Rumah Sakit Apung

Masih segar dalam ingatan dr. Lie A. Dharmawan, PhD., saat melakukan operasi bedah di pulau Kei, Maluku Tenggara, seorang ibu membawa anak perempuannya yang berusia 9 tahun dalam keadaan usus yang terjepit. Setelah 6-8 jam waktu operasi, anak itu akhirnya dinyatakan sembuh dan bisa kembali bermain seperti sediakala. Peristiwa inilah yang kemudian membuat pria 67 tahun ini membuat Rumah Sakit Bergerak atau Rumah Sakit Apung di atas sebuah kapal.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004, tercatat jumlah pulau di Indonesia ada sekitar 17.504 pulau. Dengan keadaan geografis seperti itu, Indonesia memerlukan sebuah sistem pelayanan medis yang memadai untuk warga Indonesia prasejahtera yang berada di pulau-pulau terpencil.

Di atas sebuah kapal barang berjenis pinisi yang dibeli pada tahun 2012, dr. Lie pertama kali mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA). Kapal barang yang dapat memuat beban hingga 250 ton ini memiliki tinggi 4,4 meter yang terdiri dari dua tingkat: (1) tingkat dasar digunakan untuk ruang Roentgen, EKG, USG, dan laboratorium, (2) tingkat atas digunakan untuk ruang bedah, resusitasi, ruang diskusi dokter, dan ruang serbaguna.

Operasi bedah mayor di pulau Kei di atas kapal.
Operasi bedah mayor di pulau Kei di atas kapal.

Setelah melalui beberapa proses perombakan, pada tanggal 16 Maret 2013, RSA ini melakukan uji coba pelayanan medis perdananya di kepulauan Seribu. Selanjutnya, RSA ini diresmikan pada tanggal 6 Juni 2013. Mari kita lihat profil lengkap dan spesifikasi RSA dr. Lie Dharmawan.

Profil dan spesifikasi lengkap KLM RSA dr. Lie Dharmawan.
Profil dan spesifikasi lengkap KLM RSA dr. Lie Dharmawan.

Sejak pertama kali diresmikan oleh Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan, RSA ini telah melakukan lebih dari 60 kali operasi mayor dan 117 kali bedah minor, serta merawat 1630 pasien umum tanpa memungut bayaran apapun. Pelayanan kesehatan RSA ini didukung oleh tim dokter sebanyak 25 orang dan tim relawan 25 orang.Dalam sehari, dr. Lie beserta timnya dapat melakukan operasi sebanyak 3 kali di atas kapal. Walaupun sesekali kapal menjadi tidak stabil karena ombak yang besar, hingga saat ini mereka tetap sukses melakukan operasi dengan tingkat keberhasilan 100%, sempurna.

Beberapa kendala yang kerap kali ditemui dalam pelayaran RSA ini salah satunya ialah kecepatan kapal yang hanya 6-7 knot (~11-13 km/jam), cukup lambat jika dibandingkan dengan speed boat dan peralatan yang belum dapat dioperasikan seperti alat roentgen. Masalah-masalah ini tentu menjadi serius ketika berhadapan langsung dengan daerah-daerah terpencil karena dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai pelayanan kesehatan yang diberikan tentunyamenjadi jauh lebih minimal.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, setelah melakukan persinggahan perdana di suatu tempat, biasanya mereka memberikan penyuluhan dan sarana dan prasarana kesehatan untuk tenaga medis setempat, sehingga dokter setempat diharapkan dapat menjadi ujung tombak dari pasien-pasien yang butuh pelayanan kesehatan. Dengan demikian, diharapkan tim doctorSHARE bisa melanjutkan persinggahan ke tempat lainnya. Sebagai contoh, di pulau Kei, tim doctorSHARE mendirikan home base dengan nama Therapeutic Feeding Center KAI.

Latar belakang dr. Lie Dharmawan berasal dari keluarga yang tidak mampu, anak ke-4 dari 7 bersaudara ini telah ditinggal almarhum ayahnya pada usia 10 tahun. Sejak saat itu, ibu dr. Lie melakukan segala upaya untuk menghidupi anak-anaknya, upah sebagai buruh cuci pun dilakukan demi menjaga cita-cita anaknya yang ingin menjadi dokter. Sempat ditolak oleh beberapa universitas karena kekurangan biaya, dr. Lie muda berhasil memperoleh kesempatan belajar di Jerman dan menetap selama 18 tahun.

Setelah pulang ke Indonesia, dr. Lie mengabdikan dirinya untuk melakukan pelayanan kesehatan di Indonesia. Dengan biaya pendidikan dokter yang demikian tinggi, menyebabkan para dokter berpikir bagaimana caranya mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan selama menempuh pendidikan sebagai dokter. Apabila hal ini terus berlanjut, masih layakkah pemerintah membebankan biaya pendidikan yang tinggi kepada calon-calon dokter Indonesia?

Pengabdian yang tidak berorientasi pada perolehan materi, ketika profesi dokter dicibir sebagai ladang pengeruk kekayaan, ketika rakyat menganggap orang miskin dilarang sakit, maka ketika ada seorang dokter yang rela mengabdikan hidupnya untuk kesehatan masyarakat terpinggirkan, kita menitikkan air mata. Semoga pengabdian tulus beliau dan rekan-rekannya dapat menginspirasi dokter-dokter muda generasi penerus Indonesia. Demikian pula kita bisa belajar bahwa keberadaan teknologi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan masyarakat lebih luas.

Home base doctorSHARE di pulau Kei besar, Therapeutic Feeding Center KAI.
Home base doctorSHARE di pulau Kei besar, Therapeutic Feeding Center KAI.

Bahan bacaan:

Penulis:

  1. Christ Hally Santoso, anggota tim doctorSHARE, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia.
  2. Fran Kurnia, mahasiswa S3 di University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia.
    Kontak: fran.kurnia(at)yahoo(dot)com.
Back To Top