Dekonstruksi Stereotip Perempuan pada Film Pendek Tilik

Banyak hal menarik dapat kita petik dari berbagai hal yang kita lihat, dengar, bahkan kita lakukan. Paling tidak dari sudut pandang yang berbeda dari setiap kejadian. Sebagai mahkluk berakal, tentu kita di ajak untuk mempertajam intuisi dan kepekaan sebagai insan sosial. Begitu banyak peristiwa yang tidak terduga, mengawal, dan mengiringi langkah keseharian kita. Hal tersebut dapat memberikan ide dan menggiring kreativitas sebagian orang, lalu meramunya menjadi peristiwa yang asyik untuk dinikmati. Wahyu Agung Prasetya, salah seorang dengan ide kreatifnya berhasil meramu peristiwa sosial tersebut menjadi film pendek menarik berjudul Tilik. Diproduksi oleh Ravacana Films, Tilik tayang perdana pada 2018 dan dianugerahi film pendek terbaik pada ajang Piala Maya pada tahun yang sama.

Belum lama ini, film pendek Tilik tengah menjadi perbincangan di media sosial Indonesia, hal ini memunculkan berbagai macam pro dan kontra tersendiri. Tak hanya karena menyuguhkan cerita yang menarik, karakter yang berperan di dalamnya menjadi sentral karena merepresentasikan kehidupan realita masyarakat, khususnya Jawa dengan segala problematika sosial yang diusung. Setiap film menyuguhkan multi interpretasi masing-masing, sesuai dengan sudut pandang dan perbedaan penonton. Viralnya Tilik di kalangan masyarakat memberikan gambaran keberhasilan sebuah film dibuat. Setiap film mampu memberikan potret kecil kehidupan, yang bisa jadi relevan pada kehidupan kita sebagai penonton. Muncul adanya stereotip-stereotip tertentu yang terbangun pada film Tilik.

Menurut Merriam Webster, stereotip adalah serangkaian gambaran mental terstandarisasi yang dimiliki oleh kelompok sosial tertentu dan mampu mewakili pendapat atas sikap berprasangka, atau penilaian yang tidak kritis terhadap individu lainnya. Stereotip perilaku yang berkembang di masyarakat memiliki dua bentuk positif dan negatif. Stereotip dengan bentuk negatif adalah persepsi atas asumsi yang digambarakan sebagai kejelakan terhadap kelompok, ras, suku, atau yang lainnya. Berikutnya ada stereotip positif, dimana stereotip ini diartikan sebagai munculnya asumsi yang bersifat baik kepada masyarakat atau gelongan tertentu, sehingga muncul adanya sinergi yang terbentuk di masyarakat.

Jika melihat narasi Tilik secara saksama penggambaran berbagai karakter di film ini, para perempuan mengambil panggung utama sebagai sentralnya. Sebut saja, tokoh Dian, Bu Tejo, Yu Ning, sampai dengan Bu lurah. Dalam film ini, ditampilkan beberapa peran perempuan yang beragam, keberagaman ini menawarkan representasi stereotip perempuan yang bervariasi pula.

Di Indonesia, perempuan cenderung diidentikan dengan peran domestik atau posisi kedua yang terbentuk dari budaya patriarki masyarakat yang kita anut. Namun hal ini tergambar berbeda, Tilik berusaha untuk mematahkan stereotip tersebut dengan karakter Bu Lurah. Desa para perempuan di film Tilik ini, justru dipimpin oleh seorang perempuan. Bu Lurah tidak hanya digambarkan mampu memimpin desa, akan tetapi citra yang tergambar adalah pemimpin yang dicintai warganya (terepresentasi dari antusiasnya para warga khusunya ibu-ibu yang menjenguknya saat beliau sakit). Tak hanya itu, Tilik menggambarkan latar belakang Bu Lurah yang bertentangan dengan norma sosial konservatif pada umumnya. Hal ini karena Bu Lurah menjadi seorang single mother yang sukses menjabat posisi administratif pemerintahan, yang hidup bersama putranya setelah bercerai dari suaminya. Tentu hal ini bertentangan dengan citra perempuan yang seringkali direpresentasikan oleh masyarakat sebagai konco wingking atau pelengkap pasangan yang tidak dapat berperan pada jabatan penting ataupun strategis.

Selain stereotip yang tergambar pada tokoh Bu Lurah, secara garis besar, isu yang ditampilkan pada film ini banyak menyuarakan tentang problematika sosial yang lebih kompleks. Citra diri yang tersemat pada perempuan seolah membawa kita pada nilai seksisme. Di mana stereotip tersebut melegalkan citra cantik sebagai referensi utama. Sebut saja pada tokoh Dian, karakter ini digambarkan sebagai kembang desa. Segala pencapaian sukses Dian sebagai wanita karir yang mandiri, justru dilabeli negatif. Dian dijadikan sebagai objek kebencian melalui kekerasan verbal. Stereotip ini justru menjadi fenomena lumrah dan ditampilkan lain oleh sang sutradara. Hal ini terepresentasi di akhir cerita. Di mana Dian benar-benar menjalin hubungan dengan mantan suami Bu Lurah. Stereotip wanita muda yang sukses dan mampu berkarir justru menjadi perempuan muda yang lajang sebagai “perusak rumah tangga”. Hal ini sebagai bentuk dekonstruksi stereotip perempuan.

Isu permasalahan terkait dengan stereotip perempuan lain terepresentasi pada tokoh Bu Tejo. Tilik mengagungkan stereotip tertentu yakni perempuan yang senang bergosip (makin di gosok makin sip), atau sering kita kenal sebagai aktivitas gibah. Pentingnya literasi digital menjadi pokok dari legalnya aktivitas gosip ini. Minimnya pengetahuan para ibu-ibu akan informasi media sosial, membuat mereka mengamini segala yang diucapkan tokoh Bu Tejo. Bu Tejo yang menjadi mediator dari aktivitas ini melancarkan segala informasi yang didapatnya menjadi bahan yang tak ayal diberinya bumbu sebagai penyedap. Stereotip ini melegalkan adanya praktik gibah yang sering kali tersemat pada kaum perempuan, hingga muncul praktik kekerasan verbal sesama gender.

Namun jika kita melihat kembali narasi pada film Tilik, aktivitas gosip bukan lagi milik para perempuan. Sebut saja tokoh Gotrek, sopir truk yang ditumpangi pada film ini sekaligus suami dari salah satu tokoh. Pada salah satu adegan, Gotrek dengan saksama menguping segala informasi yang disampaikan Bu Tejo terkait dengan Dian. Selain itu, Gotrek juga melegalkan bahwa gosip tentang Dian di kalangan bapak-bapak memiliki topik yang berbeda. Dian sebagai objek gibah memberikan gambaran bahwa perempuan memiliki citra diri yang biasanya mampu menghipnotis kaum laki-laki. Sehingga, stereotip ini membuat praktik seksisme pada tokoh Dian menjadi ironi dalam film Tilik. Dian menjadi tokoh yang dianggap amoral dengan segala sifat yang digambarkan sebagai ancaman bagi pasangan para ibu-ibu.

Kembali pada topik stereotip yang telah kita bahas di atas, legalnya praktik misoginis ataupun seksisme, tidak dapat kita hindari. Praktik tersebut relevan di kehidupan kita sehari-hari. Bahkan tak ayal kita pernah menjadi pelaku ataupun korban praktik tersebut. Tilik memberikan gambaran bahwa kita sebagai masyarakat cerdas, harus dengan bijak meneliti kembali informasi serta menimbang baik buruknya praktik seksisme yang acap kali dianggap sebagai sesuatu hal biasa. Mari menjadi insan sosial yang peka terhadap lingkungan, alam, serta mengagungkan simpati dan empati terhadap sesama.

Bahan bacaan:

https://www.gatra.com/detail/news/488073/gaya-hidup/menonton-bu-tejo-di-tengah-ghibah-dan-stigma-perempuan

Film Tilik dan Perdebatan Eksistensi Wanita

https://theconversation.com/melihat-perlawanan-stereotip-perempuan-indonesia-di-film-pendek-tilik-145243

Penulis:

Desi Ela Putri Anggraini, seorang penulis lepas dan editor pada penerbitan lokal di Karanganyar. Penulis mengelola blog rintikkata.com. Penulis dapat dihubungi melalui anggradesielao(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top