Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami

Mitigasi bencana gempa yang dilakukan oleh pemerintah ialah memberi peringatan dini saat terjadi gempa bumi. Sedangkan untuk mendeteksi kemungkinan adanya bahaya tsunami, telah dipasang beberapa alat peringatan tsunami di beberapa perairan Indonesia di antaranya di Samudra Hindia sepanjang pantai barat Sumatera, Selat Sunda, Utara dan Pulau Komodo. Saat ini telah terpasang lebih dari 90 alat pendeteksi tsunami yang dipasang di perairan Indonesia.

Alat pendeteksi tsunami yang dipasang di perairan Indonesia (Sumber: www.beritajakarta.com)
Alat pendeteksi tsunami yang dipasang di perairan Indonesia (Sumber: www.beritajakarta.com)

Jepang telah membangun dinding penahan tsunami setinggi 4,5 – 10 meter pada daerah pantai yang padat penduduk. Ketika gempa tahun 1993 menimpa Hokkaido tahun 2011 lalu di area Tohoku, tinggi gelombang tsunami mencapai 30 m. Dinding penahan terlampaui namun dapat mengurangi kecepatan tsunami. Korban jiwa memang tidak terhindarkan. Dinding semacam ini dapat digunakan di Aceh atau daerah lainnya (Pangandaran) yang rawan Tsunami, namun efektivitas dinding penahan tersebut perlu dilakukan penelitian. Pembuatan model dengan alat sentrifugal dan uji laboratorium dapat mensimulasikan tinggi gelombang yang dikehendaki.

Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka mengurangi bencana yang lebih besar di kemudian hari. Oleh karena itu, seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau bagian/elemen dari ancaman.

Tsunami Early Warning System (TEWS) adalah upaya untuk mitigasi bencana tsunami. Hal sederhana yang dapat dilakukan untuk memberi peringatan dini bagi penduduk yang berada di sekitar kota/pantai yang memiliki potensi tsunami adalah memberi peringatan melalui sirene atau televisi/radio lokal yang dapat dengan segera mensosialisasikan akan terjadinya Tsunami. Menurut pengalaman di Aceh ada jeda waktu sekitar 30 menit sampai gelombang mencapai pantai. Saat ini di daerah yang rawan seperti Aceh dan Pangandaran sedang disiapkan perangkat alat pendeteksi dini untuk memperkirakan terjadinya gempa maupun tsunami.

 Sudah menjadi keharusan bagi Indonesia untuk memiliki suatu sistem peringatan dini tsunami TEWS yang terintegrasi, apalagi dengan pengalaman yang menimpa negeri semaju Jepang yang tetap kewalahan menghadapi tsunami. Sejauh ini, Indonesia telah menerima bantuan beberapa unit buoy dari Jerman, Norwegia, dan beberapa negara sahabat. Bahkan beberapa waktu lalu, Indonesia juga telah menerima satu unit buoy dari Amerika Serikat.

Buoy adalah sebuah alat pendeteksi tsunami (Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami/DART) yang terapung di permukaan laut dan merupakan bagian dari skema teknologi TEWS yang disandingkan dengan perangkat OBU (Ocean Bottom Unit) yang terpasang di dasar laut. OBU dipasang bersama seismometer untuk mendeteksi kekuatan gempa di dasar laut. Ketika terjadi getaran gempa, OBU akan mengirimkan informasi kekuatan gempa ke buoy yang dilengkapi dengan penerima GPS (Global Positioning System) untuk memberikan data posisi derajat lintang dan derajat bujur unit yang terapung. Kemudian, buoy langsung memberikan informasi lewat satelit pemancar untuk diteruskan ke master station yang ada di daratan. Jika kekuatan gempa mengindikasikan akan ada tsunami, pihak terkait yang berada di master station segera memberikan informasi ke beberapa institusi untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat berupa alarm maupun penyiaran darurat radio dan televisi.

Skema kerja TEWS (Sumber: www.majalaheindonesia.com)
Skema kerja TEWS (Sumber: www.majalaheindonesia.com)

Selain itu prinsip TEWS harus pula memperhatikan hal-hal berikut ini.

  1. Dibangun dengan konstruksi tahan getaran/gempa khususnya di daerah rawan gempa.
    Konstruksi bangunan tahan gempa biasanya di desain agar memberikan rasa aman bagi penghuninya terhadap bencana gempa. Dengan mengikuti konstruksi yang tahan gempa ini, dampak gempa dapat diminimalkan sehingga korban jiwa akibat runtuhnya bangunan juga akan lebih sedikit.
  2. Penguatan bangunan dengan mengikuti standar kualitas terbaik. 
    Setiap bangunan tentunya harus memiliki standar kualitas bangunan yang baik. Dengan mengikuti standar yang ada, bangunan akan kokoh dan dapat bertahan terhadap goncangan atau getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi. Bangunan yang mengikuti standar ialah bangunan yang dibuat dengan perencanaan yang matang agar aman dan nyaman untuk ditempati.
  3. Pembangunan fasilitas umum dengan standar kualitas yang tinggi.
    Kegiatan pembangunan fasilitas umum seperti sekolah, pasar, rumah sakit, dan yang lainnya juga harus memiliki standar kualitas yang tinggi. Rumah sakit terutama sebagai fasilitas umum yang sifatnya penting dalam kondisi darurat saat bencana harus memiliki bangunan yang kuat.
  4. Pengaturan daerah pemukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian di daerah rawan gempa bumi.
  5. Zonasi daerah rawan gempa bumi dan pengaturan penggunaan lahan.
    Kegiatan zonasi dapat dilakukan dengan bantuan ilmu terapan seperti Sistem Informasi Geografi (SIG) yang mampu memberikan gambaran dari kondisi/fenomena yang terjadi di permukaan bumi. Indonesia sudah sarat pengalaman gempa. Oleh karena itu, selain mempelajari proses terjadinya gempa bumi, kita masih harus mau belajar dari pengalaman masa lalu agar mampu meminimalkan dampak gempa bumi. Untuk jangka panjang, pemerintah bersama-sama peneliti ilmu geofisika perlu membuat peta zonasi gempa bumi tektonik. Peta semacam ini secara global sudah ada, namun perlu dikembangkan peta yang lebih rinci, misalnya peta zonasi gempa untuk setiap provinsi atau bahkan setingkat kabupaten, disertai dengan peraturan bangunan tahan gempa. Di samping itu, perlu diupayakan untuk merapatkan jaringan seismograf (alat pendeteksi dan pencatat gempa bumi) di seluruh wilayah Indonesia, sehingga peta bencana dapat dibuat per kecamatan atau bahkan per desa.Untuk jangka pendek, perlu dilakukan riset yang lebih rinci di setiap segmen patahan (sesar) aktif seperti Sesar Opak (Bantul), Sesar Menoreh (Kulon Progo), serta sesar-sesar mikro aktif lainnya, yang sering memicu terjadinya gempa bumi tektonik. Perlu juga disarankan kepada penduduk untuk tidak bermukim di wilayah yang diperkirakan rawan gempa bumi. Selain itu, studi deformasi kerak bumi dilakukan dengan jalan pemantauan dan monitoring gempa bumi mikro, pergerakan kerak bumi, memetakan sesar-sesar aktif, dan mempelajari karakteristik seismologi suatu daerah. Memang benar terjadinya gempa bumi tidak dapat kita cegah, tetapi para pakar dapat memprediksi dan melakukan langkah antisipasi.
  6. Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya gempa bumi dan cara – cara penyelamatan diri jika terjadi gempa bumi.
    Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen terhadap mitigasi bencana. Pendidikan dan penyuluhan ini penting bagi masyarakat di daerah rawan gempa dan sekaligus rawan tsunami.

Bahan bacaan:

  • Tommy Ilyas. 2006. Mitigasi Gempa dan Tsunami di Daerah perkotaan.  Makalah Seminar Bidang Kerekayasaan, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi.

Penulis:
Rudiono, staf pengajar di STKIP PGRI Pontianak, menempuh pascasarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kontak: onorudyasv(at)yahoo(dot)co(dot)id.

Back To Top