Zaman berubah. Tentu saja, zaman berubah, siapa pula yang akan membantah? Kita mungkin tak menyaksikan, bagaimana generasi kakek-nenek kita dahulu berjuang dalam menempuh pendidikan yang mungkin tak kita rasakan, mengguratkan perjuangan yang mungkin takkan kuat kita lakukan. Kita mungkin juga menyaksikan, bagaimana generasi ayah dan ibu kita, berinteraksi dalam keseharian, beranjak dalam berbagai keterbatasan. Namun, bagaimanapun, pada kenyataannya kita tetap tak menyangsikan ada perubahan.
Ada perubahan pada pepohonan yang ranting-rantingnya makin bercabang, batang-batangnya makin kokoh, daun-daunnya makin luas. Ada perubahan pada mobil tua yang dibiarkan di parkiran entah sejak kapan, dengan cat yang terus mengelupas, dengan karat yang terus membuas. Ada perubahan pada wajah-wajah lama dalam ingatan, dengan sinar mata yang tak lagi tajam, detail kulit yang tak lagi lembut. Ada perubahan yang menimbulkan perbedaan.
Tanpa perlu menelisik contoh-contoh ekstrem yang bertebaran kisahnya di sekeliling, ada juga perubahan yang menyelinap masuk dalam citraan paling sederhana. Perlahan menyebar, nyaris tanpa terasa indra. Tanpa disadari, apa yang lazim dikenali di masa lalu, kini menjadi objek yang asing. Perubahan hanya terasa jika kita melihat ke belakang, dan membandingkan dengan kondisinya saat ini.
Masih ada dalam ingatan, bagaimana kantin sekolah senantiasa ramai oleh kerumunan anak-anak di masa istirahat, merogoh selembar-dua lembar rupiah demi membeli kemasan makanan ringan. Penuh semangat, para siswa yang masih bocah memesan makanan ringan favorit mereka, sembari sesekali menceletukkan kata-kata kasar yang ditujukan pada sang penjual. Betul, terdengar tidak beradab, dan lebih pelik lagi ketika yang memperkenalkan kata-kata kasar terkait ke para siswa adalah sang pedagang sendiri.
Wajah-wajah sumringah itu memborong berbungkus-bungkus makanan, untuk dihabiskan beramai-ramai di dalam kelas. Sayangnya, waktu istirahat yang sama juga dimanfaatkan oleh para siswi untuk bermain di depan kelas. Entah bermain bekel, atau engklek, dua permainan ini masih cukup populer di masa penulis kecil dulu. Sesekali kerusuhan kecil muncul ketika para siswa berusaha menerobos kumpulan siswi yang sedang melombat-lompati petak ubin, untuk segera memakan camilan mereka.
Jika cukup serius, keributan pecah hingga ada yang menangis, dan bubar ketika ada guru yang mendatangi sembari geleng-geleng kepala. Ya, para siswa yang kelaparan dan kebanyakan duit itu segera menghabiskan camilan yang baru ia beli. Entah makan ramai-ramai, sendiri-sendiri, atau menggagahi jatah camilan teman lain yang kurang beruntung.
Satu hal yang relatif kompak dilaksanakan oleh mereka, ketika pertama kali membuka kemasan, mereka keluarkan suvenir kecil berupa mainan atau strip komik kecil yang terbungkus plastik. Ketika sedang masanya mainan yang trendi, dengan sigap arena pertandingan disiapkan. Satu per satu siswa mempertunjukkan keahlian bermain mereka masing-masing, sesekali dibumbui sorak sorai dan gerutuan. Tiga puluh menit waktu istirahat yang menyenangkan.
Mereka bertumbuh besar, dan permainan mereka meningkat ke level teknologi. Mungkin beberapa dari teman-teman ada yang masih familiar dengan “N-Gage“, merek salah satu ponsel semi-konsol yang menjadi gandrungan berbagai kalangan di paruh awal tahun 2000-an. Salah satu produk pamungkas Nokia yang berhasil mempersatukan beberapa anak untuk melakukan kompetisi multiponsel. Bagaimana caranya? Ada Bluetooth, suatu teknologi yang memungkinkan terhubungnya dua atau lebih “konsol” demi kepentingan bersama. Sebuah teknologi yang serasa magis, tetapi tak banyak dipedulikan oleh anak-anak zaman itu. Yang penting bermain dan bermain. Meskipun sampai lupa waktu, lupa tugas, lupa makan. Semoga sih tidak lupa diri.
Saat ini, dengan teknologi yang makin canggih merambah makin jauh, permainan anak-anak yang akrab dulu mungkin tidak lagi akrab bagi para siswa-siswi yang mengecap pendidikannya saat ini. Entah bagaimana jika mereka membandingkan masa-masa kehidupan generasi 2000-an awal dengan mereka saat ini. Demikian pula sebenarnya jika generasi 2000-an membandingkan bahan permainannya dengan generasi 1990-an, atau 1980-an, dan seterusnya. Saat ini, anak-anak SD bahkan sudah cukup akrab dengan layar sentuh, sesuatu yang masih terlalu istimewa bagi penulis ketika pertama kali memergokinya di toko ponsel sekitar 10 tahun yang lalu.
Keberadaan internet dan media sosial juga semakin membuat zaman terasa cepat sekali berubah. Gavin, sang komikus ZenPencils.com, pernah menuangkan ide media sosial dengan mengadaptasi kutipan Marc Maron dalam karyanya. Dalam komiknya, dunia digambarkan dengan gradasi putih-hitam-biru yang monoton, identik dengan warna monoton yang senantiasa menghiasi akun media sosial kita yang paling populer.
Secara umum, Marc Maron menyatakan bahwa mereka yang menggilai promosi diri via media sosial itu seperti anak kecil yang merengek meminta perhatian. Bahkan, mereka yang mencandui perhatian di media sosial itu mirip dengan pecandu narkoba. Alih-alih jarum suntik di lengan, yang mereka candui adalah notifikasi “like” yang satu demi satu bermunculan dengan rajin dalam ajang promosi dirinya.
Makna jarak seolah pudar bersama tumbuhnya dunia maya sebagai katalisator utama era globalisasi. Di zaman dulu, boleh beredar banyak kisah pahit, ketika kebahagiaan bersama terhenti di tengah jalan akibat perpisahan. Saat ini, meskipun banyak kepahitan serupa diedarkan, pahitnya mungkin sudah demikian pudar dengan berbagai aplikasi obrolan sebagai obat penawar.
Jika boleh dibilang, salah satu jasa terbesar era globalisasi adalah mendekatkan yang jauh. Jaringan komunikasi yang sudah sedemikian solid memudahkan kita mengakses berita dari penjuru dunia yang lain, yang mungkin benar-benar baru saja terjadi. Jaringan komunikasi yang solid jugalah yang kemudian mempertemukan wajah-wajah lama yang bahagia meski menua, bernostalgia mengenang masa muda yang telah lama lewat.
Di sisi lain, sebagaimana hampir segala hal lainnya di dunia, perkembangan teknologi memiliki beragam dampak negatif. Jika dikaitkan ke pembicaraan di atas, selain mendekatkan yang jauh, kemudahan teknologi saat ini bisa pula menjauhkan yang dekat, bahkan bisa memutus tali silaturahmi. Berawal dari individu yang terlalu larut dalam dunia mayanya sendiri hingga lupa orang sekitar yang dekat dengannya. Tentu tak ada manfaatnya ketika beberapa individu bertemu dan berkumpul jika kemudian masing-masing tangan sibuk menyangga jempol untuk menggeser beranda akun media sosial masing-masing.
Sebagaimana kita mungkin sadari secara naluriah, manusia selalu membutuhkan interaksi nyata dengan kehidupannya. Di saat interaksi langsung tak memungkinkan, interaksi memanfaatkan kebolehan teknologi yang ada memang mempermudah banyak hal. Yang penting dalam mengelola hal ini, sebagaimana banyak hal lainnya, adalah keseimbangan. Dan keseimbangan memang tidak semudah kedengarannya untuk dicapai, termasuk oleh penulis sendiri.
Dan perlu diingat pula, tetap saja, zaman senantiasa berubah. Tak peduli apakah manusia-manusia yang dilewatinya berjalan mengikutinya, melampauinya, atau tertinggal di belakangnya.
Bahan bacaan:
Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.