Kendati dianugerahi kecerdasan yang identik, dua orang siswa dapat menyandang status yang bertolak belakang. Siswa pertama dilabeli pandai, sedangkan siswa kedua dilabeli bodoh. Hal ini dikarenakan perbedaan efektivitas belajar yang dialami oleh kedua siswa tersebut. Siswa pertama belajar efektif, sedangkan siswa kedua belajar tidak efektif.
Tingkat efektivitas belajar yang akhirnya mengangkat status siswa menjadi pandai atau justru mendegradasi status siswa menjadi bodoh, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Setidaknya ada lima faktor internal yang memengaruhi efektivitas belajar, yakni bakat, minat, kecerdasan, gaya belajar, dan usia. Sementara itu, di antara faktor eksternal yang memengaruhi efektivitas belajar adalah guru, karakteristik pelajaran, waktu, metode pembelajaran, dan lingkungan.
Faktor internal
Bakat. Ketika seseorang mempelajari ilmu sesuai dengan bakatnya, bisa muncul akselerasi pada orang itu, atau percepatan hasil belajar. Sebaliknya, ketika seseorang mempelajari ilmu yang tidak sesuai bakatnya, biasanya ia mengalami hambatan. Ibaratnya, seekor ikan yang belajar berenang akan lebih cepat dibandingkan belajar memanjat karena ikan memang berbakat berenang.
Minat. Minat siswa mempengaruhi suasana psikis ketika mempelajari suatu ilmu. Indikasi seseorang berminat pada suatu pelajaran adalah antusiasme yang ditunjukkan ketika sedang mengikuti pembelajaran pelajaran tersebut. Sebaliknya, pasifisme (bersikap pasif) atau antipati merupakan indikasi nyata ketiadaan minat seseorang pada suatu pelajaran.
Kecerdasan. Sebagaimana terlihat pada hasil tes IQ, ada perbedaan tingkat kecerdasan antara satu siswa dengan siswa lain. Perbedaan ini berimplikasi juga pada kecepatan belajar. Ibaratnya, mobil yang kapasitas mesinnya lebih besar tentu lebih cepat dibandingkan mobil yang kapasitas mesinnya lebih kecil.
Gaya belajar. Secara garis besar, gaya belajar siswa terbagi menjadi tiga: visual (penglihatan), auditori (pendengaran) dan kinestetik (praktik). Semakin banyak gaya belajar yang dimiliki siswa, semakin besar peluangnya memperoleh hasil belajar yang lebih efektif karena siswa tersebut memiliki banyak saluran untuk belajar.
Usia. Ketika berusia anak-anak atau remaja, belajar dengan metode hafalan lebih efektif. Sementara itu, ketika berusia dewasa, belajar dengan metode diskusi lebih efektif.
Faktor eksternal
Guru. Tidak jarang seorang siswa berhasil meraih prestasi belajar disebabkan kemampuan guru yang mampu menyulut motivasi belajar siswa. Sebaliknya, guru yang “adem-ayem-kurang bergairah-bin-monoton” bisa memadamkan motivasi belajar siswa, sehingga belajar tidak efektif.
Karakteristik pelajaran. Pelajaran yang menuntut hafalan biasanya lebih ringan dibandingkan pelajaran yang menuntut pemahaman.
Waktu. Semakin kondusif waktu pembelajaran, semakin efektif pula hasil pembelajaran. Semisal pagi hari merupakan waktu yang bagus untuk belajar, sedangkan waktu siang lebih bagus digunakan untuk beristirahat.
Metode pembelajaran. Faktor ini meliputi aspek teknik dan media. Teknik berhubungan dengan dimensi guru, sedangkan media berhubungan dengan dimensi alat. Teknik ceramah yang disertai dengan media audio-visual lebih efektif dibandingkan penggunaan teknik ceramah tanpa disertai media ataupun penggunaan media audio-visual tanpa diiringi teknik ceramah.
Lingkungan. Baik lingkungan fisik maupun psikis sama-sama berpengaruh terhadap efektivitas belajar. Penataan ruangan yang baik-rapi-indah mempengaruhi kenyamanan belajar, sehingga belajar lebih efektif. Demikian pula, lingkungan yang diisi oleh insan-insan yang memiliki etos belajar tinggi, tentu lebih memotivasi siswa untuk belajar dibandingkan lingkungan yang dipenuhi orang-orang yang etos belajarnya rendah.
Pandai atau bodoh
Menilik banyaknya faktor yang menyebabkan seorang siswa menyandang status pandai atau bodoh, tidak bijak jika kesalahan ditimpakan kepada siswa semata. Penulis sepakat dengan pandangan bahwa “tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang malas”.
Ada siswa yang malas menghadiri kelas, sehingga dia kerap absen atau terlambat mengikuti pelajaran. Ketika sudah masuk kelas, ada siswa yang malas membuka mata dan telinga, sehingga dia tidur, tertidur atau tidur-tiduran di kelas. Kendati mata dan telinga sudah terbuka, masih ada siswa yang malas membuka pikirannya, sehingga pelajaran hanya sekedar “numpang lewat”, masuk ke telinga kanan, keluar dari telinga kiri, tanpa ada bekas pelajaran di otak. Ada pula yang indra dan akalnya sudah terbuka, namun hatinya tertutup, semisal membenci guru yang mengajar, sehingga hasil belajar pun tidak efektif, karena dia belajar dengan setengah hati.
Dengan demikian, apabila seorang siswa ingin menyandang status pandai, terlebih dahulu dia perlu menanamkan mentalitas “rajin”. Rajin meliputi keaktifan masuk kelas, serta membuka mata, telinga, pikiran dan hati ketika mengikuti pelajaran. Selain itu, siswa perlu menyesuaikan strategi belajarnya berdasarkan bakat, minat, kecerdasan, gaya belajar dan usia yang dimiliki. Catatan lain yang perlu ditanamkan kepada siswa adalah bahwa kepandaian dan kebodohan itu bersifat dinamis. Artinya, status pandai tidak bersifat statis (tetap).
Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Ketika seseorang merasa dirinya pandai, sesungguhnya dia itu bodoh”. Hal ini dikarenakan orang yang merasa dirinya pandai, akan berhenti untuk belajar, sehingga pada akhirnya dia akan “ketinggalan kereta” yang ujung-ujungnya adalah menyandang status “bodoh”. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, lalu dia belajar dengan rajin, maka akan terjadi peralihan status, dari bodoh menjadi pandai. Di sinilah letak signifikansi konsep “lifelong education” atau belajar seumur hidup, yaitu belajar sejak dari buaian hingga liang lahat.
Terkait era digital yang ditandai dengan ilmu pengetahuan yang semakin bercabang-cabang, siswa dituntut untuk bergegas memilih fokus keilmuan yang didalami. Tanpa fokus, siswa hanya akan “tahu sedikit akan banyak hal”. Dengan fokus, siswa akan “tahu banyak akan sedikit hal”. Ilustrasinya, siswa yang menggali 10 (sepuluh) lubang dalam waktu 1 jam akan menghasilkan kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan siswa yang menggali 1 (satu) lubang dalam waktu 1 jam. Saat ini bukan zamannya tokoh ensiklopedis yang pandai beragam ilmu pengetahuan, melainkan zamannya tokoh spesialis yang pandai satu atau beberapa ilmu pengetahuan.
Bahan bacaan:
- Santrock, John W.. 2011. Educational Psychology. New York: McGraw-Hill.
- Chatib, Munif. 2014. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa.
- Asy’ari, Hasyim. 2017. Pendidikan Karakter khas Pesantren. Penerj. Rosidin. Tangerang: Tsmart.
Penulis:
Dr. Rosidin, dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) di Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Kontak: mohammed(dot)rosidin(at)gmail(dot)com.