Supremasi Hukum Persaingan Usaha

Hukum persaingan usaha di Indonesia dewasa ini belum sepenuhnya dapat diaplikasikan dengan baik. Sejatinya, hukum persaingan usaha sangat penting untuk melindungi usaha kecil dan menengah yang ditengarai selama ini sebagai motor penggerak ekonomi mikro Indonesia yang mampu bertahan di tengah badai krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997-1998. Becermin dari hukum tentang kompetisi usaha di tatanan Uni Eropa dan Jerman, Indonesia bisa memetik pelajaran dan diharapkan akan mampu terus mendorong sehatnya iklim bisnis dan persaingan usaha di Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terpacu.

Apa yang terjadi jika sistem monopoli terus berjalan tanpa kendali? Jawabannya, kebanyakan dari kita (baca: para konsumen) merugi. Mengapa? Dengan sistem monopoli, perusahaan dapat menaikkan harga dengan membatasi jumlah keluaran produksi. Persaingan bisnis dan usaha memerlukan peraturan yang ketat dari pemerintah agar dapat berjalan secara adil untuk semua pihak. Faktanya, dalam analisis ekonomi terdapat beberapa bentuk usaha dalam struktur pasar yang tidak menyokong terbentuknya persaingan usaha yang sehat dan justru berpotensi memangkas bisnis atau usaha dari pihak lain. Inilah yang disebut dengan praktik monopoli, bentuk usaha yang anti-kompetisi.

Pemberlakuan hukum kompetisi di beberapa negara maju telah berjalan sangat progresif, misalnya Sherman Act di Amerika Serikat yang telah mengatur antitrust policy sejak tahun 1890. Di luar negeri Paman Sam, hukum kompetisi (competition law) kawasan Uni Eropa menjadi hukum primer yang harus ditaati semua anggotanya. Artinya, jika terdapat hukum usaha yang bertentangan dengan hukum kompetisi UniEropa, hukum UniEropa-lah yang menjadi acuan utama. Di negara Jerman, kesadaran akan pentingnya hukum pembatasan kompetisi (dalam bahasa Jerman disebut Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen, selanjutnya disingkat GWB), tumbuh subur setelah Perang Dunia II.

Sebagaimana di berbagai negara lainnya, hukum bisnis GWB berkembang seiring tumbuh suburnya industrialisasi. Hukum tersebut makin dirasa penting pada masa Nationalsozialismus (NAZI) berkeyakinan bahwa ekonomi harus terus berjalan dalam keadaan perang, hingga berlanjut pada tahun 1933 melalui Zwangskartellgesetz dan di 1942 menjadi Marktaufsichtverordnung. Perjuangan juga diwujudkan lewat hukum memerangi kartel, Dekartellierungsgesetze di tahun 1947 yang membebaskan kompetisi di Jerman. Pada tahun 1958, GWB menjadi hukum persaingan usaha di Jerman hingga saat ini.

Bagaimana di Indonesia? Di era Soeharto, undang-undang mengenai hukum persaingan usaha tidak mendapatkan tempat karena berpotensi mematikan usaha-usaha yang dijalankan kroni Soeharto. Bisnis yang dijalankan bukan dengan merit system melainkan berdasarkan pada konsesi dan privilege dari rezim Soeharto semata. Pasca-reformasi, upaya penggodokan undang-undang persaingan usaha mulai digagas. Menilik konstelasi hukum bisnis di dunia internasional yang demikian ketat, suatu keharusan bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang bergaul dalam etika bisnis internasional untuk memiliki kode etik usaha yang jelas. Akhirnya, pada tahun 1999,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diterbitkan. Langkah berikutnya bagi Indonesia menghadapi perdagangan bebas di masa mendatang adalah mengharmonisasikan hukum yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antarbangsa sebagaimana kesepakatan Final Act Uruguay Round yang menjadi acuan dari pembentukan World Trade Organization (WTO).

Hukum kompetisi berupaya untuk memproteksi pelaku usaha dari praktek-praktek yang merugikan pelaku usaha lain dan konsumen. Namun demikian, supremasi hukum persaingan usaha tersebut masih memerlukan sosialisasi dan kajian mendalam tentang haluan jelasnya. Antitrust policy di Amerika berpegang teguh pada proteksi pelaku usaha dari praktek monopoli, sementara GWB di Jerman dirancang untuk melindungi bisnis kecil dan menengah serta hukum kompetisi di Uni Eropa dibuat untuk melindungi konsumendari perilaku anti kompetisi. Belajar dari kekuatan hukum di wilayah-wilayah negara maju tersebut, hukum persaingan usaha di Indonesia harus pula memiliki garis besar haluannya sendiri yang pada akhirnya mampu menjadi pelindung bagi pelaku usaha sekaligus bagi konsumen. Refleksi hukum dan ekonomi dari Uni Eropa dan Jerman mungkin dapat menjadi pelajaran tersendiri bagi hukum persaingan usaha di Indonesia yang terbilang masih muda.

Belajar dari Hukum Kompetisi Uni Eropa dan GWB di Jerman

Belajar dan becermin dari negara yang telah sukses dalam supremasi hukum menjadi wajar demi mencapai keberhasilan aplikasi hukum, namun dengan tetap menganalisa kondisi lokal yang ada di Indonesia dan merasionalisasi dengan arif tanpa mencangkok secara membabi buta. Kajian mendalam di lini ekonomi mutlak dibutuhkan agar penerapan hukum tersebut tidak menjadi sia-sia. Harus diakui bahwa budaya bisnis di masa lalu masih cukup dominan dan menjadi penghalang signifikan bagi tumbuh kembangnya iklim bisnis yang sehat di Indonesia. Inilah salah satu penyumbat supremasi hukum persaingan usaha yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama dalam hukum kompetisi Uni Eropa. Agenda dasar dalam TFEU dan EC 139/2004 memiliki empat pilar kebijakan. Pertama adalah kebijakan mengenai kartel, kontrol kolusi dan praktik-praktik antikompetisi, diatur dalam TFEU artikel 101. Pilar kedua adalah pengaturan pasar dominan, diatur dalam artikel 102 TFEU. Pilar ketiga adalah pengaturan mengenai merger, akuisisi dan joint venture yang melibatkan perusahaan yang memiliki market share yang signifikan jumlahnya, diatur dalam 139/2004 EC. Pilar terakhir tentang sejauh mana bantuan negara terhadap perusahaan di lingkup negaranya mendapatkan toleransi dalam hukum Uni Eropa, tertuang dalam artikel 107 TFEU.

Perusahaan yang dalam istilah Uni Eropa disebut undertaking memiliki definisi setiap unit atau entitas yang melakukan aktivitas ekonomi (terkecuali unit yang melakukan aktivitas sosial). Klaim terhadap perusahaan tersebut tidak harus menemukan perjanjian tertulis antar dua perusahaan jika terjadi kejanggalan (gentleman agreement). Namun, Komisi Eropa berhak menginvestigasi perusahaan yang diduga melakukan kolusi untuk mengakali harga. Jadi dalam hal ini, jika terdapat dua perusahaan yang berbeda dan tidak melakukan komunikasi sama sekali namun memiliki kesamaan harga jual produk seolah mereka mengadakan komunikasi untuk berkolusi, pihak EC (European Commission)atau ECJ (European Court Justice) berhak melakukan investigasi untuk menelusurinya.

Mengapa perusahaan yang berkolusi dapat membahayakan kesejahteraan konsumen?

Kembali pada asumsi awal, kolusi berpotensi memunculkan sistem monopoli yang merugikan pembeli. Beberapa faktor yang dapat membangun kolusi sebagaimana digarisbawahi oleh Waldman dan Jensen (2012) antara lain penghalang yang menjulang tinggi untuk memasuki struktur pasar (high entry barriers), jumlah perusahaan yang sedikit (small number of firms), tidak ada pembedaan produk (no product differentiation), elastisitas permintaan yang rendah (low elasticity of demand), frekuensi penjualan yang rendah (low frequency of sales), konsentrasi perusahaan yang tinggi (high concentration), ongkos yang sama bagi semua perusahaan (identical costs for all firms), pertumbuhan teknologi yang lamban (slow rate of technological advance) dan pertumbuhan permintaan yang steady (steady rate of demand growth).

High entry barrier merupakan wujud upaya menghalangi pelaku usaha yang akan memasuki suatu bisnis, seperti melakukan pembatasan harga (limit pricing), predatory pricing, membuat output berlebih (creating excess capacity), menaikkan ongkos rival (seperti misalnya dengan cara melakukan lobby terhadap pemerintah untuk menghalang-halangi pelaku usaha baru, menggalakkan iklan hingga melakukan sabotase), memproduksi beragam macam barang sehingga kebutuhan konsumen hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan tersebut hingga menutup akses untuk munculnya perusahaan lain (product proliferation).

Tujuan utama berbagai upaya di atas adalah menjadi pelaku usaha paling dominan sehingga mampu mereguk laba jangka panjang tanpa memiliki saingan. Dalam limit pricing dan predatory pricing, perusahaan dominan akan menjatuhkan harga agar perusahaan yang baru masuk tidak mendapatkan pasar dan bangkrut karena tidak mendapatkan konsumen dan tidak mampu menanggulangi ongkos produksi di bawah standar. Usaha-usaha baruhanya akan tersingkir dari kompetisi usaha yang telah dikuasai perusahaan dominan tersebut.

Kajian ekonomi perlu diangkat untuk menyelidiki apakah suatu perusahaan berlaku dominan dalam kepemilikan market share. Secara ekonomi, kita bisa menggunakan CR (Concentration Ratio)atau HHI (Herfindahl Hirschman Index) untuk menentukan skala dominasi perusahaan dalam bisnis sejenis atau untuk menghitungmaraknya pasar yang dikuasai. Dalam hukum kompetisi, perusahaan dapat disebut dominan melalui kajian para ekonom atau melalui jurisprudensi.

Dalam GWB, penetapan dominasi perusahaan telah diatur dengan jelas. Misalnya, jika perusahaan memiliki market share setidaknya 40% (amandemen terbaru) dari total 100% struktur pasar. Hal ini penting dikaji karena perusahaan berpotensi monopolis bila memiliki posisi dominan dalam suatu pasar. Perusahaan itu akan leluasa mengatur harga jual produknya hingga jauh melampaui ongkos pembuatannya (marginal cost) yang berdampak pada tersedotnya kesejahteraan konsumen. Monopoli memproduksi terlalu sedikit unit barang yang dibutuhkan masyarakat dan lantas menjual dengan harga tinggi. Pada pasar persaingan sempurna, harga dipatok sama dengan marginal cost. Pada sistem monopoli, selalu ada upaya memaksimalkan profit dengan menyamakan ongkos pembuatan marjinal dengan pendapatan marjinal (marginal cost serupa marginal revenue).

Bagaimana dengan merger? Apakah merger membutuhkan aturan hukum karena bukankah setiap pelaku bisnis berhak melakukannya? Merger atau penggabungan dilakukan pelaku bisnis dengan berbagai alasan, mulai dari sebagai ajang menangguk kekuatan pasar, alasan efisiensi, hingga mengurangi risiko terkait kebangkrutan. Contoh kasus, pemilik perusahaan yang sudah tua atau akan segera meninggal sehingga ingin perusahaannya ditangani oleh para profesional di perusahaan lain dan lantas menciptakan ajang membangun kerajaan bisnis. Oleh karena efek merger yang acap menurunkan kesejahteraan konsumen, merger diatur dalam hukum. Dengan merger, perusahaan dapat mereduksi ongkos produksi (cost) namun kuantitas outcome menjadi berkurang dan harga melambung tinggi.

Manfaat apa dari hukum kompetisi yang dapat dipetik dari beragam kondisi pasar dan bisnis yang ada? Bagi GWB, hal tersebut jelas sebagai alat pelindung persaingan usaha nasional dan pelindung bagi bisnis skala kecil serta menengah. Hukum kompetisi juga bermanfaat untuk perusahaan atau organisasi yang merasa dirugikan oleh tindak monopoli atau tindakan yang mengabaikan antitrust policy, lalu mengadukan ke lembaga hukum yang berwenang. Hukum kompetisi juga dapat digunakan untuk melindungi pelaku usaha dari perilaku pelaku usaha lain yang tidak efisien secara ekonomis atau secara sosial tidak diinginkan; mencegah industri yang menggunakan jalan tidak etis untuk meraup untung; mencegah kemunculan bisnis yang monopolis dimana mereka biasanya mengurangi kuantitas barang dan menaikkan harga; membuat standar spesifik etika dalam berbisnis antar perusahaan dengan tetap beracuan pada kepentingan konsumensebagai prioritas utama.

Dalam artikel 101 TFEU nomor 2 dan 3, kekecualian diberlakukan bagi sektor publik yang manfaatnya sangat dominan bagi keberlangsungan hidup masyarakat luas seperti misalnya gas, listrik, telekomunikasi, transportasi, kemajuan teknologi dan sebagainya, selama masih tidak mencederai semangat kompetisi satu dan lainnya.

Data dan Analisis

Tolak ukur dari kesejahteraan konsumen adalah tatkala konsumen bersedia membayar suatu produk pada harga X, tetapi faktanya harga produk tersebut di pasaran adalah di bawah X. Hal tersebut bisa diklaim sebagai surplus bagi konsumen. Di sisi lain, ada juga yang dinamakan surplus bagi produsen. Kondisi tersebut terjadi bila produsen bersedia untuk menjual pada harga X namun faktanya harga produk di pasaran adalah di atas X sehingga produsen mendapatkan keuntungan.

Ed23-sosbud-1

Pada grafik di atas, harga produk di pasar persaingan sempurna ditunjukkan oleh simbol Po yang juga merupakan titik equilibrium antara permintaan (D) dan penawaran (S). Dalam grafik ini surplus produsen mencakup wilayah PS0, E, dan Po. Produsen bersedia untuk menjual produknya di harga PS0, tetapi harga di pasaran adalah Po sehingga produsen mendapatkan keuntungan. Di pihak lain, surplus konsumen mencakup wilayah Po, E dan PD0. Konsumen bersedia membayar produk di titik harga PD0 namun faktanya harga produk di pasaran adalah Po sehingga konsumen mendapatkan surplus. Dalam pasar persaingan sempurna, antara produsen dan konsumen sama-sama menikmati surplus yang imbang. Lain halnya dengan struktur pasar monopoli berikut ini.

Ed23-sosbud-2

Grafik di atas menunjukan harga produk di pasar monopoli (PM) yang melampaui harga pasar persaingan sempurna (PC) dan kuantitas produk yang dihasilkan di pasar monopoli yang menjadi lebih sedikit (Qmon) dibandingkan kuantitas produk yang dihasilkan di pasar persaingan sempurna (Qcomp). Hal tersebut mengakibatkan surplus konsumen di bawah monopoli menjadi lebih sempit dan sedikit sedangkan surplus produsen menjadi lebih luas. Grafik di atas juga menunjukkan sistem monopoli menghasilkan area berwarna biru tua yang disebut deadweight loss yang sebelumnya tidak ditemui pada grafik sebelumnya. Deadweight loss merupakan kerugian secara umum.

Penutup

Kemunculan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan suatu titik awal keberhasilan sebuah refleksi menuju sehatnya kompetisi usaha di Indonesia. Iklim bisnis yang diproteksi dari monopoli atau perusahaan yang anti-kompetisi niscaya mampu menstimulus perusahaan-perusahaan menengah dan mikro berpartisipasi membangun usaha demi mendukung laju ekonomi dan penguatan bisnis di Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah pengawasan ketat dari pemerintah dalam pendampingan perkembangan bisnis dengan perangkat hukum yang mampu bertindak secara adil.

Penulis:
Tsany Ratna Dewi, Magister Public Economics, Law and Politics, Universität Leuphana, Lüneburg, Jerman.
Kontak : tsany(dot)trd(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top