Pendapatan yang Tidak Setara: Dari Kasih Tak Sampai hingga Insentif Usaha

Pernahkan terpikir jika semua penduduk dunia berpendapatan setara, bagaimanakah jadinya hidup kita? Tanpa masalah?

Masalah akibat ketidaksetaraan pendapatan

Umumnya kita tahu ketidakmerataan pendapatan (income inequality) adalah masalah. Ketidakmerataan pendapatan menyebabkan perasaan miskin dalam perbandingan (relative poverty) yang dapat berujung pada kecemburuan sosial. Banyak orang mengukur dirinya dengan cara membandingkan diri dengan orang lain. Ketika kita merasa orang lain mempunyai barang lebih banyak atau lebih, seketika itu pula kita merasa miskin.

Banyak masalah sosial maupun personal terjadi karena perbedaan pendapatan. Cerita sinetron paling klise adalah cerita cinta tak kesampaian karena kedua pihak ada di “kelas” kekayaan yang terlalu jauh berbeda. Seperti dalam kisah cinta yang lebih klasik, Siti Nurbaya karya Marah Roesli, masalah bermula dari ketidaksetaraan antara Datuk Maringgih yang kaya (The Haves) dan keluarga Siti Nurbaya yang miskin (The Have-Nots). Kisah cinta dari Barat, seperti Anna Karenina dari Tolstoy atau Pride and Prejudice dari Jane Austen juga amat lekat dengan perbedaan kelas sosial yang tercipta akibat perbedaan pendapatan, walaupun keduanya memotret pertentangan kelas yang lain lagi, yakni The Haves vs The Have-Mores (yang kaya dan lebih kaya lagi).

Bahaya lain dari disparitas pendapatan yang besar adalah gejolak sosial (social unrest). Baru-baru ini di Inggris terjadi fenomena kerusuhan dan penjarahan, the London Riots, kurang lebih mirip dengan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Walaupun pemicu dan skala kedua kejadian tersebut berbeda, keduanya memiliki persamaan dalam hal penyebab, yakni kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan yang terlalu parah. Jadi ternyata bahaya ketidaksetaraan pendapatan masih dapat mengancam negara kaya.

Ketidaksetaraan pendapatan yang terlalu besar juga dapat menjadi ancaman ketika pengaruh orang kaya terhadap orang miskin relatif menjadi terlalu kuat. Uang memang bisa membeli banyak hal, termasuk pengaruh politik. Di Indonesia, walaupun kita kini telah memasuki era demokrasi, ternyata semua orang belum setara di mata hukum karena orang yang cukup kaya masih bisa membeli keputusan di pengadilan atau posisi di dunia politik. Ketidaksetaraan pendapatan yang terlalu besar dengan demikian dapat menjadi ancaman bagi demokrasi.

Masih banyak efek negatif lain dari ketidaksetaraan pendapatan, di antaranya adalah tumbuhnya insentif bagi yang merasa kurang mampu untuk memperkaya dirinya dengan cara tidak layak. Ketidaksetaraan pendapatan dengan demikian juga dapat memicu sekaligus menyuburkan praktik korupsi.

Rockefeller Center, New York. John D. Rockefeller adalah salah satu orang terkaya sepanjang catatan sejarah dunia.
Rockefeller Center, New York. John D. Rockefeller adalah salah satu orang terkaya sepanjang catatan sejarah dunia.
 
Rumah kardus di sekitar apartemen mewah, Jakarta.
Rumah kardus di sekitar apartemen mewah, Jakarta.

Ketidaksetaraan yang tidak selalu buruk

Meski demikian, sesungguhnya perbedaan pendapatan adalah lumrah, tidak mungkin hilang seluruhnya, dan bahkan perlu ada. Dari penelitian yang merunut jauh ke belakang sejarah dunia, ketidaksetaraan pendapatan selalu ada di berbagai peradaban dengan derajat dan persebaran yang berbeda-beda. Berdasarkan data yang ada, kondisi di masa kekaisaran Romawi bisa dikatakan lebih merata namun sekaligus lebih tidak merata daripada sekarang. Jika dirata-ratakan, angka ketidaksetaraan di masa lalu lebih rendah daripada sekarang. Saat itu banyak orang setara dalam kemiskinan sehingga angka ketidaksetaraan rendah. Namun di sisi lain ada sekelompok orang kaya, umumnya kelas bangsawan, yang kekayaan dan pendapatannya sangat jauh di atas yang lain. Dengan mengecualikan segelintir orang terkaya di dunia, jurang perbedaan antara kelompok kaya dan miskin di masa kini tidak selebar di masa lalu.

Apakah ketidaksetaraan pendapatan dapat hilang seluruhnya? Kini tidak banyak negara menerapkan paham sosialisme lagi. Namun pada suatu masa paham sosialisme pernah menawarkan janji sangat menarik tentang kesetaraan. Memang data membuktikan bahwa negara-negara sosialis relatif lebih setara daripada negara yang menganut paham pasar atau kapitalisme. Dalam sistem sosialis, umumnya seluruh kendali ekonomi dipegang oleh negara (partai komunis), tidak ada kepemilikan pribadi, dan semua orang menerima gaji dari pemerintah. Akan tetapi, tetap saja ada orang yang menerima lebih banyak daripada orang lain.

Perbedaan pendapatan paling besar dalam sistem komunis umumnya berasal dari posisi politik. Orang-orang yang memegang fungsi politik penting, direktur-direktur perusahaan negara, atau posisi lain yang dianggap penting menerima pendapatan jauh lebih banyak. Kemudian justru karena keputusan sangat terpusat pada individu-individu tersebut, besarnya gaji dapat ditetapkan tanpa kendali yang cukup dari pihak lain. Pada akhirnya terciptalah kelas pendapatan tinggi yang diistilah-haluskan sebagai “kelas baru”.

Selanjutnya, bagaimana bisa kita katakan ketidaksetaraan pendapatan itu bahkan perlu ada? Perbedaan pendapatan ternyata dapat berguna sebagai insentif orang untuk berusaha lebih keras. Sebagai contoh dalam masyarakat sosialis tadi, meratanya pendapatan membuat orang tidak terpacu untuk lebih produktif. Ya, buat apa bekerja lebih keras kalau yang akan kita dapatkan sama saja? Terbukti sepanjang sejarah sosialisme, tidak ada produk inovasi dari negara sosialis yang dapat mengungguli produk negara kapitalis. Mungkin saat itu hanya dalam bidang olahraga saja Uni Soviet benar-benar menjadi adidaya.

Produktivitas memang dapat dipacu dengan berbagai cara. Seperti istilah populer dalam manajemen, stick and carrot, iming-iming wortel atau ancaman pukulan tongkat, keduanya dapat digunakan untuk memacu orang bekerja. Jika kita bisa membuat hukum bahwa kegagalan adalah kriminalitas, setiap orang akan berusaha untuk tidak gagal sehingga produktivitas menjadi tinggi. Namun sekarang rasanya pukulan tongkat saja tidak bisa kita terima karena bisa dianggap tidak manusiawi.

Dengan demikian, hal baik dari ketidaksetaraan pendapatan adalah ia dapat memacu produktivitas. Sistem kapitalisme, terlepas dari keberpihakannya yang terlalu besar pada capital (modal uang) dibandingkan dengan sumber daya lain seperti tenaga kerja, memberi insentif kepada individu untuk bekerja lebih keras dan menumpuk kekayaan. Dari sisi orang yang lebih kaya, ketidaksetaraan ini memungkinkan mereka menyimpan kelebihan pendapatannya dan menginvestasikannya. Investasi yang dilakukan oleh pemegang uang berlebih inilah yang membuat roda ekonomi pasar berputar lebih cepat atau tumbuh. Jika tidak ada modal yang berasal dari uang yang tidak dihabiskan untuk konsumsi, kita tidak bisa membuka usaha baru.

Sekarang kita tahu bahwa ternyata ada ketidaksetaraan pendapatan yang baik maupun buruk. Ketidaksetaraan yang berasal dari perbedaan kerasnya usaha, bakat, keterampilan, dan ketidaksetaraan yang magnitudonya tidak terlalu besar ternyata kita perlukan. Sebaliknya, ketidaksetaraan pendapatan yang berasal dari distribusi kekayaan yang tidak adil, akibat posisi politis yang timpang dan tidak terkendali, serta ketidaksetaraan yang terlalu besar magnitudonya akan menimbulkan gejolak sosial dan menciptakan berbagai penyakit seperti korupsi maupun autokrasi (kekuasaan berlebihan).

Kesimpulannya, kita perlu mengelola ketidaksetaraan pendapatan. Seperti pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan yang adil seharusnya menjadi target setiap pemerintah. Jika prinsip demokrasi dalam artian menganggap semua orang setara di mata hukum dapat ditegakkan sepenuhnya, kesempatan berusaha akan terbuka untuk setiap orang, termasuk orang miskin. Selain itu, untuk menyamakan garis start yang jauh terpisah akibat dari distribusi kekayaan tidak merata, pemerintah perlu lebih memberdayakan orang miskin dengan menyediakan barang, jasa, dan fasilitas publik yang mencukupi serta berkualitas. Sekolah dan rumah sakit yang murah atau gratis, serta akses terhadap modal yang mudah dan murah akan memungkinkan orang miskin berkompetisi lebih baik.

Bahan bacaan:

  • B. Milanovic, The Haves and the Have-Nots: A Brief and Idiosyncratic History of Global Inequality, New York: Basic Books (2011).

Penulis:
Yogi Rahmayanti, doktor ekonomi dari Universitas Osaka, Jepang, serta pegawai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Jakarta. Kontak: rahmayantiyogi(at)yahoo(dot)com.

 

Back To Top