Setiap siswa baru yang beruntung mencicipi masuk sekolah baru di saat pertengahan tahun di Indonesia akan menjadikan waktu tersebut sebagai momen penting dalam dirinya. Dengan suka cita, peserta didik ini akan senantiasa mempersiapkan diri untuk memasuki kelas barunya. Alat-alat sekolah seperti baju seragam, tas, alat tulis, dan sepatu merupakan modal awal yang dipersiapkan sejak dini.
Dengan didampingi keluarga atau bahkan sendirian, peserta didik ini biasanya menyerbu tempat-tempat penjualan alat-alat sekolah. Wajar pada masa tersebut toko yang menjual alat-alat sekolah menjadi padat dan dipenuhi pengunjung. Fenomena semacam ini menggambarkan betapa tingginya animo dan keseriusan peserta didik dalam memasuki tahun ajaran baru.
Hari-hari pertama masuk sekolah biasanya para siswa baru dihadapkan dengan program Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah. Program ini biasanya ditujukan untuk mempersiapkan peserta didik dalam memasuki pendidikan. Materi umum yang disampaikan dalam MOS adalah pengenalan warga sekolah beserta visi dan misi lembaga, pengenalan lingkungan dan budaya sekolah, pembinaan tata krama (akhlak mulia), dan penyampaian wawasan kebangsaan atau civic education.
Tujuan dan materi-materi yang disampaikan dalam MOS menunjukkan bahwa program ini tetap dipandang penting. Selain berfungsi sebagai tahap awal interaksi dan perkenalan antarsiswa baru, program ini bermanfaat untuk mengondisikan mereka sejak awal. Artinya, melalui program MOS siswa baru akan mengalami transfer pengetahuan dan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah. Oleh sebab itu, penyelenggaraannya harus dilakukan sebaik mungkin dengan menjauhkan sifat-sifat antikekerasan, antidemokrasi, perploncoan, dan tindakan lainnya yang tidak mendidik.
Tindak kekerasan di sekolah
Sayangnya, masa orientasi yang semestinya menjadi tonggak bagi keberlangsungan iklim belajar bagi siswa baru tersebut sering tercederai dengan berbagai bentuk tindak kekerasan. Kementerian Pendidikan Nasional telah dengan tegas melarang segala bentuk kekerasan pada MOS. Namun, kekerasan tersebut tetap saja terjadi. Hampir setiap tahun dapat dipastikan sejumlah media, baik cetak maupun elektronik, menyajikan liputan berbagai bentuk kekerasan di sekolah.
Tragisnya, ragam dan bentuk kekerasan tersebut dilakukan oleh peserta didik senior kepada juniornya. Banyak orang yang masih menganggap bahwa kekerasan ini dilakukan dalam bentuk perilaku, seperti pemukulan atau hukuman fisik. Padahal, kekerasan yang umum terjadi tidak hanya dalam bentuk perilaku, tetapi juga dalam konteks atau struktur. Kekerasan sebagai konteks atau struktur adalah suatu tindak kekerasan yang terjadi berdasarkan sistem. Dalam banyak kasus, kekerasan berbasis sistem ini mengakibatkan penderitaan terhadap orang lain, khususnya peserta didik baru.
Sekalipun bentuknya kurang nyata, kekerasan konteks dan struktur semacam ini dapat mengganggu dan merusak orientasi siswa baru. Mereka yang sedari awal telah mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan, disebabkan bentuk kekerasan yang tersistem ini kemudian mengubah mereka menjadi brutal. Kebrutalan peserta didik baru ini dapat lahir karena intimidasi yang dilakukan para seniornya pada saat MOS. Akibatnya, di dalam diri peserta didik baru akan muncul perasaan galau, kebencian, ketakutan, dan ketidakpercayaan terhadap para seniornya.
Secara sistemik, perasaan-perasaan yang demikian itu akan melahirkan “kelas-kelas sosial” dalam MOS. Peserta didik yang tergabung dalam kelompok senior akan menjadikan dirinya sebagai pihak yang selalu superior dan mendominasi (hegemoni) juniornya. Sementara itu, mereka yang tergabung dalam kelompok junior akan dianggap oleh para seniornya sebagai komunitas yang inferior. Kelompok junior ini acap kali dipandang “rendah” oleh para seniornya sehingga secara langsung atau tidak, pihak yang mendominasi cenderung bertindak kurang manusiawi terhadapnya. Pada titik inilah, kebebasan peserta didik baru menjadi terpasung akibat sistem yang diciptakan kurang berpihak terhadapnya.
Umumnya, “kelas-kelas sosial” tersebut tidak hanya berhenti tatkala MOS usai. Hal tersebut dapat berlanjut pada jam pelajaran efektif. Dalam pengertian lain, peserta didik baik senior maupun junior akan membuat struktur sosial sendiri-sendiri berdasarkan kelompok masing‐ masing. Basis fundamental dari fragmentasi sosial ini adalah eksistensi. Sebagaimana diketahui, secara psikologis para peserta didik tersebut sedang masuk dalam tahap pencarian “pengakuan” (eksistensi). Mereka akan melakukan hal-hal yang baik agar “dirinya bisa diakui”, dan begitu pula sebaliknya.
Spiral kekerasan
Kekurangmampuan sekolah dalam melahirkan sistem yang mampu menjembatani kebutuhan peserta didiknya dalam mencari pengakuan ini akan melahirkan petaka tersendiri. Terlebih bagi peserta didik baru yang sejak dalam MOS sudah dihadapkan dengan macam-macam kekerasan struktural. Kebencian dan ketidakpercayaan terhadap seniornya akan memuncak dan melahirkan kekerasan‐kekerasan baru. Kekerasan ini bisa jadi terlahir hanya karena kesalahpahaman yang tidak berarti.
Di samping itu, kekerasan tersebut juga bisa lahir karena telah tertutupnya pintu toleransi dan sikap hormat junior terhadap seniornya. Dalam pandangan peserta didik junior, perbedaan bukanlah kekayaan yang dapat dimaknai sebagai potensi untuk saling melengkapi. Tetapi, lebih dari itu, perbedaan akan selalu mereka pandang sebagai sumber dari ancaman terhadap eksistensinya di sekolah. Oleh karenanya, mereka akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga eksistensinya agar tidak dicampakkan begitu saja oleh orang‐orang di sekelilingnya.
Bukan tidak mungkin, sikap untuk menjaga eksistensinya ini akan mereka terapkan bagi adik-adik kelas berikutnya. Inilah yang biasa disebut sebagai spiral kekerasan. Ragam dan bentuk kekerasan yang pernah dilakukan peserta didik senior kepada juniornya akan melahirkan kekerasan dalam langgam yang baru. Sesuai dengan konteks dan iklim yang berkembang selanjutnya, tindak kekerasan yang akan dilakukan selanjutnya pun bisa jadi lebih keras dari apa yang telah mereka alami sebelumnya.
Di tengah situasi yang pelik itu, pihak sekolah semestinya dapat dengan cerdas menangkap akar kekerasan yang dilakukan antarpeserta didik (senior dan junior). Jika ditemukan bahwa akar kekerasan tersebut lahir dari kekhilafan sekolah dalam mengontrol program MOS, perlu diambil tindakan tegas terhadap setiap pelakunya. Di samping itu, ketika MOS, peserta didik juga perlu diberikan pendidikan perdamaian dan antikekerasan.
Pendidikan perdamaian dan antikekerasan bermanfaat untuk menumbuhkan sikap toleransi, saling menghargai, empati, dan memahami perbedaan‐perbedaan yang dimiliki masing-masing peserta didik. Bagaimanapun, program MOS perlu didudukkan pada proporsi dan hakikat yang sesungguhnya. Jangan sampai, program tersebut justru malah menjadi ajang untuk lahirnya para “generasi preman berseragam” di sekolah.
Penulis:
Desti Liana Kurniati, guru bahasa Inggris di SD Muhammadiyah Sapen, Yogyakarta, juga pernah menjadi dosen bahasa Inggris di Politeknik Muhammadiyah Yogyakarta. Kontak: faik_jpr(at)yahoo(dot)com.