Eksperimen Taylor dan Dualitas Gelombang-Partikel pada Cahaya

Kebanyakan orang, termasuk masyarakat awam masa kini, mungkin sudah menyadari gagasan tentang cahaya yang kadang-kadang dapat berperilaku seperti gelombang dan kadang-kadang seperti partikel, tergantung pada keadaan. Dualitas gelombang-partikel ini adalah aspek fundamental dari alam, berlaku untuk semua partikel elementer, dari partikel cahaya (foton), elektron, proton, neutron, hingga quark.

Dualitas gelombang-partikel merupakan salah satu konsep fisika yang bisa dikatakan sulit untuk dipahami sepenuhnya. Bahkan, hingga hari ini, penjelasan lengkap tentang makna konsep tersebut terus-menerus hinggap di benak para fisikawan. Namun, fenomena dualitas gelombang-partikel dapat dibuktikan dalam berbagai eksperimen pada cahaya dan pada materi lainnya.

Ketika sifat partikel dipostulatkan oleh Albert Einstein pada tahun 1905, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana cahaya sebagai partikel akan akur dengan perilaku cahaya sebagai gelombang yang telah didemonstrasikan secara pasti lebih dari 100 tahun sebelumnya melalui eksperimen celah ganda oleh Thomas Young di tahun 1804. Eksperimen Young saat itu bisa dikatakan membantah pemikiran Newton di abad sebelumnya yang menganggap cahaya hanyalah aliran partikel. Saat Einstein mengungkapkan kembali kemungkinan cahaya berperilaku sebagai partikel, tentu saja kita butuh eksperimen untuk mengklarifikasi perilaku cahaya.

Percobaan paling awal untuk membuktikan sifat partikel dari cahaya dilakukan oleh Geoffrey Taylor pada tahun 1909. Namanya mungkin jarang terdengar di pelajaran fisika, tetapi eksperimen ini termasuk salah satu yang terpenting dalam sejarah perumusan fisika kuantum. Eksperimen Taylor dipresentasikan dalam sebuah makalah berjudul “Interference fringes with weak light.” Makalah Taylor, meskipun pendek (hanya dua halaman), memberikan sudut pandang yang menarik terkait tantangan teoretis dan eksperimental di masa awal perumusan teori kuantum.  Sebelum membahas eksperimen Taylor, mari kita rekap dulu sejarah fisika yang cukup menarik yang membawa pada penjelasan dualitas gelombang-partikel pada cahaya.

Antara abad ke-18 dan ke-19, para fisikawan menerima secara luas bahwa cahaya terdiri dari aliran partikel, berkat karya terperinci Isaac Newton, yang diterbitkan dalam bukunya “Opticks” pada 1704. Newton dengan meyakinkan menunjukkan, setidaknya untuk saat itu, bahwa fenomena optik seperti refraksi (perubahan arah cahaya ketika memasuki medium) dan difraksi (penyebaran cahaya setelah melewati celah kecil) dapat dijelaskan dengan menganggap partikel cahaya berinteraksi dengan benda yang ditumbuknya. Karya Newton ini, ditambah dengan reputasinya sebagai fisikawan terbaik di masanya, untuk sementara waktu berhasil meredakan debat yang sudah berlangsung lama tentang apakah cahaya itu gelombang atau partikel.

Selain teori partikel untuk cahaya, teori gelombang di masa sebelum Newton sebetulnya memiliki pendukung dari kalangan ilmuwan besar juga, seperti ilmuwan Jesuit Grimaldi (1618-1663) dan ilmuwan Belanda Christiaan Huygens (1629-1695). Seiring dengan terbitnya buku Opticks karya Newton, teori gelombang cahaya yang dirumuskan Grimaldi dan Huygens agak terpinggirkan. Namun, situasi berbalik di awal abad ke-19 ketika Thomas Young menerbitkan hasil penelitiannya, eksperimen celah ganda, yang memberikan bukti kuat untuk teori gelombang cahaya.

Ilustrasi eksperimen Young diberikan di bawah. Komponen penting eksperimen ini adalah sumber cahaya yang tersejajarkan oleh kolimator, celah ganda berukuran lubang jarum, dan layar pengamatan. Di masa sekarang, kolimator tidak dibutuhkan lagi dan bisa langsung menggunakan sumber cahaya berupa laser. Namun, di masa Young, ia membutuhkan kolimator karena sumber cahayanya berupa lilin atau bohlam yang arah sinarnya tidak koheren.

Pada papan celah ganda, sebagian besar cahaya terhalang, kecuali pada dua lubang kecil. Keluar dari lubang jarum, gelombang menyebar dan berinterferensi. Area tempat gelombang bergerak secara sinkron dari dua celah tersebut menghasilkan interferensi konstruktif yang tampak sebagai pola terang pada layar pengamatan, sedangkan area gelombang yang saling berlawanan dari dua celah menghasilkan interferensi destruktif yang tampak sebagai pola gelap pada layar pengamatan.

Gambar asli Young dari eksperimen celah ganda, menunjukkan gelombang yang memancar dari kedua celah tersebut. Jika kita menggunakan cahaya monokromatik (satu warna), pola intereferensi dapat digambarkan sederhana sebagai garis terang dan gelap bergantian. Jika kita menggunakan cahaya multiwarna seperti Young, jarak pola sedikit berbeda untuk setiap warna, dan hasilnya adalah pola garis berwarna.

Eksperimen Young adalah titik balik yang mendukung teori gelombang cahaya meskipun sempat ditentang para pengusung teori partikel cahaya Newton. Kemajuan pesat dibuat setelah masa Young, terutama pada 1860-an ketika James Maxwell merumuskan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang mampu menjelaskan berbagai fenomena terkait cahaya serta diaplikasikan dalam perangkat listrik-magnet. Namun, teori gelombang cahaya beberapa tahun kemudian disadari tidak dapat menjelaskan beberapa fenomena secara meyakinkan. Di antaranya adalah efek fotolistrik, suatu fenomena yang dalam keadaan tertentu cahaya yang diarahkan pada sebuah pelat logam dapat menyebabkan elektron terpancar dari pelat tersebut.

Ilustrasi efek fotolistrik.

Efek fotolistrik pertama kali diamati oleh Heinrich Hertz pada tahun 1887 dan cukup membingungkan para fisikawan zaman itu. Secara khusus, tercatat bahwa elektron hanya dikeluarkan dari logam setelah ambang frekuensi kritis cahaya dilampaui dan intensitas cahaya hanya meningkatkan jumlah elektron yang dilepaskan, bukan energinya. Teori gelombang cahaya tidak dapat menjelaskan ambang frekuensi karena teori itu meramalkan bahwa energi elektron yang dilepaskan akan meningkat seiring dengan intensitas.

Pada tahun 1905, Einstein akhirnya memecahkan teka-teki efek fotolistrik dengan argumen bahwa cahaya dapat berperilaku baik sebagai partikel maupun sebagai gelombang. Energi partikel cahaya individu, yang dikenal sebagai foton, sebanding dengan frekuensi gelombang cahaya. Partikel foton dianggap mendorong elektron keluar dari logom. Namun, karena elektron terikat dengan logam secara longgar, energi atau frekuensi foton harus melebihi batas tertentu sebelum elektron dikeluarkan.

Gagasan Einstein dapat dikatakan menandai kelahiran fisika kuantum yang sebenarnya dan Einstein akan memenangkan Hadiah Nobel Fisika tahun 1921 untuk penemuan itu. Namun, sesaat setelah Einstein mengeluarkan makalah efek fotolistrik apda tahun 1905, tidak ada yang tahu persis apa yang harus dilakukan dari semua itu. Jika cahaya adalah sebuah partikel, bagaimana kita dapat merekonsiliasikannya dengan sifat gelombang? Bagaimana pula partikel menghasilkan pola interferensi seperti gelombang pada eksperimen Young? Tidak ada yang tahu saat itu.

Satu pemikiran awal datang dari fisikawan kenamaan Inggris, J. J. Thomson pada tahun 1907. Thomson sedang mempelajari ionisasi gas melalui penggunaan sinar ultraviolet, yang merupakan proses yang mirip dengan efek fotolistrik. Pada ionisasi gas, alih-alih cahaya menendang elektron dari logam, cahaya ultraviolet menendang elektron dari atom. Untuk merekonsiliasi masalah dualitas gelombang-partikel, Thomson menyarankan bahwa sifat partikel cahaya disebabkan oleh fakta bahwa energi sebenarnya dari suatu gelombang didistribusikan secara tidak merata di muka gelombang. Ada “tonjolan” energi kecil yang terkumpul rapat ketika intensitas cahaya tinggi, dan renggang ketika intensitas rendah.

Model Thomson memang tidak terumuskan dengan baik karena sekadar hipotesis kualitatif. Namun, sebagai implikasi alami hipotesisnya, pola interferensi yang dihasilkan dalam eksperimen Young seharusnya berasal dari interaksi banyak tonjolan energi kecil ini. Apa yang terjadi ketika hanya sedikit tonjolan yang berinteraksi dengan dua lubang kecil pada waktu tertentu? Thomson menyarankan bahwa pola interferensi harus terlihat sangat berbeda karena tidak ada cukup tonjolan di sekitar untuk ikut campur.

Pengujian hipotesis Thomson menjadi tantangan tersendiri. Sumber cahaya foton tunggal, yang umum sekarang ini dengan keberadaan laser canggih, tentunya masih belum ada pada awal abad ke-20. Bahkan, jika sumber cahaya semacam itu sudah ada, masih tidak ada detektor yang cukup sensitif untuk mendeteksi foton individual, yang menambah kesulitan pengukuran. Fisikawan Inggris lainnya yang bernama Geoffrey Taylor (1886-1975), salah satu mahasiswa Thomson, kemudian masuk ke dalam permasalahan ini.

Untuk membuat sumber cahaya berintensitas rendah, Taylor menempatkan layar kaca terasapkan (smoked glass) sebelum celah ganda. Tergantung tingkat pengasapannya, layar ini akan menyerap sebagian kecil cahaya yang melewatinya. Layar yang lebih terasapkan akan menyerap lebih banyak cahaya secara signifikan. Tidak jelas dari uraian Taylor apakah ia menggunakan beberapa layar terasapkan dengan tingkat pengasapan berbeda secara bersamaan atau sendiri-sendiri. Namun, dengan metode Taylor, tingkat pelemahan cahaya yang cukup tinggi dapat tercapai.

Trik Taylor memodifikasi eksperimen celah ganda Young.

Eksperimen ini membutuhkan cukup banyak kesabaran. Dengan lubang kecil yang ada, bahkan lebih sedikit cahaya yang mencapai pelat fotografi sehingga untuk mendapatkan foto pengamatan dari sumber cahaya paling redup Taylor harus menjalankan pencahayaan selama 3 bulan. Apa yang ditemukannya? Pola interferensi tetap sama, ada gelap dan ada terang! Pola ini tidak peduli dengan seberapa banyak intensitas cahaya dikurangi. Dengan demikian, hipotesis Thomson yang menduga kemunculan pola interferensi yang berbeda itu terbukti salah.

Jawaban yang memuaskan tidak diperoleh selama beberapa tahun, sampai pada masa tafsiran probabilistik dalam fisika kuantum dirumuskan. Dengan konsep probabilitas, saat ini kita memahami bahwa setiap foton bergerak melalui dua lubang kecil sebagai gelombang kontinu dan melewati kedua lubang bersama-sama. Namun, amplitudo gelombang ini hanya terkait dengan probabilitas partikel yang ditemukan pada titik tertentu dalam ruang. Ketika lokasi partikel diukur, seperti oleh layar pengamatan, partikel cahaya telah “memilih” lokasi yang tampak di layar sesuai dengan probabilitasnya.

Dengan demikian, foton individual akan muncul sebagai titik-titik pada layar detektor. Seiring semakin banyaknya partikel yang masuk melalui celah ganda, pada akhirnya pola inteferensi Young muncul di layar karena partikel-partikel ini menempatkan dirinya sendiri sesuai dengan amplitudo gelombang yang tinggi dan kemungkinan tidak muncul di tempat yang amplitudo gelombangnya rendah. Pada era Taylor, titik-titik foton seperti itu tidak teramati dengan jelas karena memang belum ada teknologi yang memungkinkan memperlambat foton datang satu per satu.

Belakangan, para ilmuwan bisa mengamati fenomena yang sama dengan menggunakan pancaran elektron, alih-alih foton. Contoh yang terkenal adalah eksperimen celah ganda untuk elektron yang dilakukan oleh sekumpulan ilmuwan Jepang di perusahaan Hitachi pada tahun 1989,  yang hasilnya menunjukkan pola interferensi yang sama. Dengan menembakkan elektron perlahan-lahan dan difoto setiap tahapnya, semakin banyak elektron datang, pola pita terang dan gelap menjadi jelas! Eksperimen ini kemudian diulang berkali-kali dengan foton dan hasilnya sama sehingga menguatkan konsep dualitas gelombang-partikel sesuai tafsiran probabilistik dalam fisika kuantum.

Gambar (a) hingga (e) menunjukkan akumulasi titik lokasi elektron yang tiba di layar. Sumber gambar: Wikipedia.

Perlu dicatat bahwa, pada tingkat filosofis yang mendalam, sampai hari ini kita masih belum benar-benar tahu apa artinya semua ini. Apakah dunia fisika ini acak, sebagaimana tafsiran probabilistik terhadap eksperimen celah ganda? Atau adakah faktor lain yang tak terlihat yang berperan yang hanya membuatnya tampak acak? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Namun, karya Taylor adalah salah satu upaya paling awal untuk mendamaikan dualitas gelombang-partikel yang tampaknya paradoks, sehingga layak menjadi tonggak penting dalam sejarah fisika kuantum.

Artikel ini merupakan saduran bebas dari salah satu artikel berbahasa Inggris di blog Prof. Gregory J. Gbur: https://skullsinthestars.com/2018/08/25/taylor-sees-the-feeble-light-1909/

Bahan bacaan:

Penulis:
Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University.
Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top