Obesogen: Momok Baru bagi Pelakon Anti-Obesitas

Hingga beberapa waktu yang lalu, penulis selalu beranggapan bahwa orang-orang yang menderita obesitas dan berat badan berlebih (overweight) selalu disebabkan oleh buruknya pola makan dan kurangnya olahraga. Tapi benarkah demikian? Wah, rupanya penulis terlalu kudet (kurang update) dengan perkembangan sains yang sudah membahas banyak tentang obesitas. Para peneliti menemukan bahwa obesitas tidak semata-mata disebabkan oleh gaya hidup yang buruk lho! Percaya?

Memang benar, gaya hidup sedentari (sedentary lifestyle/cara hidup seseorang yang kurang aktif gerak) dan pola makan kaya karbohidrat dan lemak menjadi penyebab utama obesitas. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah penyebab satu-satunya. Di antara sebab lainnya adalah penyakit turunan (faktor genetis) yang dapat berupa mutasi pada gen tertentu, terpaparnya tubuh pada senyawa kimia pemicu obesitas, dan kondisi mikroba usus. Sebenarnya penulis ingin membahas semuanya satu per satu, tapi agar tidak terlalu panjang, kali ini kita bahas tentang senyawa kimia pemicu obesitas dulu saja ya.

Pada tahun 2006, Bruce Blumberg, seorang professor biologi di University of California, Irvine dan koleganya, Felix Grün menemukan senyawa kimia yang dinamakan obesogen. Obesogen didefinisikan sebagai bahan kimia di lingkungan yang diyakini terkait dengan penambahan berat badan. Meskipun pemberian istilahnya dilakukan pada tahun 2006, ide pertama tentang senyawa kimia penyebab obesitas mengacu pada artikel yang dipublikasikan pada tahun 2002 di dalam Journal of Alternative and Complementary Medicine.

Artikel yang ditulis oleh Paula Baillie-Hamilton itu menyajikan bukti-bukti dari kajian awal toksikologi tentang kaitan paparan zat kimia dosis rendah dengan kenaikan berat badan sejak tahun 1970-an. Sebenarnya, para peneliti pada sumber referensi Hamilton semuanya tidak berfokus pada kenaikan berat badan, sebaliknya mereka malah mencari-cari senyawa kimia yang dianggap berbahaya dengan kriteria efeknya menurunkan berat badan. Pada zaman itu, kenaikan berat badan dianggap sebagai sesuatu yang positif alih-alih berbahaya.

Di tempat lain dalam rentang waktu yang relatif sama yaitu pada awal tahun 2000-an, Blumberg menghadiri sebuah pertemuan ilmiah di Jepang. Dia yang saat itu sedang mempelajari tentang endocrine disruptor, baru saja mengetahui fakta baru bahwa tributyltin (TBT, fungisida dalam campuran cat kapal) dapat mengubah jenis kelamin ikan (sex reversal). Berawal dari fakta tersebut, dia melakukan penelitian untuk mengetahui apakah TBT dapat mengaktivasi reseptor inti seperti reseptor steroid. Namun, hasil dari penelitiannya di laboratorium justru menunjukkan bahwa TBT dapat mengaktivasi reseptor asam lemak PPARγ (peroxisome proliferator-activated receptor gamma). PPARγ merupakan regulator utama untuk adipogenesis, proses pembentukan adiposit (sel lemak).

PPARγ juga diketahui tidak mengalami perubahan selama evolusi pada manusia dan mencit. Istilah kerennya adalah evolutionarily conserved. Selain itu, ligand-binding pocket pada PPARγ memiliki ukuran yang besar sehingga menyebabkan reseptor ini rawan teraktivasi oleh molekul “penipu” (molekul yang mirip aktivator). Sel adiposit akan terbentuk jika TBT akan mengaktivasi PPARγ yang terletak pada preadiposit. Namun, jika sel yang dipengaruhi sudah berupa adiposit, PPARγ akan menyebabkan bertambahnya lemak pada sel sehingga menambah ukurannya.

Eksperimen yang dilakukan tim peneliti Blumberg juga telah mengungkapkan fakta bahwa kodok yang terpapar TBT memiliki tumpukan lemak di sekitar gonad, sementara mencit yang terpapar dalam kandungan menyimpan cadangan lemak yang lebih banyak kelak ketika dewasa. Berita buruknya, hewan yang terpapar TBT dalam kandungan akan mewariskan potensi obesitas ini pada anak-cucunya melalui mekanisme epigenetik.

Skema sederhana tentang cara kerja TBT sebagai obesogen.
Sumber: http://www.the-scientist.com/November2015/NovGrens_high.pdf

Di belahan bumi yang lain, selain Blumberg dan timnya, terdapat beberapa ilmuwan yang meneliti berbagai senyawa yang disinyalir sebagai obesogen. Salah satu di antaranya adalah Retha Newbold yang meneliti dietilstilbestrol (DES). DES adalah estrogen sintetis yang pada tahun 1930-an hingga 1970-an banyak diresepkan dokter untuk ibu hamil sebagai pencegah keguguran. Meskipun demikian, penelitian lanjutan menunjukkan bahwa anak-anak yang terlahir dari ibu pengkonsumsi DES memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap masalah reproduktif, kanker payudara, dan kanker vagina di masa dewasa. Newbold dalam penelitiannya selama 30 tahun juga memperoleh kesimpulan bahwa mencit yang terpapar DES dalam kandungan/masa awal kehidupan mengalami kenaikan berat badan, perubahan ekspresi gen yang terkait obesitas, dan perubahan level hormon.

Zat-zat yang diketahui dan dicurigai sebagai obesogen.
Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3279464/

Selain TBT dan DES, ada beberapa obesogen lain yang digunakan secara luas di sekitar kita, sebut saja nikotin yang terdapat dalam rokok. Penelitian menunjukkan, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang juga seorang perokok cenderung lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Nah, tubuh bayi-bayi tersebut biasanya akan berusaha “mengejar ketertinggalan” dengan menambah berat badan sehingga berisiko mengalami obesitas ketika dewasa.

Ada juga bisfenol A (BPA) yang biasa ditemukan pada wadah plastik atau makanan kaleng, dan asam perfluorooktanoat (PFOA/Perfluorooctanoic acid) yang digunakan sebagai surfaktan dan dalam alat masak antilengket. Untuk PFOA sendiri dikabarkan efeknya dapat meningkatkan produksi hormon leptin pada mencit uji. Leptin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel adiposit yang mengontrol nafsu makan dan metabolisme. Pada keadaan normal, hormon ini bekerja untuk menekan nafsu makan. Akan tetapi, pada manusia dan mencit yang mengalami obesitas, kadar hormon ini justru meningkat. Hal ini membuat ilmuwan berspekulasi bahwa otak dapat menjadi resisten terhadap efek leptin tersebut.

Mencit yang terpapar PFOA sebelum lahir, akan mengalami obesitas ketika mencapai usia dewasa.
Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3279464/
Sampai sejauh ini para ilmuwan menemukan sekitar 15 hingga 20 bahan kimia yang sudah diketahui berefek terhadap kenaikan berat badan. Sebagian besar zat tersebut merupakan endocrine disruptor (penganggu endokrin/zat kimia yang dapat menganggu sistem endokrin (atau hormon) tubuh) dan sebagian dari bahan-bahan tersebut dapat mempengaruhi bayi dalam kandungan/masa awal pertumbuhan. Oleh karena itulah, ibu hamil dan menyusui sangat disarankan untuk menghindari penggunaan barang-barang yang mengandung obesogen. Beberapa obesogen tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Nama Kegunaan Bukti kerusakannya/ Bukti bahayanya Mekanisme
Tributyltin (TBT) Fungisida dan disinfektan; ditambahkan dalam cat kapal untuk mencegah pertumbuhan teritip dan organisme lain; ditemukan juga sebagai substansi tambahan secara tidak sengaja dalam beberapa plastik. Akumulasi lipid dalam preadiposit pada kultur; mencit dalam kandungan yang terpapar TBT akan mengalami pembesaran deposit lemak dan efeknya diwariskan hingga beberapa generasi. Mengaktivasi faktor transkripsi PPARγ/RXR, among other effects
Organobromines Flame retardants and other uses (penghambat api dan penggunaan lainnya) Tikus jantan mengalami kenaikan berat badan dan massa lemak; bayi manusia yang terpapar memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Belum terlalu jelas; tali pusar manusia dan rodentia menunjukkan kadar tiroid yang rendah.
Organochlorines (mis: DDT, PCB, tolyfluanid) Pestisida; produk elektronik Kenaikan berat badan, massa lemak, dan disfungsi metabolik pada rodentia; berkaitan dengan BMI yang lebih tinggi pada manusia. Aktivasi reseptor glukokortikoid dan PPARγ; aktivitas antiandrogenik
Organophosphates Insektisida Kenaikan berat badan dan disfungsi metabolik pada tikus yang terpapar. Tidak diketahui
Bisfenol A (BPA) Produk plastik Akumulasi lipid pada preadiposit di kultur; Rodentia yang terekspos ketika dalam kandungan atau setelah kelahiran memiliki massa dan berat lemak yang lebih besar ketika dewasa; Mengaktivasi reseptor estrogen dan glukokortikoid dan PPARs, di antara tindakan lainnya
Phthalates (misal: diethylhexylphthalate) Produk plastik Akumulasi lipid pada preadiposit di kultur; anakan dari mencit yang terpapar memiliki massa lemak dan berat badan yang lebih tinggi; dihubungkan dengan obesitas dan diabetes tipe 2 pada wanita Mengaktivasi PPARs dan reseptor glukokortikoid, di antara tindakan lainnya
Logam berat (misal: kadmium, arsenik, timah) Pertambangan, pupuk, produk plastik, pengawet kayu Berkaitan dengan kenaikan risiko diabetes tipe 2 pada manusia; mencit betina yang terekspos arsenik dalam kandungan akan menderita obesitas. Meniru estrogen; mengganggu metabolisme glukosa
Asam perfluorooktanoat (PFOA) Lapisan anti lengket  dan kegunaan lainnya Kenaikan berat badan pada mencit betina yang terpapar; dihubungkan dengan BMI yang lebih tinggi pada manusia Tidak diketahui

Contoh bahan kimia yang berpotensi sebagai obesogen. Diterjemahkan dari: http://www.the-scientist.com/?articles.view/articleNo/44278/title/Obesogens/

Tidak hanya karena obesogen saja, para ilmuwan pun sepakat bahwa obesitas juga erat kaitannya dengan paparan faktor pemicu obesitas yang terjadi selama kehamilan dan masa awal pertumbuhan. Dan sayangnya, perubahan yang terjadi akibat faktor-faktor tersebut tidak bisa dikembalikan ke asal (irreversible). Namun, kondisi tersebut tetap bisa dikontrol dengan menjalani gaya hidup sehat seperti mengkonsumsi makanan organik serta mengurangi paparan terhadap faktor-faktor pemicu obesitas seperti mengurangi penggunaan plastik.

Nah, bagaimana menurut teman-teman, pembahasan ini menarik, bukan? Pengungkapan hasil dari para peneliti awal obesogen, rupanya menjadi magnet yang menarik perhatian masyarakat internasional, termasuk badan kesehatan dan pembuat kebijakan di banyak negara. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pihak yang merasa skeptis dengan kaitan antara senyawa kimia modern dan obesitas. Hal itu terjadi karena selama ini sebagian besar data yang dipresentasikan merupakan hasil dari eksperimen terhadap hewan coba, sedangkan penelitian klinis terhadap manusia masih sangat terbatas dan eksperimen tidak mungkin dilakukan. Namun, mungkin ada baiknya juga bagi kita untuk memulai gaya hidup sehat dan “back to nature”. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? J

Bahan bacaan:

 

Penulis:

Annisa Firdaus WD, Alumnus S-1 Jurusan Biological Science, Nagoya University, Jepang.

Kontak: annisafirdauswd(at)yahoo(dot)co(dot)id.

Back To Top