masalah untuk kita ikuti. Melawan arus harus dipertimbangkan matang-matang dengan tetap menjaga keseimbangan.

Bahan bacaan:

Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top