Setiap guru diwajibkan memiliki strategi dalam menyampaikan materi ajarnya. Berbagai cara penyampaian digunakan agar siswa memahami apa yang sedang diajarkan. Itulah strategi pengajaran, atau biasa juga disebut dengan metode pengajaran.
Seringkali, setiap materi ajar memiliki strateginya masing-masing. Contohnya, pada pelajaran matematika siswa lebih sering diminta untuk mengerjakan latihan. Metode hafalan untuk rumus matematika jarang sekali diterapkan oleh para guru. Sementara itu, pelajaran bahasa lebih banyak mencakup aktivitas membaca, bercerita, permainan kata, dan menghafal istilah baru. Meskipun metode latihan atau mengerjakan soal juga dipakai dalam pelajaran bahasa, namun bobotnya lebih kecil dibandingkan pelajaran matematika.
Satu metode dengan metode lainnya saling mendukung dengan porsi masing-masing. Apakah strategi bercerita ada dalam pelajaran matematika? Pastinya ada karena kita pasti pernah mendapati soal cerita dan biasanya seorang pelajar yang kurang suka pelajaran bahasa memiliki kesulitan untuk memecahkan soal cerita dibandingkan soal langsung. Atau sebaliknya, seorang yang amat senang dengan cerita bisa jadi lebih mudah memecahkan soal tersebut.
Disebabkan keberagaman karakter dan kecerdasan siswa, guru yang pandai berdongeng berkaitan dengan materi ajarnya kemungkinan akan lebih disukai. Syaratnya, cerita itu tidak keluar dari materi sehingga mengabaikan inti dari pelajarannya. Lantas, benarkah bercerita itu asyik atau justru membosankan?
Untuk pelajaran bahasa pastinya wajib ada cerita, khususnya untuk pelajaran bahasa asing. Metode bercerita akan sangat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan bahasanya. Siswa tanpa disadarinya sudah mempraktikkan bahasa yang dia ketahui. Dibandingkan hanya dengan menghafalkan setiap kosa kata, tentu akan lebih efektif jika kosa kata tersebut digunakan oleh siswa semisal dalam cerita.
Kita bisa memperhatikan bahwa baik dalam pelajaran bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia selalu ada cerita. Sayangnya, seringkali cerita tersebut hanya sekadar dibaca kemudian dilanjutkan dengan mengisi pertanyaan-pertanyaan yang ada. Sering pula siswa hanya mengamati struktur kalimat dan mengesampingkan pesan dalam cerita tersebut. Bukankah akan sangat baik apabila siswa mengulang untuk menceritakan cerita tersebut dengan bahasanya sendiri? Strategi menceritakan kembali sebuah cerita ini telah diterapkan oleh beberapa pesantren modern dalam pelajaran bahasa Arab.
Dinamakan pelajaran “muthola’ah”, yang artinya menelaah, pelajaran ini hanya berisikan cerita-cerita berbahasa Arab yang termuat di dalamnya banyak hikmah. Pelajaran ini termasuk pelajaran pokok yang harus dikuasai oleh para siswa di pesantren. Bagi orang awam, mereka mungkin berpikir bagaimana bisa memahami cerita bahasa Arab yang sama sekali tidak ada artinya? Apakah guru atau ustadz menerjemahkan cerita tersebut? Jawabannya sama sekali tidak.
Strategi yang biasanya dipakai oleh sang guru adalah memberikan contoh atau membawa gambar yang berkaitan dengan judul ceritanya agar siswa yang menebak judul itu sendiri. Apabila siswa tersebut menjawab dengan bahasa Indonesia, guru akan membimbingnya untuk menggunakan bahasa Arab. Seminimal mungkin atau tidak sama sekali sang guru menggunakan bahasa Indonesia.
Setelah pemberian judul, biasanya guru akan memberikan mufrodat atau arti kosa kata yang belum diketahui oleh murid. Namun, kosa kata tersebut bukan diartikan dengan bahasa Indonesia melainkan masih dengan kata bahasa Arab yang mengandung arti sama. Barulah guru bercerita atau menjelaskan cerita yang ada dalam buku tersebut. Ketika semua sudah dijelaskan oleh sang guru, siswa ditugasi untuk menceritakannya kembali di depan teman-temannya. Selain melatih kecerdasan linguistiknya, juga melatih kepercayaan diri siswa. Dan dalam pelajaran muthola’ah ini siswa mendapatkan hikmah yang dapat mengembangkan kecerdasan afektifnya.
Tentu saja pelajaran mutholaah ini tidak ada sama sekali dalam ujian nasional maupun ujian masuk universitas. Lantas, kenapa siswa di pondok pesantren harus menguasai serta memahami isi cerita dalam pelajaran tersebut? Alasannya, kita ketahui tujuan berpendidikan bukan hanya untuk masuk ke universitas favorit atau sekedar lulus UN. Pendidikan adalah untuk membangun akal, fisik, dan jiwa siswa agar dia menjadi pribadi yang tahu akan konsep dirinya.
Dengan strategi belajar bercerita, siswa merasa asyik dan tidak merasa digurui oleh nasihat-nasihat yang sebetulnya ingin disusupkan oleh guru. Siswa sendirilah yang berupaya untuk mengambil hikmah atau tujuan dari cerita tersebut. Sementara guru hanyalah fasilitator, membimbing, dan mengarahkan siswa. Akan sangat baik, apabila sebelum pelajaran dimulai, guru menjelaskan manfaatnya sehingga murid tahu tujuan dia belajar sesuatu.
Guru dapat menceritakan lewat contoh atau fakta yang ditemui di lapangan sehingga belajar lebih asyik dan menyenangkan. Bila dimungkinkan guru pun meminta muridnya untuk menceritakan kesulitan atau ketertarikan dari tema yang diajarkan. Cara mengajar muthola’ah hanya salah satu contoh. Pelajaran muthola’ah biasanya menjadi pelajaran favorit siswa di pesantren. Mudah dan menyenangkan. Semoga semua pelajaran dapat terasa asyiknya.
Bahan bacaan:
- Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia, Kaifa Publishing: Bandung
- Yunus, Mahmud. At-Tarbiyah wa At-Ta’lim, Ponorogo: Darussalam PP. Wali Songo
Penulis:
Pepi Nuroniah, staf redaksi Majalah 1000guru dan guru bimbingan konseling.
Kontak: pepinuroniah(at)yahoo(dot)com.