Dalam rubrik fisika edisi Juni 2011, kita pernah membahas bagaimana elektron “sepertinya” bisa tahu pintu sebelah tertutup atau terbuka tanpa melewatinya. Kali ini, kita akan coba menerapkan fenomena tersebut untuk suatu aplikasi yang menarik, yaitu menguji apakah sebuah bom masih aktif atau tidak, dengan tanpa meledakkannya. Aplikasi ini kita sebut dengan “tester bom kuantum” (quantum bomb tester).
Namun, untuk mengerti cara kerja tester bom kuantum ini, pembaca harus “percaya” dulu fakta dan hasil percobaan Mach-Zender di rubrik fisika edisi Desember 2011. Kunci untuk mengikuti alur kerja tester bom kuantum adalah perilaku dinamika lokal foton (atau benda-benda mikroskopis lainnya seperti elektron, proton, atom, dan molekul-molekul kecil) yang “sepertinya” bergantung pada konteks global dari keseluruhan konfigurasi eksperimen.
Mari kita diskusikan ulang perilaku foton bila dihadapkan pada sebuah beam splitter dan hasil dari percobaan Mach-Zender. Pertama, kita tembakkan foton satu per satu ke arah sebuah beam splitter (disingkat B-S) A dan kita taruh dua detektor cahaya (B dan C) seperti ditunjukkan pada diagram 1. Tugas detektor adalah mencatat bila ada foton yang datang dan menyerapnya.
Detektor yang mengonsumsi sebuah foton kemudian akan berpendar. Hasilnya adalah ketika detektor B mencatat ada foton yang datang (berpendar), maka detektor C tidak mencatat ada foton yang datang kepadanya (gelap) seperti yang ditunjukkan pada diagram 1a. Peristiwa sebaliknya ditunjukkan pada diagram 1b.
Dari hasil percobaan tersebut kita “berkesimpulan” bahwa sebuah foton hanya bisa lewat satu jalur dalam satu waktu, apakah lewat jalur atas (foton yang datang dipantulkan oleh beam splitter A (B-S A) dan menyalakan detektor C) atau lewat jalur bawah (foton yang datang diteruskan oleh B-S A dan ditangkap detektor B). Satu fakta percobaan yang sangat penting adalah meskipun semua foton dihasilkan dari sebuah alat dengan semua kontrol parameter yang sama, tetapi untuk setiap foton yang kita tembakkan itu kita tidak tahu apakah foton tersebut akan diteruskan atau dipantulkan oleh beam splitter.
Setiap foton yang datang akan dipantulkan atau diteruskan secara acak. Keteracakan ini adalah karakteristik mendasar di dunia mikro, dan sampai sekarang para peneliti masih tidak tahu asal-usulnya. Mari kita asumsikan bahwa kemungkinan sebuah foton dipantulkan atau diteruskan adalah setengah-setengah. Beam splitter semacam ini disebut juga sebagai setengah cermin (half-silvered mirror). Kemudian, mari kita lakukan percobaan berikutnya dengan menggunakan dua buah beam splitter (B-S A dan D) dua buah cermin (cermin B dan C), dan tiga buah detektor (E, F, dan G) dengan konfigurasi seperti pada diagram 2.
Untuk percobaan kedua ini, ada 3 kasus yang mungkin terjadi mengikuti hasil dari percobaan sebelumnya. Kemungkinan pertama, seperti ditunjukkan pada diagram 2a, foton yang datang diteruskan oleh B-S A dan ditangkap oleh detektor G, selesai. Detektor G berpendar, dan detektor E dan F gelap. Sementara itu, kemungkinan kedua dan ketiga dideskripsikan pada diagram 2b. Foton yang datang dipantulkan oleh B-S A kemudian dipantulkan oleh cermin C ke arah B-S D.
Sesuai dengan hasil percobaan pada diagram 1, foton yang datang ke B-S D akan diteruskan ke detektor E atau dipantulkan ke detektor F dengan kemungkinan setengah-setengah. Hasilnya, detektor E berpendar dan detektor F gelap (kemungkinan kedua) atau detektor E gelap dan detektor F berpendar (kemungkinan ketiga). Pada kedua kemungkinan terakhir ini, detektor G akan gelap.
Apa yang terjadi kalau detektor G kita ambil dari jalur A-B seperti pada diagram 3? Intuisi kita mengatakan, karena beam splitter A dan D memantulkan atau meneruskan setiap foton yang datang dengan kemungkinan setengah-setengah, dan cermin B dan C memantulkan setiap foton yang datang ke mereka, maka dari sejumlah N foton yang kita tembakkan, bila N cukup besar, sekitar N/2 foton akan tertangkap di detektor E dan sekitar N/2 foton akan menyalakan detektor F, seperti ditunjukkan pada diagram 3a.
Di sinilah misteri itu dimulai. Seperti yang kita bahas di rubrik fisika Desember 2011, hasil dari percobaannya adalah, jika panjang dari jalur A-B-D sama dengan panjang A-C-D, semua foton yang kita tembakkan akan sampai ke detektor E dan sama sekali tidak ada foton yang datang ke detektor F. Ilustrasinya seperti ditunjukkan pada diagram 3b.
Apa yang sebenarnya terjadi? Adakah yang salah dengan intuisi kita yang sederhana yang kita bangun dari hasil percobaan pertama yang ditunjukkkan oleh diagram 1? Untuk menjelaskan hasil percobaan pada diagram 3b, kita mungkin bisa berargumen bahwa setiap satu foton yang datang ke B-S A akan membelah seperti gelombang. Separuh dari belahannya melewati jalur A-B-D dan separuh yang lain melewati A-C-D. Mereka kemudian berinterferensi di detektor E dan F sedemikian rupa sehingga di detektor F terjadi interferensi yang saling mematikan. Sebaliknya, di detektor E mereka saling menguatkan seperti gelombang biasa.
Tapi tunggu dulu! Bukankah penjelasan semacam ini bertentangan dengan hasil percobaan pertama di diagram 1, ketika beam splitter akan memantulkan atau meneruskan setiap satu foton yang datang sehingga setiap foton hanya bisa lewat satu jalur dalam satu waktu. Dengan kata lain, foton berperilaku seperti satu partikel yang utuh yang tidak membelah ketika melewati beam splitter.
Hasil percobaan ini mengharuskan kita untuk memperbaiki kesimpulan kita di awal. Salah satu kemungkinannya, bila kita ingin mengetahui jalur mana yang dilewati foton, kita harus menaruh sebuah detektor di jalur A-B, yaitu detektor G, seperti pada diagram 2. Dengan begitu kita bisa tahu jalan yang dilalui setiap foton dan secara konsisten kita bisa memakai konsep bahwa “foton adalah partikel” untuk menjelaskan hasil percobaan pada diagram 2.
Sebaliknya, bila “kita tidak peduli lewat jalur mana foton yang kita tembakkan mencapai B-S D”, kita tidak bisa memakai konsep foton sebagai partikel. Dalam kasus ini, analogi dengan gelombang lebih bisa menggambarkan hasil eksperimen seperti yang ditunjukkan pada diagram 3b. Silakan baca lagi rubrik fisika edisi Desember 2011 dan Juni 2014 tentang situasi dilematis yang mirip di percobaan celah ganda.
Hal yang menarik adalah apapun perilaku foton ketika percobaan tidak memakai detektor G (diagram 3b), hasil keseluruhan percobaan menunjukkan bahwa foton berperilaku berbeda dengan dan tanpa detektor G, yang ditunjukkan masing-masing oleh diagram 2 dan 3b. Bila kita pasang detektor G, foton berperilaku seperti partikel (diagram 2), sedangkan bila detektor G kita ambil dan kita tidak peduli dengan jalur mana yang di ambil oleh foton, analogi foton seperti gelombang lebih bisa menggambarkan hasil percobaan (diagram 3b). Tentu saja ini hal yang misterius karena intuisi kita mengatakan bahwa pemasangan detektor G “seharusnya” tidak mempengaruhi perilaku dinamika “lokal” dari foton.
Dari ketiga kemungkinan yang kita diskusikan ini, satu fakta percobaan yang penting yang akan kita pakai untuk membuat tester bom kuantum adalah “foton hanya datang di detektor F bila ada detektor G di jalur A-B”, yaitu kemungkinan nomor tiga (diagram 2b). Dalam kasus ini, foton yang datang akan dipantulkan oleh B-S A, lewat jalur C-D dan dipantulkan oleh B-S D ke detektor F.
Jadi, bila detektor F berpendar, kita bisa berkesimpulan ada detektor G di jalur A-B. Lucunya, karena foton lewat jalur A-C-D dan detektor G ada di jalur A-B, kita bisa tahu keberadaan detektor G tanpa adanya interaksi antara foton dan detektor G. Ini merupakan contoh dari “interaction-free measurement”, pengukuran yang bebas dari interaksi.
Hal ini “sepertinya” bertentangan dengan intuisi kita di kehidupan sehari-hari yang mengajarkan bahwa untuk memastikan keberadaan sesuatu, kita harus berinteraksi dengannya, seperti dengan menembakkan cahaya dan mendeteksi akibatnya. Fakta inilah yang akan kita pakai untuk memastikan bahwa sebuah bom masih aktif tanpa perlu meledakkannya. Pembaca mungkin sudah mulai menebak bagaimana caranya.
Sekarang kita asumsikan kita punya banyak sekali bom. Setiap bom diasumsikan punya sensor (detektor) optik yang sangat sensitif sehingga ketika ada satu foton yang mengenai sensor tersebut bom akan meledak. Sebaliknya, pada bom yang rusak, sensor optiknya tidak aktif sehingga foton yang datang kepadanya akan diteruskan begitu saja tanpa perubahan.
Pertama, kita asumsikan kita mempunyai bom rusak dan kita taruh bom tersebut di jalur A-B seperti ditunjukkan pada diagram 4. Karena sensor dari bom rusak, setiap foton yang datang akan diteruskan. Dengan demikian, kita memiliki situasi yang mirip dengan diagram 2b. Artinya, semua foton yang kita tembakkan akan mendarat di detektor E sehingga detektor E berpendar dan detektor F gelap.
Apa yang terjadi kalau kita taruh bom yang masih aktif seperti pada diagram 5? Kali ini kita punya situasi yang mirip dengan percobaan pada diagram 2. Sensor optik bom aktif tersebut berperan sebagai detektor G yang mencatat apakah foton lewat jalur A-B atau A-C. Jika foton melewati jalur A-B, bom tersebut akan meledak. Sebaliknya, jika foton melewati jalur A-C, foton akan sampai di detektor E atau F dengan kemungkinan setengah-setengah.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, yang masing-masing ditunjukkan oleh diagram 4, 5a dan 5b, detektor F hanya berpendar bila ada bom aktif di jalur A-B. Artinya, bila detektor F menyala, kita tahu ada bom aktif di jalur A-B. Anehnya, karena foton lewat jalur A-C-D dan bom ada di jalur A-B, kesimpulan di atas kita ambil tanpa foton melewati jalur A-B tempat bom aktif itu berada. Jadi, kita tahu ada bom aktif di jalur A-B tanpa ada foton yang datang kepadanya (yang akan membuatnya meledak)! Inilah yang kita maksud dengan, “Kita bisa mengetahui bahwa bom masih aktif tanda meledakkannya.”
Karena sifat mendasar dari keteracakan perilaku foton saat berhadapan dengan beam splitter, untuk setiap bom yang aktif, kadang foton melewati jalur bawah (A-B) sehingga bom yang kita tes meledak dan kadang foton melewati jalur atas (A-C-D) sehingga bom tidak meledak. Kalau foton melewati jalur atas, salah satu dari detektor E atau F akan berpendar.
Jika detektor F berpendar, seperti telah dijelaskan, kita tahu bom yang kita taruh di jalur A-B masih aktif. Tetapi, jika detektor E yang berpendar, kita tidak tahu apakah bom yang kita taruh di jalur A-B masih aktif atau rusak. Ini karena, seperti dijelaskan pada diagram 4, detektor E juga akan berpendar ketika kita taruh bom rusak di jalur A-B. Jadi, hasil tes kita tidak selalu positif. Kadang bomnya meledak (diagram 5a), kadang kita tahu bomnya aktif tanpa meledakkannya, dan kadang kita tidak tahu apakah bomnya aktif atau rusak (bila detektor E berpendar).
Skema tester bom kuantum seperti ini pertama kali diusulkan oleh Elitzur dan Vaidman pada tahun 1993. Ini adalah salah satu contoh bahwa perilaku paling mendasar dari alam bisa diaplikasikan ke sesuatu yang sangat konkret. Melihat kesedarhanaannya, mungkin para pembaca bisa memikirkan aplikasi lain dari sifat alam di dunia mikro tersebut. Atau dari sisi sains fundamental, mungkin pembaca ada yang melihat kejanggalan dari paradoks di atas. Sebagai informasi saja, fenomena yang telah dijelaskan ini dinobatkan oleh majalah NewScientist sebagai satu dari tujuh keajaiban dalam dunia kuantum (Seven Wonders of Quantum World).
Bahan bacaan:
- Agung Budiyono, “Which way experiment: jalan mana yang kau pilih?” Rubrik Fisika Majalah 1000guru Edisi Juni 2011, http://majalah1000guru.net/2011/06/jalan-mana-yang-kaupilih/
- Agung Budiyono, “Ilmu sihir kuantum”, Rubrik Fisika Majalah 1000guru Edisi Desember 2011, http://majalah1000guru.net/2011/12/sihir-kuantum/
- Zainul Abidin, “Eksperimen celah ganda dan pilihan yang tertunda”, Rubrik Fisika Majalah 1000guru Edisi Juni 2014, http://majalah1000guru.net/2014/06/eksperimen-celah-ganda/
- Wikipedia, Elitzur-Vaidman bomb tester, http://en.wikipedia.org/wiki/Elitzur-Vaidman_bomb_tester
- NewScientist, “Seven wonders of quantum world“, http://www.newscientist.com/special/seven-wonders-of-the-quantum-world
Penulis:
Agung Budiyono, peneliti independen dengan spesialisasi fondasi fisika kuantum dan mekanika statistik, saat ini bertempat tinggal di Juwana dan Sleman. Kontak: agungbymlati(at)gmail.com.