Masa kecil penulis ada di Desa Blayu, Kecamatan Wajak, yang terletak di kaki gunung Semeru, Kabupaten Malang. Kehidupan saya layaknya anak desa pada umumnya. Bermain ke sawah dan bermain bola di lapangan ketika hujan turun dengan derasnya jadi aktivitas yang biasa. Tidak ada kesedihan, yang ada hanya kebahagiaan. Bukankah memang seperti itu kehidupan anak kecil?
Di sekitar tempat saya tinggal tidak banyak sekolah yang bergengsi. Maksud “bergengsi” yang saya pahami adalah orang-orang banyak yang ingin anaknya masuk ke sekolah-sekolah negeri. Anehnya, saya tidak tertarik bersekolah di sekolah-sekolah negeri tersebut. Mengikuti pendidikan yang diterapkan orang tua saya, sekolah berbasis agama tidak kalah baiknya dengan sekolah negeri. Saya pun disekolahkan di Roudhotul Atfal Hidayatul Muttaqin (setingkat TK), Madrasah Ibtidaiyah Hidayatul Muttaqin (setingkat SD), dan Madrasah Tsanawiyah Al-Hidayah (setingkat SMP). Mungkin teman-teman akan merasa asing dengan nama-nama sekolah tersebut.
Pendidikan yang diberikan orang tua membuat kecintaan saya terhadap ilmu agama sangat besar. Oleh karena itu pula, saya belajar di TPQ Al-Murtaqo di bawah asuhan K. H. Qostolani Umar dan Pak Mukhlas Tajuddin. Saya sangat mencintai momen-momen belajar untuk mendalami agama saya di tempat ini. Tapi, jangan salah lo, meskipun saya lebih menyukai ilmu agama, pengetahuan ilmu umum saya juga cukup baik. Terbukti, saat masih di bangku sekolah dasar peringkat saya tidak pernah lepas dari 4 besar di kelas.
Alhamdulillah, ketika menginjak SMP saya pun tidak pernah lepas dari peringkat 1. Haruslah saya bersyukur dengan capaian-capaian yang tertulis di rapor sampai SMP. Namun, sejujurnya capaian tersebut membuat hati saya gundah. Kenapa bisa saya mendapatkan hasil seperti itu? Pertanyaan itu sering saya tanyakan pada diri sendiri. Saya tidak puas dengan hasil tersebut bukan karena tidak bersyukur. Saya merasa bahwa hasil tersebut tidak menggambarkan usaha yang telah saya lakukan.
Saya belum merasa berusaha keras untuk mendapatkan hasil tersebut. Saya hanya terdiam dan mengutuk diri sendiri, “Bagaimana mungkin dengan belajar sekadarnya boleh mendapatkan peringkat pertama?” Tentu saja, ini bukan untuk menyombongkan diri, dan pikiran tersebut pun tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap guru-guru yang telah membimbing selama itu. Bahkan, saya sangat bersukur telah dididik baik di sana. Banyak sekali dasar ilmu yang saya peroleh di sana. Menghargai guru dan ilmu adalah salah satu yang saya tancapkan dalam hati.
Terdapat momen yang sangat krusial di masa-masa akhir pendidikan SMP saya. Perenungan terhadap ketidakpuasan karena selalu mendapat peringkat 1 di SMP membawa saya pada sebuah kesimpulan, “Saya harus meyakinkan diri bahwa saya masih bodoh.” Terselip doa yang saya panjatkan, “Ya Allah, semoga saya bisa sekolah di tempat yang saya menjadi siswa paling bodoh di dalamnya.”
Pada saat-saat itu muncul seseorang yang membuat saya bisa membuka tabir impian saya. Dia menunjukkan informasi sekolah yang sangat bagus plus dipastikan mendapatkan beasiswa jika diterima di sekolah tersebut. Sekolah itu didirikan oleh Presiden ke-3 Indonesia, B. J. Habibie. Mata saya berbinar-binar mendengar informasi tersebut. Bagaimana mungkin saya tidak tertarik? Saya pasti sangat tertarik. Namun, hati saya merasa peluang untuk ke sana sangat kecil.
Hari tes yang saya tunggu pun tiba, tak sabar saya menjalani tes ini. Lokasi tes waktu itu di MAN Sidoarjo. Sejujurnya saya tidak mempersiapkan tes ini dengan serius, “Lagi pula tidak mungkin saya diterima,” celetuk saya dalam hati. Meskipun begitu, jauh di dalam hati saya masih berharap bisa diterima di sekolah tersebut. Lucu memang. Saat tes tulis tersebut, saya dibuat kagum dengan penampilan peserta tes yang lain. Dari sekian banyak peserta dalam ruang tes, banyak dari mereka yang menggunakan kaca mata, “Begini toh ternyata anak-anak pintar itu.” Saya merasa sangat senang melihat mereka.
Ketika mengerjakan soal, tak henti-hentinya saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Jangan salah persepsi dulu. Saya menengok ke kanan dan ke kiri karena ingin melihat peserta tes yang lain saja. Mereka tampak intelek dengan kaca matanya. Kaca matanya keren juga. Pasti banyak buku yang telah dibaca. Selintas pikiran tersebut muncul di tengah tes tulis.
Saya semakin bahagia ketika tes tulis tersebut selesai, saya mendengar sekumpulan peserta tes berbincang-bincang mengenai tes tersebut. “Bagaimana soalnya?” salah seorang dari mereka bertanya kepada temannya. “Biasa saja, ya? Tidak sesusah yang dikatakan orang-orang?” timpal yang lainnya. Saya semakin sadar bahwa masih banyak anak yang jauh dan jauh lebih pintar. Saya tersenyum penuh semangat mendengarnya, “Saya siap untuk kembali. Setidaknya sekarang saya akan belajar lebih rajin.” Meskipun saya semakin yakin bahwa saya tidak akan lolos, saya tidak menyesal.
Pengumuman yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hasil seleksi sekolah itu diumumkan melalui internet. Sebenarnya saya tidak benar-benar menunggu pengumuman tersebut karena saya sudah sangat yakin tidak akan diterima. Benar saja bahwa saya tidak diterima. Tidak ada kesedihan dan kekecewaan waktu itu. Saya segera menutup situs web pengumuman seleksi tersebut.
Setelah pengumuman itu akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah dan Pesantren An-Nur (setingkat SMA). Teman-teman pembaca tentu masih ingat, ya, saya memang tertarik dengan pendidikan yang berhubungan dengan agama? Maka, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan setingkat SMA di sekolah tersebut sekaligus mondok. Tempatnya di daerah Bululawang, sekitar 20 menit dari rumah. Meski cukup dekat, setidaknya impian saya yang lain dapat tercapai, yaitu keinginan untuk mondok di pesantren.
Seminggu sudah saya berada di pesantren. Di sekolah baru saya juga sudah melewati masa-masa ospek. Selama itu pula sebenarnya saya masih homesick. Hari itu adalah hari pertemuan wali murid. Abah datang sekaligus membawakan sesuatu untuk saya. Kalian bisa membayangkan bahwa yang dibawa adalah sayur-sayuran mentah. Ada wortel, timun, dan tomat. Saya memang suka makan sayuran tersebut mentah-mentah.
Setelah pertemuan wali murid selesai, Abah menanyakan sesuatu yang membuat bingung. “Le, kata Mas Toh sampeyan diterima di MAN Insan Cendekia?” Oh iya, SMA yang tadi disebutkan pernah coba saya masuki itu bernama MAN Insan Cendekia Serpong. Saya hanya bingung mengapa Abah berbicara mengenai MAN Insan Cendekia? Bukankah saya tidak diterima? Abah melanjutkan, “Kata Mas Toh sampeyan jadi siswa cadangan dan akhirnya diterima.”
Saya masih saja bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya saya tidak menyadari dan tidak mengira bahwa ada daftar siswa cadangan. “Maksudnya, Bah? Ini beneran?” Meskipun tidak percaya, tapi saya mantap menjawab, “Insyaallah saya ambil, Bah.” Seketika itu juga Abah minta membereskan barang-barang saya. Abah mengajak saya pamit dan menjelaskan semuanya kepada pengurus pesantren dan sekolah.
Saya masih tidak percaya sebenarnya dengan apa yang terjadi. Di hari itu pula, kakak sepupu saya mengantar ke Tangerang Selatan. Cukup jauh memang. Apalagi bagi saya yang tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh dan memang tidak suka. Waktu itu saya bisa mabuk dengan menaiki mobil pick up sejauh 1 km saja. Kalian bisa membayangkan bagaimana perasaan saya ketika harus menaiki bus dari Malang ke Tangerang Selatan? Tidak ada makanan yang tersisa di dalam perut. Setiap yang masuk sepertinya keluar.
Hingga sampailah saya di kampus MAN Insan Cendekia Serpong. Saya tidak pernah mengira takdir menggiring saya ke tempat yang jauh dari Malang. Saya masih tidak mengira bisa berdiri di sekolah ini. Sekolah yang kata orang banyak menjadi idaman. Pada awalnya saya sangat menyukai berada di lingkungan sekolah ini. Nilai-nilai Islam diterapkan dengan sangat baik, kebiasaan salam kepada siapapun yang ditemui, tidak ada siswa yang menyontek, dan pakaian yang islami. Suasana di sekolah ini menjadi begitu spesial. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa saya belum bisa beradaptasi dengan ritme akademik yang ada di sekolah ini.
Nilai-nilai akademik saya jauh dari kata memuaskan. Nilai 33 (dari 100) adalah nilai yang biasa saya dapatkan. Sempat saya hampir putus asa. Untungnya, saya menemukan hal yang sama pada beberapa anak yang mengalami kasus serupa. Kami biasa saling berbagi cerita dan mencurahkan isi hati. Bisa dikatakan bahwa kami adalah beberapa anak yang merasa tersesat di sekolah yang sangat bagus ini. Kami menyadari kemampuan kami yang terlihat cukup buruk jika melihat hasil ujian kami. Apalagi di tengah keterpurukan kami banyak siswa lain justru terlihat enjoy dan mudah menyesuaikan diri dengan ritme yang ada di sekolah ini. Tentunya itu membuat kami semakin stres.
Kalian bisa membayangkan dengan latar belakang pendidikan yang sebelumnya saya jalani, saya belum bisa mengimbangi siswa-siswa lain dengan latar belakang pendidikan dari SMP atau pondok favorit. Saya semakin frustrasi ketika ditempatkan sekamar dengan anak-anak yang saya katakan sangat jenius. Setidaknya itu yang bisa saya pikirkan saat itu.
Dengan kesadaran kemampuan yang tertinggal jauh, akhirnya saya membuat resolusi bagi diri sendiri, “Saya harus tidur paling akhir!” Setidaknya saya bangun lebih lama dari yang lain. Meskipun seringkali ketika bangun juga tidak untuk belajar, hehe. Namun, saya masih percaya usaha saya harus lebih besar daripada orang lain kalau saya ingin mengejar ketertinggalan. Resolusi itu tidak otomatis membuat nilai saya bagus. Bahkan saya seringkali berpikir kembali, “Jangan-jangan sekolah ini salah panggil orang.” Saya benar-benar tidak yakin bahwa saya pantas ada di sini. Pikiran itu menghantui saya selama hampir satu semester.
Ujian harian sudah terlewati beberapa kali. Saya mulai menyadari bahwa nilai-nilai saya perlahan-lahan merangkak naik meskipun masih banyak yang harus mengulang ujian. Saya sangat bahagia dan bersyukur karena nilai saya lebih baik dari sebelumnya. Mulai saat itulah saya menyadari bahwa ternyata salah satu doa saya terkabul. Ingat, saya adalah siswa cadangan terakhir yang diterima di sekolah ini. Artinya? Saya murid ke-120 dari 120 siswa yang diterima! Memang terasa aneh, saya bahagia ketika menyadari bahwa saya siswa yang terakhir diterima, yang secara sederhananya bermakna saya adalah siswa terbodoh di sekolah ini.
Saya sangat senang bahwa doa yang sudah hampir terlupakan itu ternyata dikabulkan Allah. Mulai saat itu, saya membuat target baru, “Saya minimal harus peringkat ke-23 di kelas!” Di MAN Insan Cendekia, satu kelas berisikan 24 anak, berarti target saya tidak muluk-muluk, sekadar tidak menjadi juru kunci di kelas. Kejutan datang ketika hasil rapor semester pertama dibagikan. Saya terkejut mendapatkan peringkat ke-13. Sungguh di luar dugaan. Sepuluh tingkat di atas target saya. Bagaimana mungkin saya bisa mendapatkannya? Dengan target mendapatkan peringkat ke-23 di kelas, saat itu setidaknya minimal saya peringkat ke-119 di angkatan (walaupun sistemnya tidak seperti itu). Alhamdulillah, mungkin itu buah dari doa dan kerja keras.
Hari kelulusan dari MAN Insan Cendekia Serpong menjadi momen spesial karena tidak semua siswa yang masuk ke sini bisa lulus. Aturan ketat mulai dari standar nilai ataupun pelanggaran terlarang menyebabkan beberapa siswa gugur di tengah jalan. Saya bersyukur bisa lulus dari sekolah ini. Saya banyak diajari untuk berusaha keras. Di sekolah inilah kepercayaan diri saya mulai terbentuk. Saya pun sudah berpikir bahwa saya tidak akan minder untuk berdiri bersama teman-teman di sini.
Bersama teman-teman saat itu, kami berjuang untuk diterima di kampus-kampus terbaik di dalam negeri maupun di luar negeri. Persiapan yang tidak kalah penting bagi saya adalah mencari informasi beasiswa. Waktu itu saya ingin mendapatkan beasiswa agar tidak membebani orang tua. Apalagi saat itu orang tua saya masih ada tanggungan kuliah S-2 kakak saya. Saya memutuskan untuk mencari beasiswa-beasiswa yang bisa diakses. Mulai dari beasiswa prestasi maupun beasiswa berdasarkan keadaan ekonomi.
Pencarian saya mengantarkan pada sebuah beasiswa yang asing bagi saya (mungkin juga bagi banyak orang): Beastudi Etos. Beasiswa ini tidak pernah saya dengar sebelumnya. Ini adalah beasiswa di bawah naungan lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa. Saya dan beberapa teman berangkat tes untuk beasiswa ini di Universitas Indonesia. Awalnya beasiswa ini hanya menjadi salah satu pilihan yang nantinya masih akan saya pertimbangkan lagi. Namun, semuanya berubah setelah saya mengikuti seleksi. Beasiswa ini begitu terasa spesial setelah saya bertemu alumni penerima Beastudi Etos ini.
Banyak sekali dari mereka berasal dari keluarga yang benar-benar lebih tidak beruntung daripada saya. Sangat senang mengetahui bahwa mereka memiliki daya juang yang sangat tinggi dengan segala mimpi-mimpi yang ada. Sampai akhirnya saya benar-benar bisa diterima dan berkumpul dengan penerima Beastudi Etos seluruh Indonesia sekaligus diterima di salah satu kampus di negeri ini. Alhamdulillah, saya menjadi mahasiswa jurusan Teknologi Pangan dan Hasil pertanian UGM.
Berkumpul dengan para pejuang mimpi membuat saya berpikir, “Tidak ada yang tidak bisa kita impikan.” Bermimpi memang gratis. Betul, kan? Setidaknya saya pun tidak mengira takdir saya akan sampai di sini. Hal-hal yang tidak mungkin kita lakukan saat ini bukankah bisa menjadi takdir baru yang akan kita jalani di masa depan? Maka, mungkin saya akan terus mempunyai impian selama saya masih bisa bermimpi. Meskipun impian itu belum tercapai bukankah kita masih bisa berdoa dan bekerja keras. Tentu kamu juga, kan?
Penulis:
Mohammad Abid Mubarok, alumnus Beastudi Etos dan Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kontak: mabidmubarok(at)gmail(dot)com.