Belajar Berbisnis dari Perusahaan Jepang

Investasi asing yang diundang masuk ke Indonesia dengan berbagai kemudahan diharapkan dapat menjadi salah satu roda penggerak perekonomian nasional. Salah satu efek ekonomi yang bisa kita harapkan dari investasi asing adalah berkembangnya kegiatan usaha yang dikelola oleh pengusaha lokal yang menjadi pemasok (supplier) kebutuhan investor asing, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Kegiatan pemasokan ini tidak selalu harus melibatkan usaha-usaha bermodal besar karena cukup banyak kebutuhan industri yang bersifat penunjang yang bisa dipasok oleh usaha kecil.

Jepang adalah salah satu investor asing yang paling banyak menanam modal di Indonesia. Namun sayang, perusahaan Jepang terkenal sukar ditembus oleh mitra lokal. Pengusaha Jepang dikesankan lebih suka memilih sesama mereka sebagai mitra. Ini tidak hanya menyangkut hal-hal besar, tetapi juga termasuk yang kecil-kecil. Untuk sekedar memesan tiket pesawat, misalnya, tak jarang orang-orang Jepang hanya mau menggunakan agen perjalanan yang dikelola oleh orang Jepang juga.

Ed42-sosbud-1

Mengapa perusahaan Jepang demikian sulit untuk ditembus oleh mitra lokal? Masalah ini sedikit banyak terkait dengan karakter khas orang Jepang yang sulit percaya pada orang luar. Dalam budaya Jepang ada konsep uchi dan soto. Konsep ini mengandaikan eksistensi lingkaran kekerabatan. Orang-orang yang merupakan kerabat berada di dalam lingkaran (uchi), sedangkan yang selain itu berada di luar (soto). Dalam konteks orang Jepang yang berada di Indonesia untuk berbisnis, uchi adalah kalangan mereka sendiri, sedangkan orang-orang lokal dianggap soto. Bisa dimaklumi kalau mereka merasa lebih nyaman berinteraksi dengan sesama dalam bisnis.

Namun, sebenarnya dalam bisnis masalah kekerabatan bukan faktor utama. Secara universal faktor yang paling menentukan dalam bisnis adalah profit (keuntungan). Dalam konteks pemasokan kebutuhan perusahaan, faktor yang dipertimbangkan adalah harga (cost), kualitas (quality), dan layanan (delivery). Secara umum, memilih perusahaan Jepang sebagai mitra (pemasok) berakibat harga tinggi. Ini sudah disadari betul oleh semua pebisnis Jepang. Mereka memilih perusahaan Jepang sebagai pemasok karena pertimbangan dua faktor terakhir, kualitas dan layanan.

Dalam hal kualitas, industri Jepang, khususnya industri manufaktur memiliki karakter yang kuat serta unik. Mereka memiliki konsep monozukuri yang merupakan roh dalam pembuatan barang (produk). Salah satu pimpinan senior perusahaan Jepang pernah mengingatkan penulis tentang konsep ini dalam bahasa sederhana, “Kita membuat barang dengan hati.” Sederhananya, setiap barang dibuat dengan semangat untuk menghasilkan produk yang terbaik, langsung dari tangan si pembuat (shokunin).

Secara kasat mata, hasil yang dapat kita lihat dari konsep monozukuri ini adalah produk yang baik secara menyeluruh, termasuk pada detail-detailnya. Celakanya, ini seringkali kontras dengan konsep yang dianut produsen kita di Indonesia. Produsen kita sering terkesan hanya peduli pada bentuk luar suatu produk, sementara detail-detail yang termasuk fungsi fundamentalnya diabaikan. Inilah salah satu alasan utama mengapa orang Jepang lebih nyaman dengan produk dari sesama mereka karena mereka sudah saling paham dengan tuntutan kualitas.

Dalam hal layanan, tuntutan orang Jepang juga khas. Mereka betul-betul menerapkan prinsip bahwa pelanggan adalah raja. Kebutuhan pelanggan disampaikan dengan kualitas serta pada waktu yang dikehendaki pelanggan. Pada keadaan ketika hal itu tidak bisa dipenuhi, mereka memberi tahu ke pelanggan disertai permintaan maaf. Demikian pula ketika ada keluhan pelanggan, mereka senantiasa menjawabnya terlebih dahulu dengan permintaan maaf disertai upaya untuk mencari solusi.

Hal ini lagi-lagi berbeda dengan perilaku banyak pemasok lokal. Di banyak perusahaan lokal, seringkali kita temui pemasok yang tidak memberi kabar apa-apa meski jadwal pengiriman sudah lewat. Mereka baru memberi alasan ini dan itu setelah kita hubungi. Terlebih lagi, dalam menjawab keluhan, mereka bersikap defensif, mengelak dari tanggung jawab.

Hal di atas erat kaitannya dengan masalah kepercayaan (trust). Orang Jepang yang bisnisnya berbasis pada shinrai/shinyou (kepercayaan) akan sulit menjalin hubungan bisnis dengan orang yang tidak menganggap penting aspek itu. Untuk menjembatani hal itu, perusahaan non-Jepang tak jarang mempekerjakan orang Jepang untuk melayani pelanggan mereka dari perusahaan Jepang.

Meski terlihat sangat khas, tuntutan layanan prima dari pemasok yang telah diuraikan di atas sebenarnya adalah hal yang bersifat universal dalam industri manufaktur modern. Kualitas dan pelayanan yang prima merupakan salah satu prinsip dasar manajemen yang diterapkan dalam ISO 9001. Penerapan prinsip-prinsip itu membuat perusahaan-perusahaan Jepang mampu menjadi pemimpin dalam industri manufaktur dunia.

Jadi, menyesuaikan diri dengan sistem standar yang telah ada itu tidak hanya membuat kita menjadi andal dalam memasok kebutuhan perusahaan Jepang saja, tetapi otomatis membuat kita siap untuk melayani pelanggan manapun. Bahkan, seperti telah dikemukakan bahwa perusahaan lokal memiliki keunggulan dari sisi harga. Dibutuhkan perbaikan dari sisi manajemen saja.

Pembenahan manajemen mutlak perlu dilakukan agar kita bisa memperoleh manfaat lebih dari masuknya investasi asing. Kita tentu berharap dunia industri kita tidak sekedar bermakna sebagai tempat perakitan dengan tenaga kerja murah sebagai daya tarik bagi perusahaan-perusahaan asing.

Penulis:
Hasanudin Abdurakhman, alumnus Tohoku University, General Manager di PT. Toray Industries Indonesia.

Kontak: kang_hasan(at)yahoo(dot)com.

Back To Top