Setiap anak adalah bintang kehidupan bagi dirinya masing-masing. Bintang tersebut akan bersinar terang apabila orang tua dan guru mampu menggali potensi yang dimiliki anak. Sayangnya, terkadang baik guru maupun sekolah masih menganggap bahwa potensi anak dapat dikategorikan. Contohnya, pembagian kelas antara anak unggulan dan anak reguler/biasa.
Anak unggulan biasanya dikenal dengan akademisnya baik (masuk kelas IPA), akhlaknya terpuji, kelas kesayangan, dan kebanggaan para guru. Banyak orang tua yang senang sekali memiliki anak seperti mereka. Di sisi lain, anak reguler biasanya dianggap anak yang meraih nilai biasa, perilaku biasa dan masuk dalam kelas yang dianggap biasa pula. Guru kurang bangga dan bahkan ada orang tua yang kecewa apabila anaknya tidak masuk kelas unggulan.
Tidak dapat kita pungkiri hal-hal seperti itu terjadi pada sebagian sekolah dan orang tua. Padahal, pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah “memanusiakan manusia” dan bukan mengelompokkan manusia sebagai A, B, atau C. Setiap anak berhak dianggap unggul karena Tuhan tidak menciptakan produk gagal. Kira-kira begitulah yang dikatakan Munif Chatib dalam bukunya “Orang Tuanya Manusia”.
Agar terbentuk manusia unggul ini, dibutuhkan kerjasama antara guru dan orang tua. Kerjasama yang seperti apa? Tentunya kerjasama yang membangun, dan bukan orang tua yang salah paham dengan kebijakan sekolah lalu protes hingga terkadang ingin ikut mengatur ketentuan sekolah. Atau, terkadang ada guru yeng berprasangka bahwa seorang anak bermasalah karena kesalahan orang tuanya.
Komunikasi yang baik harus terjalin antara anak, orang tua, wali kelas, guru BK, dan pihak sekolah lainnya. Untuk kepentingan siapa? Bukan hanya untuk kepentingan anak namun lebih tepatnya kepentingan kita bersama. Kepentingan guru dan orang tua mendidik anak menjadi anak yang berguna bagi keluarga, bangsa, dan agama. Tentunya yang diuntungkan ketika seorang anak tumbuh dengan bijaksana dan sukses adalah anak itu sendiri, orang tuanya, dan masyarakat.
Komunikasi yang dibangun haruslah didasari rasa saling percaya satu sama lain bukan saling menyalahkan atau melempar tanggung jawab. Perlu juga keyakinan bahwa guru adalah sosok yang harus dihormati. Sebaliknya, dalam hati guru harus tertanam bahwa anak didik sebagai harta yang berharga sama halnya seperti anak sendiri.
Ketika komunikasi sudah berjalan dengan baik dan harmonis diharapkan pendidikan pun berjalan dengan lancar. Setelah itu, kerjasama yang dilakukan oleh orang tua adalah mendidik anak di rumah dengan baik. Bukan hanya mengandalkan sekolah karena keluarga, khususnya ibu, adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Apa yang seharusnya dilakukan orang tua dan anak di rumah? Hal yang paling utama adalah “perhatian”. Contoh perhatian-perhatian yang seharusnya bisa dilakukan oleh para orang tua:
- Menyambut anaknya pulang dengan senyuman
- Bersalaman, memeluk atau mengelus kepala dengan penuh kasih sayang
- Bertanya hal-hal ringan berkaitan dengan sekolah, pertemanan dan lain sebagainya
- Menjadi pendengar yang baik bagi cerita anak-anaknya.
Demikian pula bagi sang anak, perlu membalas kebaikan orang tua dengan perilaku yang baik pula, atau bahkan memulai inisiatif hubungan yang cair dengan orang tua.
Komunikasi dan perhatian yang cukup antara orang tua terhadap anaknya sebenarnya cukup mudah dilakukan. Amat disayangkan hal-hal sederhana ini tidak didapatkan anak dari orang tuanya. Sebagai contoh, pelukan yang diberikan orang tua diketahui manfaatnya dapat meningkatkan kepercayaan diri anak. Namun, berapa banyak orang tua yang kerap memeluk anaknya? Pun anak-anak zaman sekarang mungkin tidak banyak pula yang senang memeluk orang tua mereka sendiri.
Apabila orang tua sudah mendidik anaknya di rumah dengan baik, sesungguhnya itulah kerjasama terbaik antara guru dan orang tua. Memang terkadang orang tua perlu datang ke sekolah untuk mengetahui keadaan anak di sekolah. Ini bisa dilakukan sesekali, selain pengetahuan tentang anaknya bertambah dan juga akan terjalin silaturahmi yang baik.
Tugas guru di sekolah pastinya adalah menjalankan fungsinya sebagai guru seperti mendidik, membimbing, memfasilitasi, dan mengajari. Sebenarnya yang harus dilakukan guru hampir sama dengan orang tua di rumah. Guru menyambut siswa dengan senyuman, memberikan pujian, bertanya apa yang dirasakan murid-muridnya sebelum memasuki pelajaran. Ya, guru harus menjadi gurunya manusia, bukan gurunya robot atau mesin yang hanya diberikan tugas dan hafalan.
Guru yang perhatian akan selalu dirindukan para siswanya. Anak akan bercerita pada orang tua tentang guru yang seperti ini dengan senangnya. Tanpa disadari kerjasama pun akhirnya terjalin dengan wali murid. Setiap anak didik itu memang berbeda, namun bukan untuk dibeda-bedakan. Mereka punya hak yang sama yakni mendapatkan pengajaran dan pendidikan terbaiknya dari guru yang mereka sayangi.
Apabila kerjasama ini terjalin sebagaimana mestinya, mewujudkan anak menjadi bintang yang bersinar akan tercapai. Bukan hanya menyinari dirinya sendiri namun juga menyinari orang-orang di sekitarnya. Dan semoga, dunia ini pun menjadi lebih baik. Dunia yang ceria, bersih, penuh mimpi, dan kebaikan. Bukankah bangsa kuat juga berasal dari pendidikan keluarga dan sekolah?
Bahan bacaan:
- M. Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka (2014).
- M. Chatib, Orang Tuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak . Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka (2014).
- http://kitadanbuahhati.com/article/menjadi-orangtua-hebat-tidak-perlu-pendidikan-tinggi.html
- http://bidanku.com/manfaat-pelukan-orangtua-bagi-perkembangan-psikologis-anak
Penulis:
Pepi Nuroniah, Guru BK di MAN 2 Serang, Banten. Kontak: pepinuroniah(at)yahoo(dot)com.