Konsep Diri dan Perilaku Asertif Korban Bullying

Pada beberapa tahun terakhir, telah terkuak berbagai kasus bullying yang terjadi di sekolah. Bullying merupakan tindakan agresif yang dilakukan oleh satu atau sekelompok siswa kepada siswa lainnya. Bullying biasanya terjadi berulang-ulang dan di dalamnya terdapat ketidakseimbangan kekuatan. Unsur-unsur yang terdapat di dalam bullying di antaranya adalah ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, dan ancaman teror lebih lanjut.

Bullying cenderung terorganisasi, sistematis, dan tertutup. Aktivitas ini kadang-kadang dilakukan bila ada kesempatan, tetapi sekali saja dimulai ini akan berkelanjutan. Korban bullying biasanya mengalami penderitaan fisik maupun psikologis. Kematian merupakan dampak terburuk dari bullying, baik itu kematian yang disebabkan kondisi fisik yang kepayahan setelah mengalami kekerasan atau kematian yang disebabkan bunuh diri yang dipicu perasaan depresi. Korban bullying cenderung mengalami berbagai gangguan psikologis dan memiliki konsep diri negatif sehingga tidak dapat berperilaku asertif.

Perilaku asertif adalah sikap tegas yang timbul karena adanya kebebasan emosi. Individu yang asertif mampu menyatakan perasaan dan pemikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakannya kepada orang lain. Dalam artikel ini, akan dijelaskan bahwa konsep diri pada korban bullying memegang peranan penting dalam rekonstruksi perilaku asertif. Konsep diri positif menghasilkan perilaku asertif, sedangkan konsep diri negatif menghasilkan perilaku pasif. Meski demikian, konsep diri dengan perilaku asertif pada korban bullying tidak selalu memiliki hubungan sebab akibat.

Dalam pandangan penulis, setiap generasi selalu mendapatkan pengalaman bullying sehingga aktivitas bullying cukup sulit untuk dihentikan. Untuk menekan dampak buruk bullying, perhatian khusus perlu diberikan dari sudut pandang korban, bagaimana korban bullying bisa tetap berpikir positif dalam hidup dan tidak menjadikan bullying sebagai aktivitas yang perlu diteruskan ke generasi siswa berikutnya.

Riauskina dkk pada tahun 2005 melakukan penelitian di dua SMA yang menghasilkan data bahwa korban bullying merasa hidupnya tertekan, takut bertemu pelaku bullying, perasaan harga diri yang rendah, kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, siswa stres, mogok sekolah, kehilangan kepercayaan diri, bahkan depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri dengan menyilet-nyilet tangannya sendiri. Secara tidak langsung, jika kondisi psikis korban bullying dapat dikembalikan seperti sebelum mengalami bullying, diharapkan kekerasan ini akan terhenti karena korban berani menghadapi pelaku dan situasi bullying.

Siswa yang berpotensi menjadi korban bullying adalah siswa-siswa yang cenderung tidak asertif. Siswa yang telah menjadi korban bullying biasanya menunjukkan perilaku mengelak dan tidak mau menjawab ketika ditanya, sulit berkomunikasi, dan tidak terdorong untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Korban yang merasa kesal, marah, dan tidak menunjukkan perilaku asertif akan semakin tertekan atas keadaan tersebut sehingga tidak dapat menjalin hubungan interpersonal dengan baik.

Sikap tertutup, tidak asertif, cemas, dan rendah diri akan menurunkan prestasi belajar, menjadi hambatan dalam bergaul, dan menghambat perkembangan psikis para siswa yang menjadi korban bullying. Menurut Partosuwido, individu yang memiliki perasaan rendah diri, cemas, dan mudah terpengaruh dikatakan memiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif individu. Individu dengan konsep diri negatif memiliki kecemasan ketika mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga akan menghambat individu tersebut untuk berperilaku asertif kepada orang lain.

Individu dengan konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak diterima oleh lingkungan sehingga cenderung tidak berani mengambil resiko. Sementara itu, individu dengan konsep diri positif akan menyukai dan menerima keadaan dirinya sehingga akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi sosial secara tepat.

Berdasarkan studi kasus yang pernah dilakukan penulis di dua madrasah di Semarang, dikombinasikan dengan observasi terhadap perilaku siswa SD di Jepang, salah satu faktor yang berperan besar terhadap perilaku asertif individu adalah konsep diri individu yang bersangkutan. Korban bullying yang memiliki konsep diri positif akan menerima keadaan dirinya sehingga memiliki rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi sosial secara tepat.

Korban bullying dengan konsep diri positif akan berusaha untuk berperilaku asertif karena perilaku asertif merupakan bentuk keterampilan sosial yang tepat untuk berbagai situasi sosial. Sementara itu, korban bullying dengan konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak diterima oleh lingkungan sehingga cenderung tidak berani mengambil resiko untuk mengungkapkan secara jujur apa yang dirasakan pada situasi bullying. Kita akan coba bahas bagaimana hubungan antara konsep diri dengan perilaku asertif untuk menjawab apakah konsep diri memiliki peran signifikan terhadap perilaku asertif.

Teori dan definisi dasar

Ada banyak teori dan definisi yang berbeda mengenai perilaku asertif dan konsep diri. Untuk menghindari kerancuan, definisi yang digunakan di sini berdasarkan pada teori dari Shavelson, Lange, dan Jakubowski, yang cocok diterapkan dalam konteks korban bullying.

Lange dan Jakubowski menyatakan bahwa perilaku asertif adalah tingkah laku dalam hubungan interpersonal yang ditandai dengan seseorang mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang diungkapkan secara langsung, jujur, tepat, dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Perilaku asertif meliputi penghormatan terhadap diri sendiri (self-respect) dan penghormatan terhadap orang lain. Beberapa faktor sudah diteliti mempengaruhi perilaku asertif individu, misalnya keluarga, budaya, kekuasaan, dan gender. Akan tetapi, peranan konsep diri terhadap perilaku asertif masih belum banyak diteliti.

Di sisi lain, secara sederhana, konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini akan menentukan tingkat harga diri seseorang. Istilah harga diri mengacu pada seberapa jauh seseorang meyakini dirinya sendiri mampu, penting, maupun berharga, yang diekspresikan melalui sikap-sikap individu tersebut di dalam suatu lingkungan sosial.

Shavelson menyusun struktur konsep diri dalam bentuk suatu hierarki. Konsep diri umum (general self-concept) berada pada puncak hierarki yang kemudian terbagi menjadi konsep diri akademis (academic self-concept) dan konsep diri nonakademis (non-academic self-concept). Struktur yang terperinci dapat dilihat pada Gambar 1.

Model konsep diri menurut Shavelson.
Gambar 1: Model konsep diri menurut Shavelson.

Terkait struktur ini, menurut Shavelson, pengalaman individu yang berbeda-beda digeneralisasikan menjadi kategori yang sederhana. Tingkat dasar hierarki konsep diri adalah pengalaman-pengalaman dan situasi-situasi khusus yang diintegrasikan sehingga membentuk konsep diri umum.

Ciri-ciri konsep diri di antaranya adalah:

  1. Konsep diri merupakan organisasi yang terstruktur. Setiap individu mempunyai informasi terstrukturisasi tentang dirinya sendiri dan setiap informasi tersebut berhubungan satu sama lain.
  2. Konsep diri umum merupakan bagian yang stabil, tetapi hierarki di bawahnya bersifat kurang stabil. Keadaan ini disebabkan adanya konsep diri pada situasi yang spesifik.
  3. Konsep diri berkembang seiring bertambahnya usia. Konsep diri menjadi lebih kompleks ketika individu berkembang dewasa.
  4. Konsep diri dapat membedakan suatu konsep teoretis yang saling terkait. Contohnya, nilai pelajaran matematika tentunya lebih baik jika dihubungkan dengan konsep diri akademis daripada konsep diri fisik atau emosi.

Merujuk pada Hurlock, dua aspek terpenting konsep diri adalah aspek fisik dan aspek psikologis. Jika dikaitkan dengan korban bullying, kedua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Aspek fisik berhubungan dengan keadaan tubuh dan penampilan korban bullying sebagaimana yang diyakini korban dan yang dinilai orang lain.
  2. Aspek psikologis berhubungan dengan harga diri, rasa percaya diri, dan kemampuan atau ketidakmampuan korban bullying dalam berinteraksi dengan orang lain.

Dari dua aspek konsep diri ini, sebuah skala konsep diri dapat disusun untuk menilai individu korban bullying. Skala konsep diri diberikan berdasarkan pengisian kuesioner dan wawancara yang dilakukan pada korban. Semakin tinggi skor skala konsep diri, semakin positif konsep diri individu yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin rendah skala tersebut, semakin negatif konsep diri individu.

Observasi dan analisis contoh kasus

Mari cermati perbandingan tiga kategori bullying yang diberikan pada Gambar 2 berdasarkan observasi yang pernah dilakukan penulis di dua MTs di Semarang pada tahun 2007-2008. Data ini diperoleh dari melalui pemberian kuesioner dan wawancara 89 siswa korban bullying.

Gambar 2: Persentase kategori bullying di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran.
Gambar 2: Persentase kategori bullying di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran.

Dapat dilihat bahwa bullying dalam bentuk tekanan nonfisik, misalnya diejek, dibentak, atau diabaikan oleh teman, merupakan bentuk bullying yang banyak terjadi. Meskipun data ini hanya berasal dari sedikit sampel, tetapi secara umum data tersebut juga merepresentasikan apa yang terjadi di tempat lain mengingat keragaman latar belakang siswa di kedua sekolah tempat observasi.

Observasi yang dilakukan penulis pada anak-anak Indonesia di Jepang yang bersekolah di SD Kunimi Sendai, Jepang, pada Desember 2010 hingga Agustus 2011 menegaskan fakta bahwa bullying nonfisik lebih banyak terjadi dan menyakiti kondisi psikis anak-anak tersebut. Dalam penelitian lain, Sullivan bahkan menemukan 14% anak laki-laki dan 12% anak perempuan enggan pergi ke sekolah lagi setelah mengalami bullying nonfisik.

Dengan demikian, bullying nonfisik secara tidak langsung lebih berbahaya dibandingkan bentuk bullying lainnya. Inilah yang menjadi landasan utama pemikiran pentingnya konsep diri dalam rekonstruksi perilaku asertif korban bullying. Perilaku asertif hanya bisa muncul jika ada pertahanan diri yang kuat secara psikologis. Pertahanan diri ini dapat dibentuk dengan konsep diri positif.

Dari skala konsep diri dan perilaku asertif yang diberikan kepada siswa korban bullying, uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran skor variabel masing-masing skala. Uji normalitas ini menggunakan metode pengujian Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas yang diskalakan dalam parameter normalitas (p) menunjukkan bahwa sebaran variabel konsep diri (p = 0,954) dan variabel sikap asertif (p = 0,632) memiliki bentuk normal karena signifikansi p > 0,05.

Uji linearitas kemudian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel konsep diri (x) dengan perilaku asertif (y). Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai koefisien korelasi rxy = 0,362 dan koefisien determinasi R2 = 0,131. Nilai koefisien korelasi menunjukkan hubungan positif antara konsep diri dengan perilaku asertif. Koefisien determinasi mengindikasikan kontribusi konsep diri sebesar 13,1% terhadap perilaku asertif. Sementara itu, tingkat signifikansi diperoleh sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara konsep diri dengan perilaku asertif.

Perhitungan sumbangan efektif variabel prediktor terhadap variabel kriterium juga dapat dilakukan untuk menguji lebih lanjut hipotesis kesebandingan perilaku asertif dengan konsep diri. Pada tabel diberikan gambaran umum skor variabel-variabel observasi.

Gambaran umum skor variabel observasi di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran.
Gambaran umum skor variabel observasi di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran.

Pengelompokan korban bullying dapat dibuat berdasarkan gambaran umum skor perilaku asertif dan konsep diri. Tujuan pengelompokan ini adalah untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok terpisah secara berjenjang berdasarkan atribut yang diukur. Sesuai dengan tujuan tertentu, pengelompokan tersebut bersifat relatif.

Penyusun skala psikologi dapat menetapkan untuk membuat lima atau enam pengelompokan sesuai dengan tingkat perbedaan yang dikehendaki. Penetapan pengelompokan tersebut berdasarkan pada satuan simpangan baku seperti yang ditunjukkan tabel dengan rentangan angka-angka minimal dan maksimal secara teoretis. Pengelompokan tingkat perilaku asertif dan konsep diri dari data tersebut masing-masing diberikan pada Gambar 3. Ternyata 65% korban bullying masih bisa berperilaku asertif dan 52% memiliki konsep diri positif. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa mayoritas siswa korban bullying yang memiliki konsep diri positif akan berperilaku asertif.

Pengelompokan tingkat perilaku asertif dan konsep diri pada korban bullying.
Gambar 3: Pengelompokan tingkat perilaku asertif dan konsep diri pada korban bullying.

Alat ukur yang digunakan adalah skala perilaku asertif korban bullying dan skala konsep diri. Beberapa butir skala perilaku asertif antara lain:

  1. Saya berusaha memberi alasan yang baik agar teman tidak memaksa saya untuk memenuhi keinginannya
  2. Saya memberikan uang jika ada teman yang meminta karena takut dimarahi
  3. Saya akan berterus terang ketika saya ingin didengarkan
  4. Saya memilih diam ketika ada teman yang marah kepada saya tanpa alasan
  5. Saya akan mengatakan ”maaf” ketika saya tidak bisa membantu teman saya
  6. Saya mengikuti semua perintah teman-teman agar diterima dalam pergaulan

Siswa korban bullying yang mampu berperilaku asertif cenderung mampu mengekspresikan dirinya yang sebenarnya, keinginannya, perasaannya, dan pendapatnya mengenai situasi tertentu, tanpa mendominasi, mempermalukan, atau merendahkan orang lain. Para siswa korban bullying yang asertif akan berani menuntut hak-haknya tanpa mengalami ketakutan atau rasa bersalah serta tanpa melanggar hak-hak orang lain, sedangkan para siswa korban bullying yang tidak asertif (pasif) gagal mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinannya secara jujur karena menghindari konflik yang merugikan dengan orang lain sehingga orang lain akan mudah meremehkan mereka.

Salah satu fenomena menarik berdasarkan wawancara dengan guru di MTs Al Falah Wujil dan seorang siswa SD di Jepang, bullying ternyata biasa dilakukan antarsiswa dan dianggap sebagai hal yang wajar dalam pergaulan sehari-hari. Beberapa guru yang terlibat langsung dengan murid dalam kegiatan belajar mengajar menganggap bahwa bullying tidak perlu ditanggapi secara serius.

Perilaku asertif korban bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu yang dominan adalah faktor budaya, seperti yang terjadi di Jepang. Selain itu, perilaku asertif berkembang sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan.

Sebagai kesimpulan, ditemukan bahwa ada kesebandingan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku asertif pada siswa korban bullying. Dalam kasus ini, konsep diri positif dan perilaku asertif tidak saling berhubungan kausal. Di masa mendatang, faktor budaya, pola asuh, dan keluarga harus lebih diperhatikan untuk menjadi solusi terapi korban bullying sehingga mencegah bullying tidak berlanjut ke generasi berikutnya. Penelitian-penelitian terkait bisa juga dilakukan sebagai masukan kepada pengambil kebijakan untuk menjamin pembangunan karakter anak didik yang sesuai harapan.

Bahan bacaan:

  • Sullivan K, Cleary M, Sullivan G. Bullying in Secondary Schools. California: Corwin Press. 2005: 1-21.
  • Coloroso B. The Bully, The Bullied, and The Bystander. New York: Collins Living. 2004.
  • Riauskina II, Djuwita R, Soesetio SR. Gencet-gencetan di mata siswa kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak gencet-gencetan. Jurnal Psikologi Sosial 12(1). 2005: 1 – 13.
  • Partosuwido SR. Penyesuaian diri mahasiswa dalam kaitannya dengan konsep diri. Jurnal Psikologi UGM. Yogyakarta: UGM. 1993.
  • Ninggalih R. Hubungan antara konsep diri dengan perilaku asertif pada siswa korban bullying di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran Kabupaten Semarang. Skripsi di Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Semarang. 2008.
  • Shavelshon RJ, Hubner JJ, Stanton GC. Evaluation of Behavior in Specific Situation. Ditulis dalam buku: Adolescence, Adolescents. Fuhrmann BS (Editor). London: Scott Foresman and Co. 1990: 338.
  • Lange AJ, Jakubowski P. Responsible Assertive Behavior. Illinois: Research Press. 1976: 1-7.
  • Rakos RF. Assertive Behavior. New York: Routledge Chapman and Hall Inc. 1991: 170-180.
  • Hurlock EB. Psikologi Perkembangan. Alih bahasa: Istiwidayati, Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1997: 237.
  • Taki M. Japanese School Bullying: Ijime. URL: http://www.nier.go.jp/a000110/Toronto.pdf

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top