Kalian Dengarkah Keluhanku?

Itulah sebuah judul lagu karya maestro musik balada Indonesia, Ebiet G Ade. Tulisan ini tidak akan membahas tentang lagu tersebut, melainkan akan menanyakan sebuah kondisi yang hendaknya bisa dipahami secara mendalam oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan tentang kondisi riil yang masih terjadi pada sebagaian besar wilayah Indonesia.

Kalian dengarkah keluhanku? Itulah yang mungkin perlu kita pertanyakan kepada jajaran para pemangku otoritas proyek peradaban (pendidikan) agar tidak serta merta memaksakan sebuah kebijakan yang kemungkinan memberikan dampak negatif yang lebih besar kepada seluruh pelaksana pendidikan dibandingkan dengan dampak positifnya. Memang perubahan itu sangat diperlukan, tetapi tentunya juga harus mempertimbangkan segala aspek yang terlibat didalamnya.

Saat ini, ada satu kebijakan yang sangat penting akan diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia, yaitu kurikulum baru 2013. Meskipun banyak menuai kontroversi, sepertinya kurikulum tersebut akan tetap diimplementasikan mulai tahun ajaran baru 2013/2014. Di sini, penulis tidak membedah tentang kurikulum itu sendiri, tetapi hanya sekedar melihat sisi para pelaksana kurikulum di lapangan, yaitu para guru khususnya yang berada didaerah yang mungkin kurang mendapat pantauan langsung dari para pengambil kebijakan.

Tulisan ini berangkat dari hasil diskusi langsung dengan para guru yang saat itu juga masih kesulitan mengimplementasikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di sekolah karena minimnya sarana dan prasarana pendidikan yang bisa menunjang pelaksanaan KTSP secara utuh seperti yang digariskan. Saat itu, penulis berkesempatan langsung mengunjungi beberapa sekolah menengah pertama (SMP) di pedalaman Kabupaten Yapen Waropen, Papua Barat, beberapa SMP di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, SMP di daerah perbatasan Malaysia di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dan salah satu SMP di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Dalam kesempatan tatap muka langsung dengan pelaksana pendidikan (guru, kepala sekolah, bahkan dinas pendidikan di tingkat kabupaten) dan juga observasi dadakan di dalam kelas, terpampang jelas bagaimana mereka menerapkan pola pembelajaran yang masih sama seperti saat penulis menimba ilmu di SD, SMP, SMA pada era 80-90an walaupun saat itu sudah menerapkan kurikulum KTSP. Proses pembelajaran dimana guru menerangkan di depan kelas dan siswa mendengarkan dan mencatat tentang materi yang diberikan guru.

Saat itu, walaupun pola pembelajaran yang digariskan dalam kurikulum KTSP sangat tegas menekankan siswa lebih aktif, tetapi kenyataan di banyak sekolah yang penulis jumpai, hampir tidak ada perubahan. Selepas observasi, penulis mengajak diskusi dengan para guru tentang kendala yang ditemui sehingga tetap menggunakan pola pembelajaran “tradisional”. Untuk itulah, dalam tulisan ini, penulis mencoba menyuarakan kata hati para guru di sekolah yang secara jujur mengatakan bahwa apapun kurikulum yang diterapkan oleh Kementerian, tetapi nampaknya mereka akan tetap menerapkan pola pembelajaran yang satu arah yaitu dari guru ke murid.

Kalian dengarkah keluhanku? mungkin itulah yang saat ini diutarakan oleh sebagian besar guru di tanah air akan kebijakan kurikulum baru 2013. Terlepas dari tuntutan jaman yang memaksa materi pelajaran harus ada penambahan, perubahan kurikulum memang sebaiknya melihat secara mendalam tingkat keberhasilan dan kelemahan kurikulum yang sedang dilaksanakan saat ini. Hasil dari studi pelaksanaan kurikulum yang tengah berjalan, seharusnya ditelaah secara bersama dan komprehensif oleh guru dan pengambil kebijakan agar para guru juga mengetahui dan memahami kelemahan dan kekurangan dari kurikulum yang ada terhadap hasil proses pembelajaran secara keseluruhan. Ketika guru hanya dijadikan alat untuk membawa proses seperti apa yang dimaui oleh para pengambil kebijakan pendidikan, yang terjadi justru seolah-olah suara guru tidak didengarkan sama sekali.

Kalian dengarkah keluhanku? ketika sebagaian besar guru masih dihadapkan dengan proses adaptasi dari implementasi kurikulum yang saat ini diterapkan karena tingginya keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, para guru masih harus “dipaksa” untuk mengubah kembali proses belajar dan muatan sesuai dengan tuntutan baru yang ada pada kurikulum baru 2013. Ketika sebagian guru yang merupakan generasi yang terlahir sebelum era teknologi informasi, yang masih gagap dalam menggunakan piranti komputer yang akan digunakan dalam membantu proses belajar mengajar, kini harus dihadapkan lagi dengan adaptasi merangkum materi pelajaran dan mengaitkannya dengan materi lain yang harus dimasukkan dalam kompetensi tersebut.

Para guru besar, pakar pendidikan, dan juga pemikir serta pemerhati pendidikan yang menyusun kebijakan pendidikan, berilah guru ruang untuk sedikit bernafas dan mengembangkan imaji mereka untuk sedikit banyak mengeksplorasi semua kemampuan yang dimilikinya. Berilah otonomi penuh kepada para guru untuk bekerja sesuai dengan kondisi keterbatasan segala fasilitas yang ada ditempat mereka mengajar, serta juga sesuai dengan kondisi putra-putri daerah yang memang terlahir ditengah keterbatasan dan keterbelakangan.

Tidak seperti generasi yang terlahir di kota besar seperti Jakarta dan di tengah keluarga yang berkecukupan, para guru ini pasti mengerti tanggung jawabnya untuk memajukan dunia pendidikan secara keseluruhan. Karena pada dasarnya mereka semua juga ingin maju dan berubah dengan kehidupan yang lebih baik melalui pendidikan. Namun, janganlah daya juang dan semangat itu justru akan terkungkung akibat dari kebijakan yang dipaksakan tanpa adanya pemenuhan fasilitas yang sangat diharapkan oleh mereka untuk menunjang proses yang mereka lakukan.

Ketika kebijakan proses pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI) diterapkan, para guru di daerah yang belum tersentuh oleh jaringan internet sudah kepayahan untuk menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK. Kondisi ini terlihat dari banyaknya fasilitas komputer yang dikirimkan ke sekolah untuk menunjang program tersebut, namun semuanya hanya menjadi “hiasan” sekolah karena jaringan listrik maupun internet belum sama sekali menyentuh lokasi sekolah. Sungguh ironi yang menyebabkan para guru hampir putus asa dengan kebijakan yang diambil oleh Kementerian karena nampaknya tolok ukur pengambilan kebijakan pendidikan hanya menggunakan parameter keberhasilan di kota besar dan khususnya di Jawa. Untuk menambah imaji bagaimana kondisi riil sekolah, di sini akan ditampilkan gambar ruang laboratorium dan perpustakaan seadanya di salah satu SMP Negeri di Provinsi Sulawesi Selatan.

Penulis yakin bahwa para guru dan pengelola sekolah dan juga peserta didik yang ada di daerah tidak pernah menuntut untuk meminta sekolahnya diperbaiki dan ditambah fasilitas layaknya sekolah di Jakarta. Mereka tidak pernah memimpikan adanya internet yang dapat diakses sedemikian cepat di sekolah. Mereka hanya ingin para pengambil kebijakan, yang notabene adalah para guru besar, sekali waktu pernah mengajar didalam kelas di sekolah mereka yang sangat minim akan fasilitas teknologi bahkan minim buku pegangan. Mereka hanya ingin berbagi dengan para pemikir tentang bagaimana rasanya mengajar dalam segala keterbatasan.

Situasi perpustakaan.
Situasi perpustakaan.

Dengan mengalami secara langsung bagaimana mengajar di tempat yang serba apa adanya, diharapkan para pengambil kebijakan bisa memberikan contoh secara langsung bagaimana menerapkan rancangan kurikulum yang mereka susun sendiri, diterapkan di dalam kelas yang apa adanya, tanpa ada alat laboratorium yang memadai, tanpa ada IT seperti yang digembar-gemborkan bisa mendongkrak proses pembelajaran. Cobalah melihat lebih dekat, pasti engkau akan merasakan bagaimana susahnya mengajar dengan segala keterbatasan seperti yang terpampang dalam dua gambar dibawah ini. Kondisi laboratorium IPA yang tidak layak dan juga perpustakaan yang seadanya tanpa adanya buku yang memadai baik dalam jumlah maupun ragamnya.

Laboratorium IPA.
Laboratorium IPA.

Saat ini, tanpa itu semua, mereka sudah berusaha semampu mereka untuk mencari cara agar siswanya yang rata-rata berangkat dari keluarga kurang mampu, bisa memahami materi sekaligus mengejar angka kelulusan seperti yang selalu ditargetkan oleh para pengambil kebijakan sebagai acuan kualitas pendidikan. Mereka tidak pernah menuntut lebih banyak ragam fasilitas, tetapi mereka memohon untuk tidak dihakimi sebagai sekolah kelas GUREM dengan yang namanya akreditasi. Akreditasi yang hanya akan memberikan label bahwa sekolah mereka kurang layak karena keterbatasan fasilitas yang ada, justru akan membuat mereka seolah semakin dikucilkan. Padahal sekolah mereka adalah sekolah negeri yang notabene adalah kewajiban Pemerintah untuk memenuhi segala fasilitasnya agar terjadi keseragaman. Itulah mungkin kondisi gambaran sekolah negeri yang minim fasilitas yang hanya divonis GUREM oleh badan akreditas tanpa diobati oleh pemiliknya sendiri (Pemerintah).

Beradu argumen tentang kurikulum baru hanya akan menghabiskan energi. Biarlah kurikulum itu tetap ada, toh para guru yang akan mengimplementasikannya. Jika para pemikir dan pengambil kebijakan tidak peduli secara langsung kepada kondisi guru, mengapa guru harus mempedulikan apa yang mereka buat dan guncingkan. Akan lebih baik kalau para guru secara bersama mendidik anak-anak negeri dengan hati, dengan sebenar-benarnya menanamkan nilai-nilai luhur, yaitu nilai yang tidak hanya dipasung dalam angka matematika, tetapi nilai yang jauh lebih mulia yaitu nilai-nilai universal seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, dan amanah, yang sebenarnya adalah tujuan utama pendidikan.

Manusia terdidik tidak bisa dijustifikasi hanya dengan nilai kuantitatif semata dari segi pencapaian gelar pendidikan pada jenjang tertentu seperti sarjana, master, ataupun doktor, tetapi lebih kepada kebermanfaatnnya kepada umat manusia. Manusia yang sudah mencapai gelar tertinggi sebuah jenjang pendidikan belum bisa dipastikan sebagai manusia terdidik jika menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk mengakali dan bertindak negatif seperti korupsi, kolusi maupun nepotisme. Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari sikap yang demikian. Amin.

Penulis:
Agung Premono, Dosen Jurusan Teknik Mesin, Universitas Negeri Jakarta.
Kontak: agungpremono(at)yahoo(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top