Jepang termasuk negara yang sangat memerhatikan akomodasi masyarakat dalam sistem lalu lintas di negara tersebut. Sebagai contoh, hampir seluruh trotoar di jalan-jalan utama di Jepang mengakomodasi golongan masyarakat yang memiliki disabilitas, seperti tunanetra dan pengendara kursi beroda. Para penyandang tunanetra sangat terbantu dengan konstruksi trotoar di Jepang yang memungkinkan mereka berjalan mengikuti lintasan yang bisa mereka lalui.
Trotoar di Jepang dirancang cukup lebar. Ada bagian yang diperuntukkan bagi pengendara sepeda, ada lintasan yang diperuntukkan bagi penyandang tunanetra, ada bagian yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dan pengendara kursi roda. Barangkali orang berpikir bagaimana kalau para penyandang tunanetra ingin menyeberang, sementara mereka tak mengetahui sisi mana dari lintasan yang mereka lalui yang merupakan titik penyeberangan. Nah, di Jepang, titik penyebrangan pada bagian trotoar juga dilengkapi dengan penanda khusus berupa ubin yang memiliki pola tertentu, yang bisa diraba oleh kaki sang tunanetra.
Trotoar di Jepang juga benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya, yaitu untuk masyarakat yang tidak mengendarai kendaraan bermotor. Tak nampak sama sekali ada aktivitas berdagang sebagaimana trotoar di indonesia yang umumnya dimanfaatkan oleh para pedagang kaki lima untuk menjajakan dagangannya, hingga pejalan kaki tetap harus turun ke bagian tepi jalan yang dilewati kendaraan bermotor.
Hal yang lebih menarik lagi adalah perilaku masyarakat Jepang dalam berlalu lintas. Di Jepang, jumlah lampu lalu lintas sangatlah banyak. Lampu lalu lintas tidak hanya terletak di perempatan atau pertigaan jalan besar saja, tetapi juga di jalan yang relatif kecil, yang di Indonesia umumnya lebih sering disebut dengan “gang”. Di setiap persimpangan dilengkapi pula dengan pengatur pejalan kaki, kapan mereka boleh menyeberang dan kapan mereka boleh berhenti.
Karena begitu banyaknya lampu lalu lintas di jalanan di Jepang, terkadang bepergian menggunakan mobil pribadi membutuhkan waktu yang lebih lama daripada angkutan massal seperti kereta. Namun, tidak seperti di Indonesia, waktu tempuh mobil yang lama di Jepang disebabkan bukan oleh macetnya jalanan, melainkan karena mereka harus berhenti di banyak sekali titik lampu lalu lintas. Di Jepang jarang sekali terjadi kemacetan, pun di kota-kota besar. Itulah mengapa masyarakat Jepang sangat banyak yang lebih mengandalkan transportasi publik seperti kereta bawah tanah atau kereta biasa.
Di Jepang, kita bisa dapati kebanyakan orang tetap berhenti menunggu lampu lalu lintas untuk menyala hijau meskipun sebenarnya tak tampak ada pengguna jalan lain yang sedang atau hendak menyeberang. Bisa saja mereka berpikir bahwa untuk apa berhenti lama menunggu lampu hijau jika langsung menyeberang saja tetap aman. Namun, kebanyakan orang Jepang tak melakukan hal tersebut. Dan sikap seperti itulah yang sepertinya menjadikan lalu lintas di jepang begitu tertib dan minus angka kecelakaan.
Kita mungkin bertanya-tanya dari mana perilaku tertib tersebut berawal. Apakah dimulai dari lembaga pendidikan formal seperti sekolah, atau pendidikan keluarga, ataukah sudah menjadi budaya yang terbentuk jauh sebelum peradaban modern tumbuh di Jepang? Mari kita coba analisis.
Pada dasarnya, tingginya angka kecelakaan lalu lintas berhubungan dengan karakter masyarakat dalam menyikapi ego masing-masing. Di negara-negara berkembang, jamak terjadi pengendara yang main serobot begitu saja untuk cepat-cepat sampai ke tujuan, tanpa dengan hati-hati mengindahkan hak pengguna jalan yang lain. Kasus seperti mobil terseret kereta, motor tertabrak mobil, atau tabrakan yang melibatkan beberapa mobil sering disebabkan oleh sikap mengedepankan ego masing-masing yang dimiliki oleh pengendara.
Nah, di Jepang, pendidikan karakter sudah terintegrasi di seluruh sekolah sejak usia dini, dan orang tua di rumah pun terlibat di dalamnya bersinergi dengan sekolah. Masyarakat Jepang dididik untuk terbiasa bekerja sama, taat peraturan, mengutamakan kepentingan bersama, sehingga mereka akan merasa sangat malu jika tidak menegakkan peraturan yang telah mereka sepakati. Demikian pula dalam berlalu lintas, dengan sekumpulan peraturan lalu lintas untuk ketertiban dan kenyamanan bersama, masyarakat Jepang berusaha sebaik-baiknya untuk menaati peraturan tersebut. Selain itu, pelanggar peraturan memang akan dikenai hukuman berat, yang diperhatikan dengan sangat serius oleh penegak hukum.
Pelajaran dari lalu lintas Jepang ini, bahwa kehebatan suatu bangsa tak semata ditentukan oleh kemajuan peradaban teknologi dan karya-karya fisiknya, tetapi juga keluhuran budi pekerti serta karakter positif yang mereka miliki. Apa jadinya Jepang jika kehebatan sistem transportasi mereka tak ditunjang dengan karakter positif masyarakatnya yang mau berdisiplin mengikuti aturan berlalu lintas? Oleh karena itu, pendidikan karakter janganlah semata-mata menjadi formalitas dalam teks-teks materi pelajaran di sekolah, tetapi harus benar-benar diimplementasikan agar masyarakat suatu bangsa menjadi manusia yang berbudaya dan berarakter positif. Dengan karakter-karakter positif yang mereka miliki, maka aspek kemajuan lainnya bisa tertunjang dengan baik.
Penulis:
Dahlan Ahmad, guru bahasa Inggris di SMAN 1 Paninggaran, Pekalongan, peserta pelatihan guru selama 1,5 tahun di Jepang. Kontak: http://dahlantalk.blogspot.com/