Pernahkah kamu mendengar/mengucapkan:
“Ah, kamu memang sudah dasarnya tidak mengerti, ya, mau belajar sehari sepuluh kalipun, tidak mungkin jadi mengerti!”
“Aku lempar ya pakai sepatu kalau kamu tidak mengembalikannya sekarang.”
Itu bullying namanya…
Kita acapkali (atau bahkan sering?) mengucapkan kata-kata seperti contoh di atas. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut kita bahkan kadang disertai gerakan fisik tertentu yang menunjukan “ancaman” serta menakuti-nakuti, bahkan dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikologis pada pihak lain. Ekspresi itu muncul ketika menghadapi suatu situasi yang menekan sehingga kita menjadi tidak nyaman secara fisik, pikiran, maupun perasaan. Ekspresi tersebut bukan hanya disebut sebagai umpatan, tetapi sudah dikategorikan sebagai bullying (arti harfiahnya: penindasan). Bullying merupakan suatu bentuk ekpresi, aksi bahkan perilaku kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi pengertian bullying sebagai
“kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.”
Bullying biasanya dilakukan berulang sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Bila dilakukan terus menerus akan menimbulkan trauma, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Kejadian tersebut sangat mungkin berlangsung pada pihak yang setara. Meski demikian, bullying lebih sering terjadi pada pihak yang tidak berimbang secara kekuatan maupun kekuasaan. Salah satu pihak dalam situasi tidak mampu mempertahankan diri atau tidak berdaya. Korban bullying biasanya telah diposisikan sebagai target.
Bullying sering kita temui pada hubungan sosial yang bersifat subordinat antara senior dan junior. Kita bisa menemui bullying misalnya pada “perploncoan” di suatu insitusi pendidikan, bahkan guru tanpa disadari bisa melakukan bullying terhadap muridnya untuk tujuan tertentu, karena bisa saja bullying menjadi tipis batasnya ketika seorang pendidik atau guru ingin menerapkan kedisiplinan. Bullying yang terjadi di dunia kerja atau di suatu lembaga kerja dan bahkan di organisasi masyarakat biasanya disebabkan ada atasan dan bawahan, atau karena sistem senioritas yang diterapkan. Bullying bahkan bisa kita temui di lingkungan keluarga kita sendiri, sehingga berpotensi menjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Bila melihat contoh-contoh tersebut, ada tiga hal yang menjadi dasar sehingga suatu perilaku dianggap bullying. Pertama bila diungkapkan secara lisan atau verbal seperti memaki, mengejek, menggosipkan, bahkan mengumpat dengan kata-kata kasar, atau menganggap lawan bodoh atau kerdil. Kedua adalah secara fisik, contohnya mengancam, memukul, menampar, atau memaksa untuk melakukan sesuatu atau meminta sesuatu, disertai tekanan emosi dan tindakan fisik. Bentuk ketiga adalah bullying yang bersifat psikologis misalnya intimidasi, mengabaikan, mengacuhkan (bahasa gaul: nyuekin), rasis, diskriminatif, dan semacamnya.
Bagaimana potensi kekerasan serta bahaya bullying?
Banyak fakta menunjukan bahwa bullying dapat berdampak serius bahkan fatal pada perilaku perorangan maupun kelompok. Mengapa? Ini disebabkan karena bullying merupakan bentuk perilaku kekerasan. Perilaku tersebut dipicu oleh energi negatif yang berwujud emosi (seperti kesal dan marah), yang dapat mendorong seseorang ataupun kelompok untuk bertindak anarkis, bahkan secara ekstrem bisa menjadi pemicu tindakan kriminal, misalnya penganiayaan hingga pembunuhan. Potensi melakukan kekerasan lebih lanjut bahkan tidak hanya untuk pihak yang melakukan bullying, tetapi juga dapat dapat dialami oleh objek bullying, misalnya bawahan yang tertekan, korban sistem senioritas di sekolah, serta objek tindakan bullying oleh guru.
Salah satu contoh kasus kriminal yang terkait dengan “mantan” objek bullying di sekolah terjadi di Amerika Serikat. Pernah diberitakan dua orang siswa di salah satu SMA di Colorado, USA, menembakkan senapan hingga menewaskan 13 siswa dan melukai sekitar 24 siswa yang lain, dan kemudian mereka bunuh diri. Pada waktu itu peristiwa tersebut disiarkan juga oleh stasiun televisi di Indonesia serta ramai dibahas di media massa. Fakta berdasarkan tinjauan psikologi menunjukan bahwa kedua siswa tersebut mempunyai catatan sebagai pribadi yang pernah mengalami intimidasi dalam waktu yang lama. Suatu temuan yang dirilis setelah peristiwa itu menunjukkan bahwa ternyata 60-80% siswa pernah mengalami bullying di sekolah. Fenomena terkini di tanah air, tawuran antarpelajar pun dapat mengakibatkan hilangnya nyawa anak bangsa. Ini pun salah satu akarnya berawal dari bullying, ketidakharmonisan dalam keluarga, serta kurangnya perhatian serius dari pihak sekolah.
Mencegah bullying? Harus!
Setiap agama atau norma sosial telah secara rinci menjelaskan bagaimana umat manusia harus berkelakuan baik, tidak boleh melakukan kekerasan dan penuh kasih sayang terhadap sesamanya. Berikut ini beberapa masukan yang bersifat umum tanpa menyentuh ranah agama, untuk mencegah tindakan dan perilaku bullying pada diri kita sendiri serta mencegah kita melakukan bullying.
1. Mengelola energi positif
Energi meliputi segala bentuk pikiran, langkah, perbuatan, ucapan, ayunan langkah, senyum yang kita bagi, bahkan niat baik yang sekadar terlintas dalam pikiran kita. Energi positif adalah segala hal yang kita miliki yang akan membuat orang lain bersemangat, senang, tidak sakit hati, dan selalu ingin bertemu serta berkawan dengan kita.
2. Mengembangkan diri
Setiap makhluk hidup ditakdirkan mempunyai kelemahan, kelebihan serta potensi untuk kelangsungan hidup, cita-cita, dan mewujudkan mimpi. Maka mulailah untuk bertanya siapa diri kita, apa tujuan kita, dan apa yang kita miliki untuk mencapai tujuan itu. Tiga hal ini menjadi dasar untuk pengembangan diri kita. Pengembangan diri merupakan proses yang terjadi di dalam diri sendiri, bukan orang lain. Setiap detik dari hidup kita harus diyakini untuk kemajuan dan perbaikan diri, sehingga tidak ada waktu untuk kesal, murung, rendah diri, dan sebagainya.
3. Mengelola fungsi otak kanan dan otak kiri
Kedua otak ini menjadi bagian terbesar dari otak manusia yang bertanggung jawab atas semua kegiatan intelektual, seperti kemampuan berpikir, bernalar, mengingat, membayangkan, dan merencanakan. Fungsi otak kiri berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, merupakan pusat matematika dan pengendali intelligence quotient (IQ), yang bersifat jangka pendek. Sebaliknya, otak kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ), berhubungan dengan interaksi dengan manusia lain dan pengendalian emosi. Pada otak kanan pula terletak kemampuan intuitif merasakan dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, dan melukis. Keseimbangan fungsi kedua otak diyakini dapat menghasilkan ketenangan jiwa serta keseimbangan dalam pikiran, sikap dan tindakan, sehingga kita tidak hanya mempertimbangkan untung dan rugi atau menang dan kalah.
4. Penghargaan terhadap hak orang lain
Seperti halnya kita yang akan sakit hati, rendah diri, sedih, atau marah jika kita merasa orang lain telah melecehkan, menganggap kita tidak mampu, tidak memperhatikan, tidak mendengarkan pendapat kita, atau mengambil hak kita tanpa ijin, demikian pula yang dirasakan orang lain. Oleh karena itu, penghargaan terhadap hak-hak orang lain seperti halnya kita menghargai hak diri sendiri merupakan sikap mutlak yang perlu kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, sikap ini akan mencegah konflik yang berujung pada bullying.
5. Perhatian terhadap hak tubuh sendiri
Tubuh kita punya hak. Apabila kita tidak memenuhinya maka kita telah melakukan kekerasan atas tubuh kita sendiri. Kehidupan yang ideal dapat diwujudkan bila ada keseimbangan atas pemenuhan kebutuhan fisik dan jiwa. Siklus alam ada terang dan gelap. Ketika alam sedang terang benderang kita diwajibkan melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasuk hak tubuh yang bersifat aktualisasi. Bagi kita sebagai pelajar, tentu saja belajar dan kegiatan ekstra yang bertujuan memberikan makanan positif bagi fisik kita. Ketika alam mulai berubah gelap, waktunya bagi kita untuk melakukan kegiatan yang lebih bersifat nonfisik, seperti kegiatan yang bersifat introspeksi dan relaksasi, memenuhi hak tubuh untuk istirahat, dan kita akan segar di hari berikutnya. Diyakini bahwa aktivitas fisik yang tidak melebihi kemampuan tubuh akan mampu menjaga stabilitas emosi.
Penulis:
Sri Wahyuni, aktivis resolusi konflik dan perdamaian, bertempat tinggal di Aceh. Kontak: swyuni(at)gmail(dot)com.