Seringkali kita mengamati anak prasekolah sampai dengan umur 5-6 tahun, termasuk mungkin anak kita, yang bergerak terus dan tidak bisa diam. “Pecicilan” kalau orang Jawa bilang, “usreg” atau “anteng kitiran”, atau apapun itu disebutnya oleh orang-orang. Banyak yang akhirnya memberi label anak ini “nakal”, “susah dibilang”, dan stigma negatif lainnya. Ketika itu dihubungkan dengan performa mereka yang biasanya kurang optimal di sekolah, banyak orang tua dan guru yang cepat menyimpulkan mereka “kurang”, atau “tidak pandai”, ekstremnya “bodoh”.
Tetapi tunggu dulu, apa memang selalu demikian? Benarkah anak ini tidak bisa mengikuti pelajaran… Atau sebenarnya dia mengalami gangguan konsentrasi dan tidak ada yang bisa dilakukan dengan kemampuan intelejensia mereka? Tulisan ini mencoba untuk memperkenalkan lebih jauh tentang ganggguan konsentrasi dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu anak-anak dengan gejala seperti yang sudah disebutkan.
Anak yang mengalami gangguan konsentrasi umumnya tampak sangat mudah terganggu, impulsif, selalu tampak gelisah atau terlalu aktif, dan memiliki kesulitan untuk bertahan melakukan suatu tugas. Beberapa anak malah cenderung tampak melamun, dan sulit untuk mengikuti instruksi atau sulit mengendalikan dirinya sendiri. Ada beberapa tipe anak dengan gangguan pemusatan perhatian:
1. Inattentiveness (Tidak memperhatikan)
Anak yang inattentive sering kehilangan perhatian, mudah terganggu, sering tampak melamun, atau kehilangan konsentrasi dengan cepat. Memori jangka pendek mereka terpengaruh, seringkali lupa terhadap apa yang didengarnya, terutama menghadapi multi-task atau multi-message, yaitu informasi atau tugas lebih dari satu meskipun memori jangka panjang mereka biasanya sangat bagus. Akan tetapi, ketika aktivitas yang dilakukannya menarik atau merupakan sesuatu yang baru baginya, mereka dapat berkonsentrasi dengan baik dan sangat bersemangat, misalnya ketika menonton televisi atau bermain komputer. Ada juga anak inattentive yang tampak diam dan berperilaku baik, tapi sering tidak dapat menerima materi dan kehilangan hal-hal penting dalam proses belajarnya sehingga tanpa disadari mereka juga akan mengalami kesulitan belajar.
2. Impulsiveness (Impulsivitas)
Anak yang impulsif tidak pernah memikirkan konsekuensi dari tindakannya. Mereka cenderung suka memukul, lari, melukai, kehilangan kontrol atau merusak barang-barang, senang melakukan sesuatu hal yang dilarang. Sikap impulsif cukup normal dialami anak berusia 2 tahun tapi umumnya setelah menginjak usia 4 tahun mereka akan mulai mampu mengendalikan perilakunya. Namun, anak yang impulsif tidak dapat mengembangkan kontrol ini sehingga ia menjadi anak yang terlalu banyak bicara atau terlalu banyak melakukan tindakan yang kurang diterima lingkungan sosialnya.
Anak impulsif umumnya membutuhkan dan mengharapkan kepuasan sesaat, “Aku menginginkannya dan aku ingin mendapatkannya sekarang.” Kalau kata orang Jawa (lagi), “sak dhet sak nyet.” Maaf agak sulit mencari padanan katanya di bahasa Indonesia. Mereka mengalami kesulitan untuk menunggu giliran atau menunggu orang lain melakukan hal yang dimintanya.
3. Hyperactivity (Hiperaktivitas)
Anak hiperaktif tampak selalu sibuk, selalu aktif, selalu berlari, atau selalu bergerak. Mereka sering mengalami sulit tidur, tidak pernah kehabisan energi, sulit untuk duduk tenang, selalu bergerak, gelisah atau melompat. Beberapa anak tampak selalu ingin menyentuh berbagai benda yang dilihatnya, dan akan bahagia jika berada di luar ruangan di mana mereka dapat berlari-lari. Semua anak pada umumnya memang sangat aktif dan antusias, tapi ada saatnya mereka beristirahat dan rileks/santai pada saat tertentu. Anak yang benar-benar hiperaktif sangat sulit untuk rileks dan hanya dapat konsentrasi dalam jangka waktu yang sangat pendek, biasanya ketika sedang melakukan hal-hal yang disukai seperti menonton televisi, bermain komputer atau dalam situasi tertentu.
4. Distractibility (Sangat mudah terganggu)
Anak yang distractible sangat sulit untuk bertahan melakukan suatu tugas tertentu, sangat mudah terganggu meskipun oleh suara yang pelan, ada orang yang lewat, atau hal-hal yang menurutnya menarik. Bahkan ketika sedang melakukan sesuatu yang ia sukai, misalnya ketika sedang membaca atau bermain sesuatu, anak ini akan berpindah perhatian ketika ada hal yang mengganggunya dan sulit untuk konsentrasi kembali. Anak yang distractible mengalami banyak kesulitan dengan banyaknya stimulus di sekitarnya. Mereka butuh kerja keras untuk menyaring setiap suara atau cahaya. Mereka dapat bekerja dan bermain dengan baik jika hanya ada sedikit orang dan situasinya tenang.
5. Disorganization (Tidak teratur)
Anak kesulitan untuk mengendalikan diri mereka sendiri, mudah lupa, sering kehilangan barang-barang miliknya, dan seringkali bingung. Anak yang memiliki kesulitan dalam pengendalian diri tampak bingung untuk berpakaian sendiri atau berceceran ketika makan.
6. Social difficulties (Kesulitan sosial)
Anak mengalami kesulitan dalam interaksi sosial, sulit untuk memiliki waktu yang tepat untuk merasa cocok dengan teman. Kondisi mereka yang impulsif dan disorganisasi membuat mereka tidak mau mengikuti aturan dan tidak mengikuti norma sosial yang mengatur interaksinya dengan orang lain.
7. Difficulties with coordination, learning problem (Kesulitan koordinasi, masalah belajar)
Anak yang mengalami kesulitan perhatian biasanya juga mengalami gangguan dalam aspek lain, termasuk kemampuan motorik kasar maupun halus, atau mengalami kesulitan dalam belajar, misalnya kesulitan membaca, menulis atau berhitung.
Waduh, kok teman atau saudara kecil kita mengalami sebagian/semua yang disebut di atas! Apakah dia mengalami gangguan konsentrasi? Tenang, jangan panik dulu, pada dasarnya perilaku di atas dialami hampir semua anak karena merupakan bagian dari proses tumbuh kembangnya. Tetapi jika sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, atau kegiatan belajar dan interaksi sosialnya, serta cukup konsisten/permanen muncul selama sekitar 6 bulan berturut-turut, ada baiknya kita memberi perhatian ekstra. Kalau dirasa perlu silakan konsultasi dengan psikolog atau dokter anak untuk memastikannya. Jika hanya kadang muncul dan kadang tidak, ada baiknya kita belajar memahami bagaimana membantu mereka, karena konsentrasi bisa dilatih maupun diajarkan.
Memang gangguan pemusatan perhatian jarang didiagnosis untuk anak di bawah 5 tahun, karena masih bisa dianggap sebagai bagian tumbuh kembangnya sehingga tak jarang orang tua berpikir, “Ah dia masih kecil, 3 atau 4 tahun, nanti besar paling bisa sendiri.” Anggapan ini tidak salah, karena memang ada anak yang sambil tumbuh, konsentrasinya dan kontrol dirinya juga lebih stabil. Namun kenyataannya lebih banyak yang tidak demikian karena faktor lingkungan juga tanpa disadari memicu anak untuk mengalami konsentrasi, misalnya terlalu banyak bermain video game atau nonton TV dicurigai sebagai faktor pemicu.
Berdasar pengalaman sekitar 3 tahun mendampingi anak-anak TK, penulis menemukan cukup banyak anak yang menunjukkan gejala kesulitan konsentrasi terutama yang ringan sampai sedang. Hal ini cenderung lebih riskan/berbahaya karena jarang mendapat perhatian dan perlakuan yang tepat akhirnya tak tertangani dan ketika SD akhirnya sangat mengganggu proses belajarnya.
Berikut ini beberapa “Do and Don’t ” yang dapat membantu melatih anak untuk memusatkan perhatian.
Do (yang perlu dilakukan):
- Dapatkan perhatian mereka terlebih dahulu. Gunakan kontak mata dan sentuhan untuk mendapat perhatian mereka. Usahakan posisi mata sejajar (ada baiknya ketika bicara dengan anak dengan gangguan tersebut kita menekuk kaki/bertumpu di lutut untuk mendapat kontak mata).
- Memberi contoh yang sederhana dan jelas – satu ’tugas/pesan/instruksi’ dalam satu waktu, pastikan dia memahami apa yang kita sampaikan.
- Mendemonstrasikan perilaku yang diminta. Praktekkan apa yang Anda instruksikan, tenang dan jangan terburu-buru sehingga anak dapat mengikutinya.
- Melakukan kegiatan secara rutin dan terstruktur. Anak dengan kesulitan konsentrasi cukup sensitif dengan rutinitas. Jelaskan jika ada perubahan agar anak tidak kaget.
- Mendampingi anak pada waktu transisi, misalnya di situasi sosial yang baru (misalnya ketika awal masuk sekolah), karena dia tidak dapat memprediksi apa yang akan dihadapi, dan ini dapat memicu terganggunya konsentrasi.
- Membuat aturan yang jelas. Buatlah aturan yang sederhana, jelas dan cukup adil diterima anak. Kita juga harus konsisten, karena anak akan bingung ketika misalnya saat ini boleh, kemudian besok tidak boleh. Atau bisa jadi tidak boleh oleh mama tapi papanya mendukung.
- Memberi penghargaan ketika anak melakukan perbuatan yang diharapkan. Bukan dengan pujian yang berlebihan atau membanjirinya dengan hadiah, tetapi yang penting berikan penghargaan dan pengakuan bahwa dia berhasil
memperbaiki perilakunya. - Mengurangi hal-hal yang memperburuk keadaan. Misalnya, untuk sementara singkirkan menarik atau barang berharga dari jangkauan anak jika hal tersebut membuat kita khawatir (seperti pajangan dari kristal atau guci yg menarik anak untuk “menyentuh”-nya)
- Lebih banyak membimbing daripada memaksa. Arahkan ke perilaku yang positif karena semakin dilarang anak akan semakin memberontak.
- Memberi kesempatan untuk melakukan instruksi, misalnya dengan diperingatkan sampai tiga kali untuk memberi kesempatan mereka memperbaiki perilaku.
- Memberi star charts (daftar bintang), terutama untuk menghargai anak ketika ia berhasil memperbaiki perilaku sulitnya.
- Membantu dengan keterampilan sosial, dampingi anak untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, berbagi, bermain bersama. Cobalah mendiskusikan “masalah sosial”, misalnya tanyakan bagaimana reaksinya ketika ada temannya yang saling pukul atau berebut mainan sehingga ia belajar menghadapi berbagai situasi sosial dengan lebih positif.
- Membangun kepercayaan diri. Coba fokus pada hal positif dan kelebihan yang dimiliki anak sehingga ia pun lebih positif melihat dirinya sendiri dan tidak selalu dipersalahkan. Lingkungan yang menyayangi, saling mendukung, dan konsisten sangat membantu anak untuk menumbuhkan kepercayaan diri.
Do not (yang perlu dihindari):
- Berteriak – karena selain menguras energi kita, anak akan sulit menerima inti pesan yang kita sampaikan bahkan menimbulkan penolakan dari anak
- Memukul – hal ini justru semakin membuat anak melawan
- Mengatakan “jangan” berkali-kali – usahakan untuk lebih mengarahkan perilaku anak, kalaupun harus mengatakan “jangan” atau tidak boleh usahakan kita memberikan penjelasan “kenapa”-nya walaupun tidak saat itu juga anak perlu diberi umpan balik.
- Fokus pada perilaku yang sulit/bermasalah – kita akan dibuat panik ketika melihat betapa banyak perilaku yang harus diperbaiki, coba fokus pada satu hal sehingga anak pun tidak merasa, “Aku kok salah terus sih.”
- Konfrontasi – menggunakan kekuatan untuk mengarahkan perilaku anak selain melelahkan dapat membuat putus asa karena mendapat penolakan. Libatkan anak untuk bekerja sama memperbaiki perilakunya.
Bahan bacaan:
- Diana Roe, Young Children with Attention Difficulties, Australian Early Childhood Association Inc, Canberra (1998).
Penulis:
Ririn Yuniasih Wijayakusumua, ibu rumah tangga, doktor psikologi dari Indiana University, Amerika Serikat.
Kontak: rieny.wijayakusuma@gmail.com