Cinta dalam Sekotak Bento

Bentō (dibaca bentou/bentoo) adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang (弁当). Dalam bahasa Indonesia, bentō dapat dipahami sebagai makanan bekal ataupun nasi bungkus. Bentō di Jepang menjadi pilihan makanan yang populer, praktis, dan murah sehingga banyak dijual di berbagai tempat. Mulai dari toko-toko di sekitar stasiun kereta, convenience store, supermarket, hingga ada pula toko yang khusus menjual bentō.

Bentō yang paling istimewa tentunya adalah bentō rumahan, baik itu dibuat sendiri atau disiapkan keluarga (biasanya istri untuk suami dan ibu untuk anaknya). Di Jepang, kendati beberapa sekolah menyediakan ransum untuk murid-muridnya, kebiasaan membawa bekal makanan sendiri sering kali berlanjut hingga dewasa. Cukup banyak pekerja kantoran yang masih memilih membawa bekal dari rumah ketimbang makan siang di kantin atau warung, entah karena pertimbangan ingin menghemat atau memang cinta masakan rumah.

Beragam contoh bentō.

 

Bentō sebagai seni

Sebenarnya tidak ada aturan khusus tentang tata cara membuat atau menghias bentō. Namun, seiring dengan semakin populernya bentō dan kecenderungan orang Jepang untuk menyajikan apapun seatraktif mungkin, termasuk makanan, bentō tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan primer (makan), tetapi juga melingkupi area lain seperti ajang untuk mengeskpresikan kreativitas para ibu. Biasanya bentō hias ditujukan untuk anak-anak sebagai penambah nafsu makan atau supaya si anak tidak malas makan jenis pangan tertentu seperti sayuran.

Kreativitas ini didukung pula oleh banyaknya majalah dan buku yang membantu untuk memberi inspirasi bagi para ibu bagaimana menyiapkan bentō yang cantik dalam waktu singkat serta murahnya harga perangkat menghias bentō di banyak toko dan supermarket. Biasanya, bentō anak-anak dihias sesuai dengan tokoh kartun animasi kegemaran sang anak atau dibentuk dan dihias mirip hewan-hewan dalam versi yang mungil dan cantik.

Bentō sebagai alat komunikasi

Kian hari, peran bentō pun sedikit bergeser. Kini bentō tidak hanya sebagai bekal makan siang ataupun sebagai media berkreasi bagi para ibu dalam menghias makanan, tetapi juga sebagai alat komunikasi ibu dengan anak, juga istri dengan suami.

Bento yang disusun seperti tokoh kartun Hello Kitty.

Di stasiun TV NHK Jepang, pernah ada acara variety show yang membahas tentang bentō bekal sekolah sebagai alat komunikasi ibu dan anak, bentō messeji (bentō message) namanya. Di acara tersebut diceritakan, seorang pelajar, sebut saja Erika, bercerita pengalamannya dengan bentō messeji ini. Suatu hari, menurut Erika, ibunya sedang bad-mood dan memarahi Erika karena suatu kesalahan kecil. Keesokan harinya, saat Erika membuka makan siangnya, ternyata ibunya menghias bentō Erika hari itu dengan tulisan “Gomen ne” (diterjemahkan “Maaf, ya!”) dari nori, semacam rumput olahan laut. Tentu saja Erika saat itu terharu dan setiba di rumah langsung memeluk ibunya dan mereka berbaikan kembali.

Cerita lain, dari Sou. Saat itu ia harus pindah sekolah mengikuti ayahnya yang pindah kerja. Seperti kebanyakan orang/anak kecil, hari pertama di tempat baru tentunya selalu menjadi momok. Siang itu, ketika Sou membuka bentōnya, ternyata di atas nasi putih tertulis kalimat, “Ganbatte ne, Sou!” (“Semangat ya, Sou!”) yang juga dibuat dari nori. Tentu saja ini membuat Sou terharu karena awalnya Sou berpikir orang tuanya tidak peduli dengan perasaan Sou yang campur aduk menjalani hari pertama di tempat baru.

Bento yang disusun seperti kucing.

Dari cerita tentang bentō ini, bagi orang yang mempunyai keahlian di bidang kuliner plus sedikit bakat seni atau jiwa romantis, tentunya menulis pesan dalam makanan bekal orang yang kita sayangi bisa menjadi metode komunikasi alternatif sebagai bagian dari ekspresi rasa sayang. Selamat mencoba!

Bahan bacaan:

Penulis:
Sri Ayu Anggraini, alumnus Kyushu University, Jepang.
Kontak: anggraini_ayu(at)yahoo(dot)co(dot)jp

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top