Kristal Sintilasi: Pencitraan dengan radiasi untuk kedokteran, keamanan, dan ruang angkasa

Pada masa pandemi COVID-19 ini, masyarakat banyak yang tertarik dengan subjek semacam tes cepat, PCR (polymerase chain reaction), dan ventilator. Semua itu adalah kata-kata tentang teknologi yang sering terdengar dan bermanfaat menghadapi COVID-19. Namun, ketika beragam pengujian COVID-19 mulai menunjukan kesalahan dalam diagnosis COVID-19, sebenarnya ada satu lagi metode diagnosis yang jarang dibahas, yakni pencitraan/radiografi berkas sinar-X dengan kombinasi computed tomography (CT), yang ditemukan pada 22 Februari lalu (Chen dkk. 2020).

Kombinasi teknik radiografi-CT ini dapat mendeteksi virus sebelum gejala COVID-19 muncul sehingga bisa dijadikan prosedur ekstra untuk diagnosis COVID-19. Bahkan, salah satu perusahaan besar bernama TRIXELL (trixell.com) di benua biru sudah merilis panel berkas sinar-X berbasis digital yang tidak membutuhkan film, berharga murah, dan bisa diproduksi massal khusus untuk memerangi COVID-19.

Penerapan dan peran pencitraan berkas sinar-X tentunya tidak terbatas pada penanganan COVID-19.  Teknologi pencitraan berkas sinar-X dan radiasi lainnya seperti sinar gamma dan neutron termal telah berperan penting dalam aplikasi-aplikasi mutakhir dalam bidang kedokteran, keamanan, dan ruang angkasa. Gambar 1 menunjukkan beberapa aplikasi tersebut yang mungkin kita tidak sadari sudah hidup bersama dengannya.  Aplikasi-aplikasi itu bisa dibedakan untuk (1) medis, (2) pertahanan dan keamanan, (3) riset, dan (4) eksplorasi minyak, mineral, dan ruang angkasa.

Gambar 1. Aplikasi pencitraan radiasi dalam empat bidang umum di kehidupan kita.

Aplikasi pencitraan radiasi untuk penanganan COVID-19 termasuk dalam aplikasi medis. Selain itu, ada positron emission tomography (PET) scan dan kamera berkas sinar gamma dalam aplikasi medis. Keamanan di batas-batas negara seperti bandara dan pelabuhan hingga transportasi publik juga memerlukan sistem pencitraan.

Untuk keperluan riset, pencitraan radiasi bermanfaat dalam eksperimen fisika energi tinggi dan kosmis. Demikian pula eksplorasi minyak dan ruang angkasa banyak memanfaatkan sistem pencitraan. Yang terakhir, penulis sempat melakukan riset kristal sintilasi yang akan dipakai oleh wahana satelit ke Merkurius (BepiColombo) untuk digunakan sebagai pemindai permukaan planet.

Ada dua metode dalam pencitraan radiasi yang selama ini berkembang seperti ditunjukkan pada Gambar 2a dan b. Metode pertama adalah konversi langsung radiasi sinar-X atau gamma menjadi sinyal listrik (Knoll, 2000). Metode ini hanya membuat perangkat-perangkat terdahulu seperti detektor cahaya atau sel surya menjadi efisien untuk mendeteksi foton energi tinggi seperti sinar-X dan gamma.

Metode pencitraan radiasi kedua adalah menggunakan medium atau material konversi yang disandingkan dengan detektor cahaya biasa seperti photomultiplier, silicon photodetector, atau avalance photodiode. Medium atau material konversi ini dengan sangat efisien mampu mengubah radiasi energi tinggi seperti sinar-X dan gamma menjadi cahaya tampak yang nantinya akan dideteksi oleh detektor cahaya untuk diolah menjadi sinyal listrik. Metode kedua ini tentunya akan lebih murah dan stabil dengan perubahan suhu dibandingkan dengan metode pertama.

Medium atau material konversi terkait metode kedua di atas biasa disebut sebagai scintillator atau kristal sintilasi. Istilah sintilasi berasal dari bahasa Latin yang bermakna “percikan”. Dalam artikel ini, kita akan lebih membahas kristal sintilasi dari aspek mekanisme kerja (Knoll, 2000) dan perkembangannya (Maddalena, 2019).

Mekanisme sintilasi

Pada Gambar 2c, dijelaskan konsep bagaimana kristal sintilasi mengubah radiasi sinar X atau gamma menjadi cahaya tampak. Pada umumnya kristal sintilasi ini akan di doping oleh pengotor (impurities) yang mempunyai efisien tinggi sehingga menjadi pusat luminesensi. Untuk menjelaskan proses mengubah radiasi ini, maka kita akan memerlukan beberapa bidang sub-ilmu fisika seperti fisika modern, quantum, dan material semikonduktor. Sehingga, mekanisme mengubah energi radiasi dalam kristal sintilasi ini bisa terbagi dalam tiga bagian: (i) konversi radiasi energi tinggi, (ii) transpor dan transfer energi ke pusat luminesensi, dan (iii) luminesensi melalui rekombinasi.

Gambar 2. Dua metode dalam pencitraan radiasi: a) Deteksi langsung menggunakan arsitektur detektor cahaya atau sel surya dan b) deteksi dengan medium atau material konversi cahaya (scintillator atau kristal scintillasi) yang terkopling dengan detektor cahaya biasa, dalam hal ini photomultiplier (PMT). c) Konsep konversi radiasi sinar-X oleh kristal sintilasi menjadi cahaya.

(i) Konversi radiasi energi tinggi

Pada tahap awal konversi, radiasi energi tinggi diabsorpsi oleh kristal sintilasi menjadi elektron dan lubang berenergi kinetik tinggi (energetic electrons and holes). Bentuk dari mekanisme absorpsi di kristal sintilasi ini bergantung pada tipe dan energi dari radiasi yang terkait, tetapi untuk sinar-X dan gamma dapat dideskripsikan oleh suatu formula yang mirip Hukum Lambert-Beer:

\displaystyle \frac{I}{I_0} = \exp (-\mu d) ,

dengan Io dan I adalah intensitas dari radiasi datang dan transmisi, μ adalah koefisien dari absorpsi linear, dan d adalah ketebalan dari kristal sintilasi.

Selanjutnya, selain proses absorpsi radiasi energi tinggi oleh kristal sintilasi, ada tiga jenis interaksi antara radiasi dan material yang berkontribusi terhadap proses energi konversi di sintilasi, yakni absorpsi fotoelektron (efek fotolistrik), hamburan Compton, dan produksi pasangan. Proses ini juga dijelaskan pada Gambar 3. Karena berbeda dari asalnya, proses ini bisa mempunyai berbagai macam koefisien absorpsi berbeda, yang sangat tergantung pada bilangan atomik Z dari atom di kristal sintilasi dan energi E dari foton radiasi yang datang.

Gambar 3. (kiri) Tiga jenis interaksi yang terjadi akibat interaksi radiasi dengan material. (kanan) Zona energi untuk masing-masing interaksi dominan.

Untuk kasus efek fotolistrik, energi foton terabsorpsi secara penuh oleh elektron yang terikat, biasanya elektron di inti kulit K atau L, yang kemudian terejeksi, dan mengionisasi atom. Koefisien absorpsi linear untuk absorpsi fotoelektron umumnya diberikan dalam bentuk μ ~ rZn/E3,5, dengan n bervariasi antara 3 dan 4 dan r adalah rapat massa dari kristal sintilasi.  Penambahan bilangan atomik dari suatu atom akan meningkatkan probabilitas absorpsi secara eksponensial sehingga atom-atom berat sangat diharapkan mengisi komposisi struktur dari kristal sintilasi. Interaksi ini diharapkan dapat mengamati energi radiasi yang diinginkan dengan resolusi energi yang cukup sempit.

Pada energi yang lebih tinggi, hamburan Compton juga akan berkontribusi. Hamburan ini berkorespondensi dengan interaksi tidak elastis, yakni interaksi yang terkait dengan hamburan foton oleh elektron terikat lemah dan bagian dari energi foton tersebut akan ditransfer ke elektron yang energi tersimpannya akan sangat bergantung pada sudut hamburan. Akibatnya, dalam hamburan Compton, energi yang tersimpan akan lebih kecil dibandingkan dengan energi yang datang. Energi yang hilang dari foton akan diambil oleh elektron terhambur yang akan tereksitasi ke level energi yang lebih tinggi. Koefisien absorpsi linear untuk hamburan Compton dapat ditulis sebagai μ ~ r/E0,5 sehingga absorpsi dari hamburan Compton tidak bergantung pada bilangan atomik dari atom-atom yang ada di kristal, tetapi malah bergantung pada rapat kristal itu sendiri.

Proses terakhir adalah energi foton yang lebih tinggi dari 1,02 MeV atau lebih tinggi dua kali dari massa diam untuk elektron sehingga mengakibatkan fenomena relativistik. Pada kasus ini, energi kinetik dari partikel dikonversikan menjadi partikel dan antipartikel baru, yaitu elektron-positron. Koefisien absorpsi dari produksi pasangan ini adalah μ ~ r Z ln (2E/mec2). Lebih jelasnya mengenai zona energi untuk interaksi-interaksi dominan dapat dilihat di Gambar 3 (kanan). Setelah interaksi-interaksi ini, multiplikasi, relaksasi, dan proses termalisasi dari elektron dan lubang yang dihasilkan.

(ii) Transpor dan transfer energi ke pusat luminesensi

Tahap kedua dari sintilasi, yakni transpor dan transfer energi, melibatkan proses perpindahan pembawa muatan ke pusat luminesensi. Ini adalah proses yang sangat kritis untuk ketidakefisienan sintilasi, baik dari hilangnya energi secara termal ataupun terperangkap, dan berapa lama respons dari kristal sintilasi untuk memberikan foton (atau dalam aplikasinya terkait dengan timing performance). Pada fase ini, akan banyak sekali elektron dan lubang yang terjadi selama konversi dan bermigrasi di material.

Beberapa mekanisme sangat mungkin terjadi untuk penundaan proses rekombinasi radiatif atau kehilangan efisiensi oleh proses rekombinasi nonradiatif. Asal dari kehilangan efisiensi ini bisa disebabkan oleh kehadiran cacat (defect) pada kristal sintilasi, yang biasanya terjadi dari kekosongan ionik (ionic vacancies), ion dalam posisi interstisial (ions in interstitial position), batas-batas buliran (grain boundaries), pengotor substitusi (substitutional impurities) atau kondisi permukaan (surface states). Apabila kristal sintilasi ini tidak mempunyai cacat, proses yang terjadi adalah transfer langsung dari elektron dan lubang bebas. Proses ini biasanya memiliki efisiensi tertinggi sehingga proses rekombinasinya didominasi radiasi.

Proses lainnya yang mungkin adalah transfer tunda dari difusi elektron-lubang atau eksiton ke pusat luminesensi. Selain dari cacat intrinsik, interaksi dari kristal sintilasi dan radiasi juga menuju ke pembentukan cacat lanjutan, contohnya cacat Frenkel, yang dibentuk ketika ion tertendang dari posisi kisinya menuju ruang antara, meninggalkan kekosongan di posisi atom tersebut. Pembawa muatan yang bermigrasi akan sangat mungkin terperangkap dalam cacat ini, atau dalam kekosongan bekas atom tersebut, menghasilkan beberapa keadaan perangkap (trap states). Bergantung pada suhu saat itu, elektron dan lubang yang terperangkap masih bisa dilepaskan dan bermigrasi lebih lanjut melalui proses yang dinamakan transpor lompat yang dibantu oleh fonon (phonon-aided hopping transport).

Elektron dan lubang masih akan bisa bergerak dari pita konduksi yang terdelokalisasi untuk menjadi tingkat lokalisasi yang lebih disukai secara energetik bagi kopel elektron-lubang dengan fonon, yang mengakibatkan polaron yang bergerak lebih lambat. Untuk ini, optimasi penumbuhan kristal dan morfologi material dapat mengurangi jumlah cacat atau perangkap di dalam material sehingga mengurangi kehilangan nonradiasi dan penundaan luminesensi.

(iii) Luminesensi melalui rekombinasi

Pada tahap terakhir dari sintilasi, yakni luminesensi, elektron dan lubang ditangkap dalam beberapa jalur oleh pusat luminesensi yang merupakan ion pengotor (ion impurities) di dalam kisi kristal, dan mempromosikan ion tersebut ke keadaan eksitasi dan terekombinasi secara radiatif menurut aturan seleksi dalam fisika kuantum. Ketika mencari kristal sintilasi yang mempunyai respons cepat, pusat luminesensi yang dipilih sebaiknya mempunyai transisi dipol listrik yang diperbolehkan (electric dipole allowed transitions).

Jenis ion yang terakhir sering digunakan dalam 30 tahun terakhir adalah Ce3+, Pr3+, Nd3+, Eu2+, dan Yb2+ (Birowosuto dkk. 2009). Hal ini dikarenakan ion tersebut mempunyai transisi “4fn-1 5d → 4fn” yang mempunyai waktu emisi dalam orde 5–500 × 10-9 detik. Sebelumnya, kristal sintilasi inorganik cenderung menggunakan Tl+ karena adanya transisi “ns2 → nsnp”, tetapi waktu emisi kristal ini masih pada orde 10-6 detik. Untuk transisi dipol yang tidak diperbolehkan (dipole forbidden transition), transisi ini malah bisa mempunyai waktu emisi yang ada pada orde 10-3 detik yang merugikan untuk aplikasi respons cepat (fast timing).

Karakteristik kristal sintilasi

Ada beberapa karakteristik kristal sintilasi yang menjadi pertimbangan. Di antaranya adalah (i) efisiensi absorpsi radiasi, koefisien absorpsi atau panjang absorpsi, (ii) jumlah foton cahaya tampak hasil konversi, (iii) waktu respons, (iv) absorpsi diri, dan (v) resolusi energi. Kita akan bahas sekilas seputar karakteristik ini satu per satu.

(i) Efisiensi absorpsi radiasi, koefisien absorpsi atau panjang absorpsi. Parameter ini menunjukan seberapa efisien kristal tersebut menyerap radiasi ketika proses konversi (lihat lagi pembahasan seputar mekanisme sintilasi). Untuk deteksi sinar-X dan gamma, kristal dengan rapat massa tinggi dan bilangan atomik besar sangat diharapkan dan ini dijelaskan ketika konsep tiga interaksi.

(ii) Jumlah foton cahaya tampak hasil konversi (light yield). Ini biasanya dinyatakan sebagai jumlah foton yang dipancarkan per satuan energi radiasi yang disimpan. Parameter ini penting karena menentukan parameter lainnya seperti efisiensi, sensitivitas, dan resolusi dari energi. Kuanta foton ini bergantung pada  jumlah pasangan elektron-lubang yang bisa dihasilkan dari jalur ionisasi akibat interaksi energi radiasi insiden dengan kristal sintilasi. Jumlah pasangan elektron-lubang ini lalu proporsional dengan jumlah energi radiasi insiden dibagi dengan besar celah energi kristal tersebut. Jumlah foton cahaya tampak hasil konversi itu bisa dibilang rendah jika bernilai di bawah 5,000 foton per MeV dan sangat tinggi jika di atas 50,000 foton per MeV.

(iii) Waktu respons. Ini ditentukan oleh waktu transpor pembawa muatan dan luminesensi. Untuk transfer langsung dari elektron dan lubang bebas, respons ini ditentukan oleh pusat luminesensi yang waktu respons paling cepatnya adalah 5 × 10-9 detik. Namun, ketika ada proses lainnya seperti transfer tunda dari difusi elektron-lubang atau eksiton ke pusat luminesensi, ada komponen waktu lainnya (lebih lama) yang berkisar antara 10-5 sampai 10-7 detik (Maddalena dkk. 2009). Untuk fast timing, jelas mekanisme pertama lebih diinginkan.

(iv) Absorpsi diri. Ini terjadi apabila spektrum emisi dan absorpsi saling tumpang tindih sehingga emisi akan terabsorpsi kembali. Apabila ada kehilangan energi melalui proses nonradiatif, proses ini akan terus berulang dan akan lebih kehilangan energi mengakibatkan kehilangan jumlah foton terkonversi juga. Koefisien untuk absorpsi ini biasanya ditentukan oleh jarak antara puncak emisi dan absorpsi (Stokes shift).

(v) Resolusi energi. Ini adalah kemampuan spektroskopi untuk menentukan tipe radiasi energi berdasarkan resolusi spektra hasil deteksi dengan kristal sintilasi. Sinyal listrik dari detektor cahaya dapat mempunyai informasi energi berdasarkan berbagai macam interaksi konversi yang terjadi, seperti dijelaskan di atas. Efek fotolistrik inilah yang mempunyai resolusi sangat sempit yang ditentukan jumlah foton dan kualitas kristal (Birowosuto dan Dorenbos, 2009). Ketika pencitraan dilakukan dengan berbagai macam sumber sinar radiasi, informasi gambar bisa berdasarkan irisan ketebalan dan dipisahkan secara sempurna dengan resolusi energi radiasi tersebut. Energi resolusi terbaik untuk kristal sintilasi saat ini adalah 2%, dengan jumlah foton konversi di antara 65.000–120.000 foton per MeV.

Selain parameter-parameter tersebut ada juga panjang gelombang emisi, stabilitas kristal terhadap kelembapan/waktu, dan proporsi untuk mendeteksi energi berbeda (jumlah foton konversi tidak jauh berbeda untuk energi radiasi berbeda). Semua itu adalah faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam pemilihan kristal sintilasi secara umum. Untuk aplikasi tertentu, nilai-nilai parameter yang dipilih bisa saja berbeda antara satu dengan yang lain. Pada eksperimen fisika energi tinggi biasanya lebih diutamakan efisiensi absorpsinya, sedangkan untuk pencitraan medis lebih ke arah jumlah foton konversi.

Jenis kristal sintilasi dan perkembangannya

Saat ini kita bedakan tiga jenis kristal sintilasi berdasarkan material penyusunnya, yakni organik, inorganik, dan hibrida organik-inorganik. Kristal sintilasi yang pertama ditemukan pada tahun 1950 dan cukup efisien justru adalah kristal inorganik berdasarkan doping Thalium, Natrium Iodida (NaI:Tl) dan Sodium Iodida (CsI:Tl) (Maddalena dkk. 2009). Absorpsi kristal ini cukup baik dengan jumlah foton yang mencapai 60.000 foton per MeV. Kelemahannya hanya pada waktu respons dari emisi yang sekitar 10-6 detik. Setelah itu, memang ada riset kristal organik seperti anthracene (C14H10), stilbene (C14H12), and naphthalene (C10H8). Namun, karena karakteristiknya lebih baik di inorganik, peneliti lebih memilih untuk menyelidiki kristal tersebut.

Banyak sekali kristal sintilasi seperti BaF2, CaF2:Eu, ZnS:Ag, CaWO4, CdWO4, YAG:Ce (Y3Al5O12(Ce)), GSO, dan LSO, tetapi kristal sintilasi terbaik adalah LaBr3:Ce yang menawarkan jumlah foton mencapai 63.000 foton per MeV, waktu respons 16 ns, dan resolusi energi 2,5%. Kristal ini dipatenkan dan dipasarkan dengan nama Brillance (Dorenbos dkk. 2007). Kristal sintilasi ini mengombinasikan waktu respons tercepat, jumlah foton yang tinggi, dan resolusi energi terbaik. Namun, material ini sangat sensitif terhadap kelembapan (higroskopik) sehingga mahal dalam bentuk pengemasannya. Di sisi lain, menumbuhkan kristal ini membutuhkan oven bersuhu tinggi.

Pada akhirnya, dalam beberapa tahun terakhir, telah ditemukan kristal sintilasi yang dapat ditumbuhkan melalui larutan, yakni kristal perovskit organik-inorganik berdimensi dua (Birowosuto dkk. 2018). Kristal ini biasanya dibuat melalui teknik yang dipakai dalam sistem fotovoltaik, tetapi beberapa material ternyata mempunyai efisiensi yang cukup tinggi untuk kristal sintilasi (selain itu tidak higroskopik). Kristal ini masih perlu untuk lebih jauh dikembangkan karena jumlah foton konversinya masih 20% dari jumlah foton konversi dari LaBr3:Ce, sedangkan resolusi energinya masih sekitar 13%.

Riset penumbuhan kristal sintilasi masih akan terus dikembangkan sehingga bisa menyaingi kristal sintilasi terbaik saat ini. Riset ini diharapkan dapat menekan harga teknologi pencitraan dengan sinar-X dan gamma yang masih mahal. Dengannya, kita bisa membeli teknologi ini sendiri sehingga telemedicine (pendeteksian dan pengobatan dari rumah) dapat dilaksanakan. Hal ini tentunya dapat mengurangi beban rumah sakit, terutama dalam masa pandemi.

Bahan bacaan:

  • Lin, Chen et al., Clinical Imaging, 63, 7, 2020.
  • https://www.trixell.com
  • https://www.cosmos.esa.int/web/bepicolombo/mgns
  • Knoll, G. Radiation Detection and Measurement (Wiley: Hoboken, NJ, USA, 2000).
  • Maddalena, F. dkk. Crystals, 9, 88, 2019.
  • Birowosuto, M. D., Dorenbos, P., Phys. Stat. Sol A, 206. 9, 2009.
  • Dorenbos, P., Birowosuto M. D. dkk., WO/2007/031583
  • Birowosuto, M. D., Cortecchia, D., Soci, C. WO/2018/021975A1

Penulis:
Muhammad Danang Birowosuto, peneliti senior di “CNRS International – Nanyang Technological University – Thales Research Alliances” (CINTRA) dan juga pengajar di Universitas Prasetiya Mulya. Kontak: mbirowosuto(at)ntu.edu.sg

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top