Di Shibuya, kereta datang dan pergi seperti bau karat
Pagi yang selalu dicuri kereta pertama
seperti tak pernah sampai di kota ini
Shibuya adalah sketsa yang tak pernah utuh
Ingatan yang sebentar lalu runtuh
Siang datang dari segala penjuru
dari lubang-lubang “chikatetsu”*
Gedung-gedung mati, langkah-langkah asing pada arah
dan papasan-pasasan mata kita, seperti isyarat yang percuma
Di sepanjang jalan, lift-lift naik membawa mimpi-mimpi
lalu turun kembali bersama sisa-sisa dusta
Dan Januari, kawan, tanpa pernah bisa kita mengerti
seperti menemukan kembali awalnya
Memang ada sisa-sisa musim gugur
yang diabadikan ranting-ranting sakura
di sepanjang trotoar dalam pose-pose meminta
sebuah prolog untuk salju yang pertama
Shibuya adalah sebuah babak tentang lupa,
tak ada kalimat yang tuntas
r-e-t-a-s
Siang adalah kesalahan-kesalahan, dan malam,
akan mencatatnya kembali dalam keceriaan lampu-lampu iklan
Sementara di antara gemuruh suara kereta-kereta yang singgah
episode-episode akan dibacakan lewat “acapella-acapella” jalanan
Suara-suara tinggal gema
Namamu dan namaku akan luput
dari teriakan-teriakan para lelaki yang berebut
Malam seperti tak pernah bisa bercerita sendiri
Di Shibuya, engkau akan terus bertanya
Seperti seorang tunawisma yang tak ingat ke mana arah kereta selanjutnya
Akankah kutaklukkan dingin kota malam ini?
Jangan kaucari jawab atau mungkin namamu
di antara iklan-iklan itu, kawan
Sebab takkan kautemukan kata:
Selamat jalan
*Keterangan: “chikatetsu” adalah bahasa Jepang dari kereta bawah tanah.
Penulis:
Agung Budiyono, peneliti fondasi fisika kuantum dan mekanika statistik, lahir di Juwana, pernah bekerja di Jepang.
Kontak: agungbymlati(at)gmail.com.