Proteksi Diri Kita dan Keluarga Menghadapi Maraknya Perzinaan

Dewasa ini, masyarakat Indonesia telah mengalami banyak perubahan dalam berbagai bidang. Perubahan tersebut ada yang yang menuju perbaikan, ada pula yang membawa “kemunduran.” Secara spesifik, kemunduran yang dimaksud di sini adalah lunturnya norma-norma sosial dan agama yang dahulu dianggap sakral, tetapi sekarang seakan usang dimakan zaman. Era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi telah berhasil “mencuci pemikiran” banyak orang dari berbagai kalangan tentang arti sebuah nilai atau norma sosial serta agama. Contoh paling kentara terkait fenomena ini adalah maraknya perzinaan dalam masyarakat kita.

Dalam definisi yang paling sederhana, zina adalah hubungan seks yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat pernikahan yang sah secara agama. Memang sulit untuk mengukur secara kuantitatif seberapa banyak orang yang melakukan zina (dalam berbagai variasinya). Namun, kita bisa ambil kasus yang sederhana dari seberapa banyak di antara teman kita yang tidak lagi perjaka ataupun perawan sebelum menikah. Bandingkan jika kita tanya orang tua kita berapa banyak teman mereka yang berbuat seperti itu. Penulis yakin hasilnya akan jauh lebih banyak teman-teman kita di era saat ini (yang melakukan zina) dibandingkan teman-teman orang tua kita di masa lalu.

Maraknya perzinaan tidak hanya menghinggapi kalangan anak muda yang memang sedang dalam usia “kasmaran”. Fenomena ini juga menyerang rentang umur anak kecil hingga dewasa usia paruh baya. Sudah sering kita dengar berita anak SMP/SMA membuat video porno. Tentu saja itu artinya pasangan anak SMP/SMA tersebut melakukan hubungan seks di luar nikah, alias zina. Sering pula kita dengar kasus-kasus perselingkuhan para pejabat.  Ini pun sama saja artinya para pejabat tersebut melakukan hubungan seks dengan pasangan yang bukan suami atau istri sahnya, alias zina juga.

Satu hal yang sangat membuat miris, kita sering dengar bahwa solusi dari “sudah terlanjur terjadinya zina” adalah agar pasangan-pasangan yang telah melakukan zina tersebut agar “dinikahkan” saja supaya sah. Bukankah ini justru semakin membenarkan zina? Dengan pembenaran tersebut, perlahan cara pandang masyarakat terhadap zina bisa berubah, “Oh biar saja melakukan zina, nanti juga akan dinikahkan.” Sangat miris pula ketika kita melihat artis yang jelas-jelas melakukan zina masih saja tetap menjadi idola masyarakat. Lagu-lagunya tetap diputar di mana-mana seolah tidak ada masalah apapun dengan perilaku sang artis tersebut. Lebih miris lagi ketika baru-baru ini segelintir pihak komersial membagikan alat kontrasepsi secara bebas tanpa memandang apakah penerimanya sudah menikah atau belum.

Dari perubahan cara pandang masyarakat tersebut secara perlahan-lahan bisa membawa pada anggapan zina sebagai fenomena yang lazim dan tidak lagi tabu. Sungguh berbahaya. Hal inilah justru yang menjadi suatu bentuk pencucian pemikiran terhadap norma-norma sosial ataupun agama yang dulu dipegang erat masyarakat Indonesia. Suatu perbuatan yang haram dalam agama mayoritas masyarakat Indonesia dan juga haram dalam adat ketimuran kemudian dianggap sebagai suatu perbuatan yang baik-baik saja.

Lantas bagaimana diri kita menyikapi fenomena ini?

Untuk menyikapi maraknya perzinaan yang terjadi akhir-akhir ini, kita perlu merenungkan kembali untuk apa sebenarnya norma-norma sosial maupun aturan agama yang kita miliki telah melarang suatu hal ataupun membolehkan suatu hal. Analogi yang sangat mudah dipahami dalam kehidupan kita sehari-hari adalah dengan melihat ketertiban lalu lintas di jalan raya. Lalu lintas yang tertib merupakan hasil dari tegaknya peraturan, sedangkan lalu lintas yang semrawut merupakan hasil dari dilanggarnya peraturan yang berlaku. Demikian pula norma-norma sosial serta aturan agama yang mengikat kehidupan manusia. Aturan-aturan itu ada untuk kebaikan manusia.

Kembali ke masalah zina, aturannya sebenarnya sangat jelas dan lugas: zina itu haram. Andaikata keharaman ini tidak diterima hanya karena menjadi aturan dari agama tertentu, nyatanya dalam aturan sosial yang tidak tertulis pun sangat jelas mengenai haramnya zina. Zina sebagai sesuatu yang haram tentunya memiliki konsekuensi hukum. Konsekuensi hukuman dalam agama tertentu untuk pelaku zina bahkan sangat berat, yang sayangnya tidak dilakukan para pemangku kebijakan saat ini. Padahal hukuman tersebut (yang cukup mengerikan dan oleh beberapa pihak dianggap tidak sesuai hak asasi manusia) dapat menimbulkan efek jera andaikata ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Dari sisi norma sosial, sebenarnya masyarakat Indonesia sebagai “orang Timur” pun memiliki mekanisme hukuman sosial dalam bentuk pengucilan terhadap pelaku zina sehingga pelakunya akan merasa malu yang sangat berat. Sayangnya hukuman sosial ini mulai luntur dari masyarakat kita. Masyarakat mulai memaklumi atau kadang lupa jika pelaku zina telah berbuat hal yang tidak pantas dalam tatanan sosial masyarakat.

Jika kita berpikir lagi dengan jernih mengenai keharaman zina (di sisi lain hubungan seks dalam pernikahan yang sah itu halal), sungguh kita bisa mendapati hikmah yang sangat mendalam. Sungguh sangat kontradiktif dan berlawanan dengan fitrah manusia ketika ada satu perbuatan yang halal dan mudah untuk dilakukan (seperti menikah dan berhubungan seks dalam pernikahan yang sah), kenapa pula harus melakukan perbuatan yang susah melakukannya semacam zina? Zina harus susah payah cari tempatnya dan sembunyi-sembunyi dalam melakukannya. Padahal jika sudah menikah, sepasang suami-istri bisa berhubungan sesukanya. Dari sini, akar masalah terjadinya zina bagi orang-orang yang belum menikah bisa jadi muncul dari ketidaksabaran seorang pemuda/pemudi untuk terikat dalam pernikahan yang sah. Sementara itu, zina bagi orang-orang yang sudah menikah (alias selingkuh dengan orang lain) bisa jadi karena ketidaksabaran yang bersangkutan untuk menerima pasangannya masing-masing apa adanya.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menegaskan kembali keharaman zina (hubungan seks di luar pernikahan yang sah) dan mendidik minimalnya diri kita sendiri serta keluarga terdekat agar jangan pernah mendekati zina. Jika kita punya cukup pengetahuan, penting pula bagi kita untuk menyampaikan kepada teman-teman kita mengenai haramnya zina, bahayanya zina, serta berbagai konsekuensi buruk yang dapat terjadi jika melakukan zina. Kita perlu berani menegaskan tidak ada hubungan seks yang halal di luar pernikahan yang sah. Derasnya beberapa informasi dari luar negeri yang memandang zina sebagai perbuatan biasa-biasa saja pun perlu kita lawan jika kita mampu. Mudah-mudahan dengan kembali mengkampanyekan aspek-aspek haramnya zina ini dari lingkungan terdekat kita, norma-norma sosial dan agama yang sempat luntur bisa kembali jernih seperti semula sehingga dengan sendirinya diri kita, keluarga kita, teman-teman kita, semuanya akan terjauh dari zina.

Pesan terakhir yang ingin disampaikan melalui tulisan ini, jika kita belum mampu menikah (terutama untuk siswa-siswi sekolah dan mahasiswa), bersabarlah, jagalah diri kita agar tidak melakukan zina atau bahkan sekadar mendekatinya (katakan tidak pada pacaran!). Jika kita siap menikah, siap lahir maupun batin, segeralah menikah. Tidak ada yang namanya istilah “pernikahan dini” sepanjang suami dan istri sama-sama mampu bersikap dewasa, dan tidak ada pula yang namanya “terlambat menikah” sepanjang kita sudah berikhtiar dengan tetap menjaga diri agar terjauh dari zina. Dan jika kita telah menikah, binalah hubungan yang baik dengan pasangan kita, tutup rapat peluang perselingkuhan sehingga kehidupan rumah tangga bisa tetap harmonis.

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, saat ini bertempat tinggal di Sendai, Jepang.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top