Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai bencana alam yang datang silih berganti tiada henti. Beberapa peneliti pun bahkan telah memprediksi, jika tidak ada upaya substansial yang dilakukan secara radikal, tidak lama lagi sebagian besar wilayah Jakarta yang juga merupakan simbol dari negara ini akan segera tenggelam. Melihat fenomena tersebut, sudah saatnya kita tidak mencari kambing hitam ketika bencana alam, atau lebih tepatnya bencana ekologis, terjadi. Kita perlu menyadari bencana-bencana tersebut terjadi bukan saja karena fenomena alam, melainkan juga karena kontribusi manusia mempercepat terjadinya bencana tersebut.
SDA dan pembangunan ekonomi
Sebagai negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, Indonesia memang membutuhkan hasil pengolahan sumber daya alam (SDA) dalam membangun ekonominya. Secara teoretis, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan telah lama menjadi perdebatan yang cukup krusial. Teori ekonomi tradisional menyebutkan adanya tarik-ulur (trade-off) antara pembangunan ekonomi dan kesinambungan SDA serta lingkungan hidup. Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengenai tarik-ulur antara pembangunan ekonomi dan konservasi SDA juga semakin mengemuka, terutama di negara-negara berkembang di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika yang umumnya masih mengandalkan potensi SDA seperti hutan dan pertambangan bahan-bahan mineral sebagai sumber pendapatan ekonomi.
Upaya menyeimbangkan kepentingan untuk pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan merupakan hal yang tak mudah dalam praktiknya. Banyak pemimpin di dunia dihadapkan pada pilihan yang rumit antara menjaga kelestarian lingkungan dan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dampak kebijakan lingkungan terhadap investasi swasta di 50 negara bagian di AS dalam kurun 1983-1994 menyebutkan bahwa tingkat investasi swasta dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan dengan regulasi lingkungan yang dapat mengurangi ketidakpastian.
Konflik kepentingan antara bisnis dan kepentingan lingkungan memang tak bisa dihindari. Beberapa unsur tertentu dari regulasi lingkungan mungkin akan menciptakan disentif bagi kegiatan ekonomi. Namun, secara umum kebijakan lingkungan yang dibarengi dengan reformasi kelembagaan pada institusi yang berwenang dalam mengawasi kelestarian lingkungan hidup justru akan mendorong investasi dan mempercepat pembangunan ekonomi. Tentunya investasi yang dimaksud tidak hanya bersifat mengeruk SDA tanpa kendali, tetapi harus memberikan manfaat bagi pengembangan modal fisik dan insani sekaligus tetap memperhatikan kaidah kesinambungan SDA dalam jangka panjang.
Eksploitasi yang berlebihan terhadap SDA juga akan menimbulkan biaya yang jauh lebih besar ketimbang dari manfaat ekonomi yang bisa kita ambil ketika bencana alam muncul. Apalagi saat ini kita telah mulai merasakan dampak perubahan iklim yang semakin nyata dengan semakin tidak jelasnya batasan antara musim penghujan dan musim kemarau. Kita bisa melihat akibat iklim yang tak menentu dari semakin seringnya terdengar berita gagal panen petani atau rusaknya tanaman. Dampak dari perubahan iklim akibat kurang bijaksananya kita dalam mengeksploitasi SDA (misalnya pembabatan hutan yang tak terkendali) dan manajemen pengelolaan lingkungan hidup yang tidak memperhatikan kaidah kesinambungan tentunya akan mempercepat kehancuran alam tempat kita berpijak.
Jika alam sudah tak bersahabat dan bencana semakin sering tejadi, hal ini pun akan berdampak terhadap kita, terutama masyarakat yang masih hidup di bawah ambang batas kemiskinan di pedesaan dan kawasan terpencil yang masih menggantungkan hidupnya kepada pertanian. Selain itu, eksploitasi SDA yang kurang bijaksana akan menyebabkan hilangnya layanan ekosistem seperti udara segar, air bersih, serta keseimbangan alam yang menopang keberlanjutan kehidupan manusia.
Konservasi sebagai investasi
Upaya konservasi SDA selama ini tenggelam di tengah gemuruh upaya eksploitasi besar-besaran yang tidak terkendali demi kepentingan sesaat. Kita bisa melihat bahwa penggunaan SDA yang kita miliki tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh rakyat dalam bentuk kemakmuran sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi kita. SDA kita banyak dieksploitasi untuk diekspor ke negara lain dengan harga yang sangat murah. Setelah negara lain mengolah SDA mentah tersebut, mereka lantas menjualnya kembali kepada kita dengan harga yang mahal. Jelas kita jadi sangat merugi.
Hasil dari pendapatan penjualan kekayaan alam pun tidak otomatis diinvestasikan untuk memperkuat akumulasi modal fisik dan modal manusia Indonesia. Kualitas indeks pembangunan manusia (human development index) kita masih rendah dibandingkan negara lain yang tidak memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Hampir sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan kekayaan kita tidak sepenuhnya berhasil ditransformasikan ke dalam bentuk penguatan akumulasi modal baik yang bersifat fisik maupun insani. Untuk itu, sepantasnya kita harus berpikir bagaimana memanfaatkan SDA yang kita miliki dengan bijaksana dan berkesinambungan, serta melakukan upaya konservasi yang sungguh-sungguh sebagai bentuk investasi jangka panjang.
Terkait dengan harmonisasi antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan, ada baiknya kita mencermati pesan dari Profesor Herman Daly, seorang guru besar dalam bidang ecological economics di University of Maryland, yang patut kita laksanakan terkait pengelolaan SDA. Pertama, batasi pengunaan SDA yang menghasilkan limbah untuk tidak melewati ambang batas kemampuan biologis ekosistem dalam menyerapnya. Kedua, dalam mengeksploitasi SDA, tidak boleh melampaui batas kemampuan ekosistem dalam meregenerasi SDA tersebut. Ketiga, dalam mengonsumsi SDA yang tak terbarukan, hendaknya jangan melampaui kecepatan dari pengembangan subsitusi sumber daya yang terbarukan.
Jangan sampai terjadi ketika semua potensi SDA kita habis terkuras dan pada saat yang sama hasil pengelolaan SDA tersebut tidak digunakan untuk penguatan sumber daya manusia (SDM). Jika pengembangan SDM pun tidak optimal, kita akan mengalami keadaan sebagaimana pameo “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Jika kita mampu mengelola potensi SDA kita dengan bijaksana dan berkelanjutan sekaligus manfaat adanya SDA tersebut dapat dirasakan secara optimal bagi kesejahteraan segenap rakyat, tentunya kekayaan SDA yang kita miliki tersebut akan menjadi berkah dan bukan menjadi kutukan (resource curse).
Penulis:
Teddy Lesmana, bekerja di LIPI Jakarta. Kontak: lesmana.teddy(at)gmail(dot)com.