Pada akhir tahun lalu tepatnya pada tanggal 6 Desember 2015 di Washington DC, Indonesia yang diwakili oleh tiga BUMN, yaitu Pertamina, PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan INUKI (Industri Nuklir Indonesia) menandatangani perjanjian kerjasama pengembangan reaktor nuklir berbahan bakar thorium dengan perusahaan ThorCon yang berbasis di Amerika Serikat. Target dari kerjasama ini adalah untuk mendesain Thorium Molten Salt Reactor (TMSR) yang siap dikomersialkan pada tahun 2021.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mengestimasi bahwa Indonesia memiliki cadangan thorium sebesar 170.000 ton yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia dengan porsi terbesar berada di Bangka Belitung sebagai daerah penghasil timah. Jumlah tersebut jauh lebih banyak daripada jumlah cadangan uranium Indonesia yang hanya berkisar 70.000 ton. Ini yang menjadi salah satu faktor mengapa pemerintah Indonesia lebih tertarik mengembangkan reaktor nuklir berbahan bakar thorium.
Selain teknologi sistem keselamatan reaktor itu sendiri yang menggunakan sistem passive safety, yakni reaktor nuklir akan berhenti beroperasi secara otomatis/alamiah jika terjadi kegagalan operasional, TMSR juga merupakan reaktor nuklir generasi IV yang merupakan generasi terbaru saat ini. Bandingkan dengan tipe reaktor Fukushima yang merupakan reaktor generasi tua. Beberapa alasan penting lainnya dari pengembangan TMSR ini adalah harga produksi listriknya yang masih lebih murah jika dibandingkan dengan produksi listrik batu bara (yang notabene saat ini masih dianggap paling murah), serta lebih ramah lingkungan.
Thorium dan Penggunaannya
Thorium adalah salah satu zat radioaktif yang jumlahnya sangat melimpah di alam, sekitar tiga kali jumlah uranium di alam. Di samping itu thorium sendiri bisa didapatkan dari limbah hasil pengolahan timah. Thorium pertama kali dideteksi oleh ilmuwan asal Swedia, Jons Jacob Berzelius, pada tahun 1828 dari bebatuan dan tanah. Thorium alam merupakan isotop tunggal (Th232) dikarenakan waktu paruhnya yang sangat lama, berkisar tiga kali dari usia bumi.
Pada tahun 2014, IAEA (International Atomic Energy Agency) dan NEA (Nuclear Energy Agency) mempublikasi bahwa jumlah cadangan thorium di alam sebesar 6,2 juta ton di seluruh dunia, belum termasuk jumlah thorium di Indonesia. Jumlah terbesar berada di India dengan jumlah sekitar 7,3% dari total thorium di dunia. Sebagai material fertil bernomor massa genap, penggunaan thorium sebagai bahan bakar reaktor nuklir harus disertai material fisil seperti U233 atau Pu239 yang diperoleh dari limbah reaktor nuklir konvensional saat ini.
Dengan demikian, reaktor nuklir yang menggunakan thorium dapat dikatakan sebagai “breeder reactor” atau reaktor pembiak. Sebabnya, Th232 yang berada di dalam reaktor nuklir ini akan diubah menjadi U233 oleh neutron yang diproduksi dari bahan bakar fisil sebelumnya (campuran awal dari bahan bakar thorium di awal pengoperasian reaktor), sehingga U233 yang diperoleh dari perubahan thorium tersebut dapat digunakan kembali untuk menghasilkan energi.
Sejarah Reaktor Nuklir Thorium
Teknologi reaktor nuklir berbahan bakar thorium pertama kali digagas oleh Eugene Wigner sejak tahun 1944 dengan menggunakan thorium sebagai bahan bakar fertil dan U233 sebagai bahan bakar fisil. Untuk mengefektifkan penggunaan kedua bahan bakar tersebut, Wigner menggunakan reaktor berbahan bakar cair. Penelitian ini dilanjutkan oleh Alvin Weinberg selaku direktur dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL) sejak tahun 1950. Penelitian ini juga merupakan cikal bakal dari perkembangan teknologi reaktor tipe MSR (Molten Salt Reactor) yang saat ini tengah dikembangkan di berbagai negara.
Energi yang dihasilkan dari 6 kg thorium dalam reaktor berbahan bakan cair mampu memproduksi listrik sebesar 66 GWh listrik dan setara dengan 25.000 metrik ton batubara bitumin. Reaktor tipe MSR ini memang masih terus dikembangkan dan belum dikomersialisasikan, namun prototype dari reaktor ini pernah dibangun pada tahun 1965 untuk tujuan eksperimen.
Selain MSR, reaktor generasi IV lain yang sedang dikembangkan untuk penggunaan thorium sebagai bahan bakar adalah reaktor bertipe HTGR (High Temperature Gas Reactor). HTGR dikembangkan sejak tahun 1950-an dan berhasil prototype pertamanya berhasil beroperasi pada tahun 1963 hingga 1976 di UK untuk tujuan eksperimen yang dikenal dengan nama reaktor DRAGON. Saat ini, Tiongkok adalah salah satu negara yang mengembangkan teknologi HTGR dan telah memiliki prototype reaktor tersebut dalam skala demonstrasi untuk tujuan komersial yang dikenal dengan nama HT10 yang beroperasi sejak tahun 2003. Meski masih menggunakan uranium, para ilmuwan Tiongkok sudah mulai melakukan studi dan penelitian terhadap penggunaan thorium pada reaktor HT10.
Sebenarnya penggunaan thorium pada reaktor bertipe HTGR ini telah lama dilakukan dalam skala eksperimen. Beberapa reaktor di antaranya adalah AVR di Jerman yang beroperasi pada tahun 1967-1988, DRAGON di UK pada tahun 1966-1973, dan Peach Bottom di USA pada tahun 1966-1972. Eksperimen pada reaktor tersebut menggunakan bahan bakar campuran antara thorium dan U235. Namun, program tersebut tidak terlalu berhasil karena biaya operasional yang dibutuhkan masih sangat tinggi dan tidak ekonomis.
Penelitian penggunaan thorium tidak hanya dilakukan pada reaktor generasi IV, reaktor nuklir generasi III+ yang merupakan pengembangan dari reaktor konvensional bertipe LWR (Light Water Reactor) yang ada saat ini juga mengambil peran dalam penelitian ini. Beberapa reaktor di antaranya adalah BWR, PWR dan CANDU.
Pada tahun 1979 hingga 1988 Brazil dan Jerman melakukan kerjasama penggunaan thorium pada reaktor PWR yang dimiliki oleh Brazil, yaitu ANGRA 1. Penggunaan thorium pada ANGRA 1 berhasil didemonstrasikan pada tahun 1986 hingga tahun 1988 saat program kerjasama ini berhenti. Tipe bahan bakar yang digunakan pada ANGRA 1 ini adalah metal oksida berupa (Th-U)O2. Selain ANGRA 1, reaktor nuklir bertipe LWR lainnya yang pernah menggunakan thorium antara lain; Shippingport (PWR) di USA, Indian Point 1 (PWR) di USA, BORAX-IV (BWR) di USA, dan Lingen (BWR) di Jerman dengan rata-rata waktu ujicoba sekitar lima tahun per reaktor.
Di sisi lain, hal yang paling menarik adalah perkembangan penelitian penggunaan thorium pada reaktor bertipe CANDU. Penelitian ini menjadikan CANDU berevolusi menjadi dua jenis reaktor nuklir yang baru, yaitu AHWR (Advance Heavy Water Reactor) yang dikembangkan oleh India dan AFCR (Advance Fuel CANDU Reactor) yang dikembangan oleh Tiongkok. AHWR merupakan pengembangan dari reaktor PHWR yang sudah lama beroperasi di India, sedangkan AFCR merupakan pengembangan dari Qinshan-CANDU yang telah lama beroperasi di Tiongkok.
Saat ini India dan Tiongkok tengah bersaing ketat untuk menjadi pemimpin dalam persaingan teknologi reaktor nuklir berbahan bakar thorium. Namun, mereka tidak sendirian karena nama MSR telah muncul kembali ke permukaan setelah redup di tahun 2000-an. Dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara tiga BUMN Indonesia dan perusahaan ThorCon, maka Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) selalu satu-satunya lembaga pengawas teknologi nuklir di Indonesia juga tengah melakukan banyak kajian terkait teknologi MSR dengan melibatkan ITB sebagai institusi pendidikan yang sangat progresif dalam penelitian teknologi MSR ini.
Bahan bacaan:
- http://neutronbytes.com/2015/12/06/indonesia-and-thorcon-to-develop-thorium-msr/
- http://www.world-nuclear.org/information-library/current-and-future-generation/thorium.aspx
Penulis:
Indarta Kuncoro Aji, peneliti di Laboratorium Fisika Reaktor Nuklir, Institut Teknologi Bandung.
Kontak: indartaaji(at)gmail.com.