Idola: Dari Panutan Hingga Fanatisme

Siapa di antara teman-teman yang punya idola? Pertanyaan ini tampaknya agak retoris. Mungkin bisa dibilang semua orang di dunia punya idolanya masing-masing, siapapun mereka. Ada yang menjadikan orangtuanya sebagai idola, ada yang menjadikan seorang tokoh tertentu, baik tokoh sosial, agama, olahraga atau dunia hiburan sebagai idola.

Selain berupa “manusia”, ada pula yang menjadikan sebuah komunitas sebagai idola. Kata “idola” telah menempati posisi yang nyaman didengar dan wajar digunakan dalam kehidupan bermasyarakat (khususnya di Indonesia) saat ini. Tetapi, apakah teman-teman tahu apa arti asalnya dari kata idola itu sendiri?

Kata idola dalam bahasa Indonesia, atau idol dalam bahasa Inggris, secara linguistik berasal dari kata Yunani είδωλο (‘eído̱lo‘),  yang berarti gambar atau bentuk. Kata ini lalu diserap menjadi kosakata Latin Baru idolum dan menjadi kosakata Anglo French idle, sebelum akhirnya diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi kata yang resmi dikenal sejak abad ke-13 Masehi, ‘idol‘.

Kamus Merriam-Webster mendefinisikan idol dalam berbagai makna berikut:

  1. a representation or symbol of an object of worship; broadly : a false god; 
  2. a: a likeness of something    b: obsolete : pretender, impostor
  3. a form or appearance visible but without substance 
  4. an object of extreme devotion ; also : ideal
  5. a false conception : fallacy

Sepertinya citra istilah idola pada aslinya bermakna cukup buruk. Namun, seiring berjalannya waktu, kata ini mengalami ameliorasi (penghalusan makna). Kebanyakan orang sekarang memaknai kata idola sebagai “tokoh yang dikagumi”, “panutan” atau “pujaan”. Padahal, dahulu orang Inggris sana menggunakan kata idol untuk merujuk pada patung.

Tanpa perlu membahas konspirasi paganisme, nyatanya banyak orang di dunia ini (termasuk di Indonesia) yang menjadikan tokoh idolanya sedemikian rupa sehingga mirip dengan tradisi pagan. Dalam tradisi itu, orang-orang memuja simbol-simbol dan idol yang mereka yakini dapat memberi kebaikan kepada diri mereka, persis seperti definisi nomor 4 yang diuraikan kamus Merriam-Webster.

Kalau kata orang banyak jalan menuju Roma, kita bisa bilang banyak pula jalan menuju status idola. Biasanya, seorang idola dilihat dari kemampuannya di suatu bidang tertentu atau berbagai bidang, ditandai dengan kata-kata semacam “keren” atau “menakjubkan”.

Jalan lain menuju idola, bisa melalui kepribadian yang spesial meski umumnya lebih sulit bagi golongan ini untuk menggapai status idola, itupun jika mereka memang mengincarnya. Jalan paling mudah, dan sekaligus pula paling mudah membuat orang geleng-geleng kepala, eh geleng-geleng rambut, adalah sekadar mengandalkan atribut dirinya. Entah atribut dari penampilan, atribut dari darah, ataupun ras.

Ketika seseorang dikategorikan sebagai idola, banyak orang berbondong-bondong ikut mengidolakannya, terkadang dengan alasan yang benar-benar sepele atau bahkan tanpa alasan sama sekali. Misalnya, ada yang rela menyaksikan pertandingan sepakbola berjam-jam dan belajar memahami dunia sepakbola dengan diawali dari kekaguman akan salah satu pemainnya (sekaligus klub tempat ia bernaung).

Ada pula yang rela mempelajari suatu bidang tertentu lebih jauh dari hasil kekagumannya terhadap seorang ahli di bidang itu. Sampai saat ini, meskipun terkadang terasa sedikit mengganggu (khususnya jika dia mengelu-elukan tokoh tersebut di hadapan kita), selama semua itu mengarah ke tindakan yang positif seharusnya masih tidak masalah.

Masalah biasanya bermula ketika pengidolaan sudah mengarah ke fanatisme. Untuk konteks pengidolaan, titik fanatisme dimulai ketika seseorang mengidolakan sesuatu sedemikan rupa sehingga muncul pembenaran terhadap sikap apapun dari sang tokoh idola. Tak jarang, gaya hidup sang idola yang biasanya muda, kaya, cantik atau tampan, serta terkenal, ini menjadi idaman bagi para penggilanya.

Para pemuja idola sering membayangkan dirinya sebagai sang tokoh dan berlaku meniru sosok idolanya. Penampilan dan gaya hidup dari model rambut, cara berdandan, dan bahkan perilakunya dijiplak dan diikuti. Ketika sang idola melakukan kesalahan fatal dalam bersikap, seribu alasan dan pembenaran justru bukan datang dari mulut idola, tetapi dari para pendukung setianya, yang seolah telah dibutakan dari kenyataan.

Fanatisme semacam itu perlu dihindari karena dapat membuat orang mengesampingkan logikanya. Cukup mudah kita bayangkan contoh remaja labil yang rela mengantri dan menunggu berjam-jam hanya demi bertemu, menonton aksi sang idola, atau sekadar melihatnya dari kejauhan. Beberapa bahkan rela tak makan, rela berkelahi, rela merusak nama baiknya sendiri, hingga rela menggadaikan nyawa mereka.

Ironisnya, kebanyakan idola yang diagung-agungkan itu bisa jadi tidak peduli akan nasib para penggemarnya. Ilusi memang paling andal dalam membuai dan membutakan manusia.

“That idol, which you love so much, may be not love you back.”
“That idol, which you love so much, may be not love you back.”

Lebih parah lagi, fanatisme pada idola rupanya tak hanya ditujukan kepada idola berupa manusia. Karena aslinya kata idola atau idol memang bermakna untuk sesembahan, terutama patung, jadilah benda berupa “sesembahan” manusia masa kini sendiri banyak pula yang berupa materi tak hidup. Meski demikian, dalam hal ini memang maksudnya secara konotatif.

Jutaan orang sekarang “menghamba” kepada uang. Mereka menghabiskan segala usaha mereka untuk uang dan menghalalkan segala cara demi uang, yang tak lama kemudian menguap juga dari tangan mereka. Banyak juga yang lain “mengabdikan” dirinya pada kekuasaan dan berbagai gemerlap harta dunia.

Sekali lagi, ilusi paling andal dalam memengaruhi manusia sehingga ia mementingkan suatu hal yang (sebenarnya) tak penting baginya. Terlepas dari itu, kita mungkin bertanya, “Lalu siapa dong yang pantas jadi idola?” Tentu saja idola yang dimaksud di sini adalah idola yang telah mengalami penghalusan makna, bukan dalam makna aslinya sebagai sesembahan.

Kita mungkin tidak perlu melekatkan idola dengan suatu identitas khusus. Pun sebaliknya, mengidolakan satu figur tertentu tidak berarti memberi kita identitas khusus itu secara otomatis. Apa pentingnya sebuah identitas khusus jika ia melekat begitu saja tanpa usaha kita untuk meraihnya? Apa gunanya kita mengaku-ngaku mengidolakan seorang tokoh yang terkenal bijak jika kita jauh dari sikap tersebut?

Ada beberapa kriteria idola yang cukup baik maknanya secara universal dan dapat diterima beragam budaya. Di antaranya, idola bisa berupa sesosok figur yang tak membuat kita malu membicarakannya, atau bahkan membuat bangga, karena kontribusinya dalam kebaikan bersama dan kepribadiannya yang luar biasa.

Seorang idola yang baik juga bisa berupa figur yang mampu menginspirasi orang, entah melalui kata-kata maupun dengan tindakan. Dan mungkin yang paling penting, idola yang baik haruslah figur yang membantu munculnya perkembangan positif dalam diri pengagumnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, seseorang secara tak langsung akan menyerap nilai-nilai yang dia temui pada sosok yang ia kagumi.

Tentu dengan ini, baik-buruknya nilai-nilai tersebut secara mentah, sangat bergantung kepada si figur idola. Kalau kata pepatah, orang yang berteman dengan penjual parfum, pasti akan terkena harum parfumnya juga. Singkatnya, makna idola dalam hal positif ini ketika ia layak dikategorikan sebagai “panutan”, bukan idola yang dapat membawa pada “fanatisme sesat”.

Ingat, dalam memilih idola, tetap jaga akal sehat supaya tak dibutakan ilusi, apalagi hawa nafsu. Jangan sampai kita tak bisa mengendalikan diri sendiri karena terjajah oleh keduanya.

Penulis:
Gianluigi G. Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.

Back To Top