Belakangan ini fenomena MOS (Masa Orientasi Sekolah) menjadi sorotan publik dan menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat. MOS yang semestinya dijadikan instrumen internalisasi nilai-nilai keadaban dan pentingnya orientasi kependidikan malah terdistorsi menjadi ruang perpeloncoan yang disertai kekerasan fisik dan psikis.
Kegiatan MOS berlangsung saat memasuki tahun ajaran baru. Setiap peserta MOS oleh kakak kelasnya didandani dengan barang-barang yang akan memberikan efek malu. Misalnya para siswa baru mengenakan pita rambut dari tali rafia, membungkus kedua kakinya dengan sepasang kaos kaki yang berbeda warnanya. Mereka digiring dan disuruh berlari, jongkok dan diberi hukuman bagi yang melanggar peraturan.
Kekerasan psikis juga kerap dirasakan peserta MOS, misalnya dengan cara dibentak, dihina, dan ditunjuk-tunjuk. Tak ayal siswa baru dinobatkan sebagai pihak tertindas yang wajib taat terhadap mandat kakak kelasnya. Ragam perpeloncoan dengan berbagai rupa bentuknya harus diikuti dengan perasaan terpaksa. Kegiatan yang nun jauh dari nilai-nilai edukasi yang serta merta menguras tenaga, pikiran dan bahkan uang benar-benar harus ditelan pahit-pahit oleh para siswa baru. Miris memang baru saja menyandang siswa baru, mereka harus menerima perilaku kekerasan.
Secara psikologis, tradisi kekerasan dan perpeloncoan berdampak buruk bagi perkembangan karakter siswa. Terlebih yang paling mengkhawatirkan kekerasan dan perpeloncoan diterima sebagai “warisan budaya” (yang kini tidak sedikit sudah merenggut nyawa) justru dijadikan ajang balas dendam oleh mereka (siswa baru) di tahun berikutnya. Buruknya implementasi MOS ditanggapi serius oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan mengeluarkan peraturan pemerintah (permen) yang intinya mengatur mengenai masa orientasi siswa (MOS) atau OSPEK agar dilakukan dengan tata cara yang tidak menimbulkan kekerasan dalam bentuk apa pun.
Peraturan pemerintah sejatinya direspon positif oleh penyelenggara pendidikan dengan solusi dan aksi nyata. Dengan demikian, ke depannya implementasi MOS fokus mengarahkan siswa baru pada pengenalan lingkungan sekolah dan proses belajar yang baik tanpa ada sedikitpun intimidasi dan kekerasan baik dari panitia penyelenggara MOS maupun kakak kelasnya.
Belajar Dari Pesantren
Lemahnya sistem pengawasan dari pihak sekolah dan guru merupakan indikasi sebab terjadinya penyimpangan kegiatan MOS. Menyikapi fenomena buruknya implementasi MOS di sebagian lembaga pendidikan kita, ada baiknya jika kita berkaca pada pelaksanaan Masa Orientasi Siswa di lembaga pendidikan pesantren. Meskipun istilah MOS tidak digunakan di lembaga tersebut, tetapi dari sejak pelaksanaan penerimaan siswa (santri) baru hingga masa orientasi santri berakhir kerap dilayani dengan santun dan sarat dengan nilai-nilai edukatif.
Pertama, saat santri mendaftarkan diri sebagai calon santri baru lazimnya para pengurus atau santri-santri senior atas bimbingan para guru segera mengantarkan mereka dengan mengenalkan lingkungan pesantren. Mereka diajak melihat asrama, ruang kelas, dan berbagai kegiatan akademik dan ekstrakurikuler. Komunikasi antara santri baru dan kakak kelasnya bersifat mengayomi, ramah dan penuh persaudaraan.
Kedua, saat peserta didik usai mengikuti ujian dan resmi diterima (lulus) di pondok pesantren. Para santri baru itu segera disambut dengan gembira oleh para santri senior yang menjabat sebagai pengurus organisasi santri. Mereka diantarkan ke asramanya masing-masing. Di setiap asrama para santri baru diberi keterampilan akademik dan ekstrakurikuler, misalnya latihan berbahasa Arab dan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengembangan minat dan bakat santri.
Ketiga, selama masa orientasi pesantren, santri tidak mengunakan atribut-atribut seperti umumnya pelaksanakan MOS di sekolah umum. Para santri hanya mengenakan seragam sekolah. Pelaksanaan masa orientasi pesantren pada umumnya disebut Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy, yaitu ceramah yang langsung disampaikan oleh pimpinan pondok (kiai) tentang sejarah berdirinya pondok, sistem pendidikan pesantren, kegiatan-kegiatan organisasi pesantren dan orientasi tujuan santri belajar di pondok.
Keempat, puncak kegiatan masa orientasi pesantren atau penutupan pelaksanaan pekan Khutbatul Arsy dimeriahkan dengan kegiatan Pagelaran Malam Seni Santri. Kegiatan tersebut digelar untuk memperkenalkan seni dan budaya daerah para santri baru yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, kegiatan seni budaya ini menunjukkan bahwa keberagaman budaya atau multi kultural menjadi perekat sebagai bangsa yang menganut falsafah Bhineka Tunggal Ika.
MOS atau OSPEK dan atau apa pun namanya harus berorientasi kepada tujuan pendidikan yakni menciptakan peserta didik yang bertakwa, mandiri dan kreatif. Pondok pesantren dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan buat penyelenggara pendidikan dalam upaya menumbuhkan pendidikan karakter dan akhlak. Sebabnya, pondok pesantren juga lembaga pendidikan yang ada di Indonesia.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Koran Radar Banten dan dimuat ulang di Majalah 1000guru dengan beberapa perubahan.
Penulis:
Yudi Nurhadi, Ketua Minat dan Bakat Ponpes Manahijussadat, Serdang Lebak, Banten.