Menurunkan Infeksi yang Didapat di Rumah Sakit

Infeksi berdasarkan tempat terjadinya dibedakan menjadi dua, yaitu (1) infeksi yang didapat dari komunitas (rumah, sekolah, atau lingkungan sekitar), dan (2) Infeksi yang didapatkan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan atau biasa disebut sebagai infeksi nosokomial atau hospital-acquired infection atau healthcare-associated infection. Infeksi nosokomial menjadi pusat perhatian dalam beberapa dekade terakhir karena berkaitan dengan meningkatnya angka kesakitan, angka kematian dan biaya kesehatan khususnya di negara berkembang.

Infeksi nosokomial berhubungan dengan meningkatnya angka kematian sebesar 19-75% dan menyebabkan peningkatan biaya kesehatan akibat perawatan di rumah sakit yang lebih lama. Pasien yang menderita infeksi nosokomial dilaporkan mempunyai rata-rata lama rawat inap lebih panjang sekitar 4-12 hari. Biaya kesehatan akibat infeksi nosokomial dilaporkan meningkat menjadi $600-40.000 per kasus. Selain itu, infeksi nosokomial sering dikaitkan sebagai salah satu indicator untuk menilai tingkat keamanan pasien yang dirawat di rumah sakit (patient safety).

Ilustrasi tentang rumah sakit sebagai tempat terjadinya infeksi nosokomial.  Sumber gambar: http://authorstream.s3.amazonaws.com/
Ilustrasi tentang rumah sakit sebagai tempat terjadinya infeksi nosokomial. 
Sumber gambar: http://authorstream.s3.amazonaws.com/

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi selama dirawat rumah sakit dan tidak diderita pasien pada saat awal masuk ke rumah sakit, melainkan setelah 48 jam di rumah sakit. Jenis infeksi nosokomial bermacam-macam dari ringan sampai berat. Infeksi nosokomial yang sering terjadi adalah infeksi aliran darah primer (nosocomial bloodstream infection atau sepsis nosokomial), pneumonia nosokomial atau pneumonia yang terjadi akibat penggunaan alat bantu napas (ventilator), infeksi saluran kemih akibat pemakaian kateter urin, atau infeksi luka operasi. Selain itu, infeksi nosokomial yang lain meliputi infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran cerna yang terjadi selama dirawat di rumah sakit.

Kejadian infeksi nosokomial berbeda di tiap negara, namun secara konsisten angka kejadiannya lebih tinggi pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif atau intensive care unit (ICU) dibandingkan bangsal perawatan biasa. Angka kejadian infeksi ini kebanyakan dilaporkan dari negara-negara maju dan jarang dilaporkan kejadiannya di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini kemungkinan karena sistem surveillance untuk mengumpulkan data di negara berkembang tidak valid dan tidak konsisten, sehingga beban infeksi nosokomial sering diabaikan. Padahal, angka kejadian infeksi nosokomial di negara berkembang mungkin lebih tinggi.

Di negara maju sekitar 2-10% pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Di negara berkembang, risiko mendapatkan infeksi nosokomial meningkat 2-20 kali lipat dan diperkirakan kejadian infeksi nosokomial mencapai 6 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial meliputi faktor risiko intrinsik (faktor pasien) dan ekstrinsik (faktor lingkungan sekitar pasien). Keparahan penyakit yang diderita, usia < 1 tahun, kelainan bawaan lahir, kondisi daya tahan tubuh rendah (immunocompromised), dan gizi kurang atau malnutrisi merupakan faktor risiko intrinsik terjadinya infeksi nosokomial. Faktor ekstrinsik yang meliputi pemakaian alat invasif (ventilator, kateter pembuluh darah sentral, dan kateter urin), nutrisi yang diberikan lewat infus (parenteral), lingkungan rumah sakit yang penuh orang, dan pemakaian antibiotik yang tidak rasional juga dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.

Pencegahan infeksi nosokomial merupakan salah satu faktor utama dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pencegahan infeksi nosokomial sudah rutin dilakukan di negara maju, namun jarang dilakukan di negara berkembang. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di negara berkembang menyatakan bahwa lebih dari 40% infeksi nosokomial sebenarnya dapat dicegah.

Ada dua mekanisme terjadinya infeksi nosokomial, yaitu (1) melalui transmisi silang (kuman berpindah dari satu orang ke orang lain), dan (2) penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Tangan petugas kesehatan merupakan kendaraan yang memungkinkan terjadinya transmisi silang kuman dari pasien ke pasien yang lain, sehingga cuci tangan merupakan salah satu intervensi untuk mengendalikan infeksi yang paling efektif dan murah untuk mencegah infeksi nosokomial.

Kolonisasi (perkembangbiakan) kuman atau bakteri yang resisten terhadap antibiotik terjadi sebelum munculnya infeksi nosokomial. Kolonisasi ini bisa berlangsung di tangan petugas kesehatan atau di lingkungan sekitar pasien. Kuman yang resisten tersebut dapat berpindah ke pasien, sehingga menyebabkan infeksi nosokomial yang disebabkan oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik.

Oleh karena itu, selain cuci tangan, untuk mencegah infeksi nosokomial diperlukan juga program pengendalian pemakaian antibiotik untuk meningkatkan pemakaian antibiotik yang rasional, sehingga mengurangi resistensi antibiotik. Pemakaian antibiotik yang rasional terbukti menurunkan infeksi nosokomial yang disebabkan oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik.

Mengapa cuci tangan penting dilakukan?

Kejadian infeksi nosokomial bisa diturunkan dengan cuci tangan yang teratur dan benar. Rendahnya kepatuhan cuci tangan ini merupakan penyebab utama infeksi nosokomial dan penyebaran kuman penyebab infeksi nosokomial yang resisten. Efektivitas cuci tangan telah dibuktikan di banyak penelitian di negara maju yang menunjukkan hubungan antara penurunan kejadian infeksi nosokomial dan peningkatan kepatuhan cuci tangan.

Walaupun sudah terbukti efektif bahwa cuci tangan dapat menurunkan kejadian infeksi, kepatuhan praktik cuci tangan diantara petugas kesehatan masih relatif rendah. Faktor-faktor yang disinyalir berkaitan dengan rendahnya kepatuhan cuci tangan adalah kurangnya pengetahuan dan informasi tentang pentingnya cuci tangan, tergolong kedalam kelompok tertentu (dokter, perawat, ahli fisioterapi), bekerja di tempat yang menggunakan alat-alat lebih canggih (ruang rawat intensif, rawat bedah atau kamar operasi, instalasi rawat darurat), memakai baju khusus rumah sakit dan/atau memakai sarung tangan, kurangnya jumlah tenaga kesehatan dan jumlah pasien yang melebihi kapasitas, kurangnya sarana untuk cuci tangan (wastafel, handuk, air, sabun atau alkohol), kurangnya waktu dan kurangnya tokoh yang bisa ditiru atau role model.

Kebanyakan infeksi nosokomial disebarkan melalui kontak langsung yang umumnya melalui tangan petugas kesehatan. Kuman patogen (kuman yang menyebabkan infeksi) dapat ditransmisikan tidak hanya melalui kontak langsung dengan pasien, tetapi juga melalui kontak dengan lingkungan sekitar pasien (tempat tidur pasien, selang infus atau stetoskop) yang selanjutnya dapat kontak dengan pasien. Oleh karena itu, cuci tangan merupakan upaya pencegahan infeksi nosokomial yang mudah, murah dan sangat efektif .

Cara mencuci tangan sesuai protokol dari WHO. Sumber: http://www.healthtard.com/
Cara mencuci tangan sesuai protokol dari WHO. Sumber: http://www.healthtard.com/

 Apakah definisi dari “penggunaan antibiotik yang rasional itu?

 Definisi penggunaan antibiotik yang rasional menurut World Health Organization (WHO) adalah pasien mendapatkan antibiotik yang sesuai dengan kebutuhan klinis, dosis, dan lama pemberian adekuat, serta dengan biaya murah. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Penggunaan antibiotik pada pasien yang dirawat inap di negara berkembang adalah 40-55% dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional mencapai 60%.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional berhubungan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi. Penggunaan antibiotik yang rasional baik di ICU dan bangsal umum sangat penting untuk mendapatkan luaran klinis yang optimal. Apabila antibiotik digunakan secara tidak rasional dapat mengakibatkan peningkatan resistensi terhadap antibiotik. Hal ini mengakibatkan munculnya infeksi nosokomial yang diakibatkan oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik, yang mengakibat infeksi ini makin sulit diatasi dan kematiannya lebih tinggi. Oleh karena itu, pelaksanaan program untuk mengendalikan penggunaan antibiotik yang rasional secara berkelanjutan sangat penting dalam menurunkan kejadian infeksi nosokomial.

Berdasarkan hal-hal diatas dapat disimpulkan terdapat dua hal yang terbukti efektif dan efisien untuk menurunkan kejadian infeksi nosokomial secara komprehensif, yaitu: (1) cuci tangan untuk mencegah transmisi silang kuman penyebab infeksi, dan (2) penggunaan antibiotik yang rasional untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik. Dengan menerapkan kedua hal tersebut secara bersamaan di salah satu rumah sakit rujukan di Indonesia, didapatkan penurunan kejadian infeksi nosokomial dari 22% menjadi 8%, penurunan penggunaan antibiotik yang tidak rasional dari 43% menjadi 21%, dan peningkatan kepatuhan cuci tangan oleh petugas kesehatan dari 19% menjadi 63%, serta penurunan angka kematian dari 10,5% menjadi 8%.

Dengan penurunan angka kejadian infeksi nosokomial, peningkatan penggunaan antibiotik yang rasional, peningkatan kepatuhan cuci tangan, serta penurunan angka kematian yang bermakna, maka program pencegahan infeksi nosokomial berupa cuci tangan dan penggunaan antibiotik yang rasional sebaiknya tetap dikerjakan secara berkesinambungan agar kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit menjadi optimal.

Catatan:

Mengapa cuci tangan dapat mencegah kejadian infeksi, apa jenis cuci tangan, kapan saat perlu melakukan cuci tangan, dan bagaimana cara cuci tangan yang benar dapat dibaca di Majalah 1000guru Edisi  Juni 2012.

 Bahan bacaan:

  • Murni IK, Duke T, Kinney S, Daley AJ, Soenarto Y. Reducing hospital-acquired infections and improving the rational use of antibiotics in a developing country: an effectiveness study. Arch Dis Child. 2015;100:454–9.
  • Murni IK, Duke T, Triasih R, Kinney S, Daley AJ, Soenarto Y. Prevention of nosocomial infections in developing 
countries, a systematic review. Paediatr Int Child Health. 2013;33:61–78.

Penulis:
Indah Kartika Murni, Staf di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP dr Sardjito/Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM, Yogyakarta. Kontak: ita_kartika(at)yahoo(dot)com

Back To Top