Indonesia memiliki banyak sekali ‘koleksi’ penyakit. Mulai dari penyakit yang banyak menjadi perhatian dunia (HIV) sampai ke penyakit yang cenderung hanya ada di negara-negara tertinggal (neglected disease seperti demam berdarah). Nah, kali ini kita akan membahas sesuatu yang keren mengenai penyakit yang mungkin namanya sudah sering kita dengar: Malaria. Penyakit ini ‘hebat’, ia pernah menjadi perhatian utama WHO pada masa lalu dengan program yang dicanangkannya: pemberantasan malaria. Meskipun berujung pada kegagalan, setidaknya program tersebut sudah berhasil menanggulangi malaria di beberapa daerah.
Sebelum membahas malaria lebih lanjut, yuk kita segarkan lagi ingatan kita, terutama bagi yang sudah pernah mempelajari tentang penyakit malaria. Apa sih penyebab malaria? Lalu, seberapa penting kita mempelajari ilmu tentang penyakit yang satu ini?
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bernama Plasmodium sp. Ada beberapa jenis (spesies) parasit di Indonesia yang dapat menginfeksi, yaitu P. falciparum, P. vivax, P. ovale, P. malariae, dan P. knowlesi. Plasmodium bisa menyebar dari satu orang ke orang lainnya bukan dengan kontak langsung, melainkan melalui perantara nyamuk.
Di perut nyamuk Anopheles sp. si parasit Plasmodium ini mengalami siklus seksual. Setelah melalui beberapa fase perkembangan, ia bisa masuk ke tubuh kita melalui air liur inangnya yang turut diinjeksikan ketika menggigit kita. Nah, sporozoit Plasmodium yang masuk ke darah manusia ini akan menginfeksi sel hati (siklus eksoeritrositik) yang kemudian menyebabkan sel hati pecah dan mengeluarkan banyak merozoit plasmodium.
Selanjutnya, merozoit akan menginfeksi sel darah merah dan masuklah parasit ke siklus sel darah merah. Demikianlah berulang-ulang hingga ada nyamuk yang ‘mengambil’ Plasmodium ini untuk ditularkan ke manusia lain. Oya, harus diingat bahwa nyamuk hanya mengambil sebagian kecil lho ya, jadi bukan berarti jika sudah diambil nyamuk penyakitnya akan sembuh.
Indonesia memiliki banyak daerah endemis malaria. Mau lihat?
Bisa dilihat, beberapa daerah masih memiliki API yang melebihi API nasional. Bahkan, jika dilihat dari grafik yang disajikan di atas jumlahnya berbeda sangat jauh. Itupun sebenarnya API nasional sudah pernah turun pada 2011. Kematian yang disebabkan malaria tak bisa dibilang sedikit. Pada tahun 2010 didapati 432 kasus kematian karena malaria.
Dari banyaknya kejadian baru malaria di Indonesia, bisa kita simpulkan bahwa ilmu tentang malaria akan menjadi sangat penting. Penulis pernah mendengar cerita dari seorang dokter yang pernah praktik di daerah dengan API yang tinggi. Ternyata penduduk di daerah tersebut rata-rata memiliki limpa yang lebih besar dari normal akibat dari infeksi parasit malaria di dalam darah. Limpa yang besar ini sangat berbahaya karena memiliki resiko rupture (pecah) tinggi. Jika limpa pecah, perdarahan bisa terjadi di dalam perut dan akan mengancam kesehatan pemiliknya.
Oke, berikut ini satu lagi fakta yang menjadi pendukung pentingnya ilmu tentang malaria. Tahukah sobat pembaca bahwa Plasmodium di Indonesia sudah resisten terhadap obat standar untuk pengobatan malaria, yaitu chloroquine? Resisten di sini bermakna tidak mempan lagi dengan pengobatan tertentu, jadi organisme tersebut jadi semakin kuat dan tahan obat! Kasus ini pertama kali ditemukan di Kalimantan Timur pada tahun 1973 dan ternyata bukannya makin membaik, keadaan ini semakin parah pada 1990 dengan meluasnya kejadian resistensi chloroquine ke semua provinsi di Indonesia. Bahayakah? Ya iya bahaya lah, njuk nanti jika sakit diobati dengan apa?
Sejarah baru
Dialah Youyou Tu, seorang peneliti dari Cina yang ditugaskan oleh pemerintah negaranya untuk menemukan terapi baru akibat kegagalan program eradikasi malaria pada tahun 1960-an. Pada akhir dekade tersebut, ia mulai meneliti tentang obat-obatan herbal (jamu) yang sudah biasa digunakan di Cina. Dalam penelitiannya, ia dan timnya menyeleksi lebih dari 2.000 resep dan 380 ekstrak herbal untuk diujicobakan pada tikus yang terinfeksi malaria.
Salah satu kandidat sumber obat baru tersebut adalah herbal yang berasal dari tanaman Artemisia annua. Tanaman tersebut diketahui biasa digunakan untuk mengobati demam berulang, salah satu tanda terinfeksi malaria. Setelah meneliti lebih lanjut, ia akhirnya berhasil mengekstrak senyawa yang merupakan zat aktif dari tanaman tersebut, yang kemudian diberi nama artemisinin.
Youyou Tu merasa memiliki tanggung jawab yang besar sebagai kepala dari grup peneliti. Ia pun menjadikan dirinya subjek manusia pertama untuk membuktikan keefektifan senyawa tersebut dalam mengobati malaria. Beruntungnya, ia selamat dan obat tersebut bekerja dengan baik. Uji coba dengan manusia selanjutnya pun dilakukan. Hasil kerja Tu dan tim dipublikasikan tanpa nama pada tahun 1977 dan penelitiannya berkaitan dengan artemisinin dipresentasikan pada sebuah petemuan dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1981.
Apa sih artemisinin itu?
Artemisinin termasuk ke dalam golongan sequisterpene lactone endoperoxide karena tersusun atas 3 cincin isoprenoid dan bisa menjadi radikal bebas jika terpisah bagian-bagiannya. Senyawa ini bekerja dengan cara bereaksi dengan heme, kemudian bagian bagian penyusunnya terlepas dan menjadi radikal bebas. Radikal bebas tersebut akan bereaksi dengan membran sel parasit—dalam hal ini Plasmodium, meskipun bisa juga yang lain―yang menyebabkan sel parasit lisis dan matidi dalam sel darah merah.
Obat ini juga menghambat kalsium ATP-ase (sebuah protein yang berguna untuk mentransfer kalsium di tubuh parasit) sehingga merusak fisiologis tubuh parasit. Sebagai informasi tambahan, selain bisa membunuh Plasmodium, ada penelitian yang menemukan bahwa obat ini memiliki aktivitas melawan cacing, yaitu cacing Schistosoma japonicum (cacing penyebab Schistosomiasis).
Artemisinin diketahui 10 kali lebih kuat dibandinglam obat malaria lainnya ketika diuji secara in vivo (langsung di tubuh makhluk hidup) dan tidak memiliki resistensi silang dengan obat lain. Suatu obat dikatakan memiliki resistensi silang jika ia mendorong resistensi pada obat lain di kelas yang sama. Nah, pada artemisinin tidak ditemukan hal tersebut. Resistensi silang bisa terjadi jika dua obat yang berbeda memiliki site of action yang sama pada target. Jadi, jika diblok di satu tempat (site), dua obat yang kerja di tempat tadi tidak bisa berfungsi lagi.
Meskipun artemisinin sampai saat ini diketahui tidak memliki resistensi silang, untuk menjaga agar tidak terjadi resistensi terhadap artemisinin, ia hanya boleh diresepkan di lokasi-lokasi yang Plasmodium-nya sudah resisten terhadap banyak obat (multidrug resistance, MDR). Untuk meningkatkan kemanjuran obat dengan efek sesuai yang kita inginkan, dibuatlah analog dari artemisinin: artesunate, artemether, dan dihydroartemisinin. Semua bentuk obat tadi, yaitu artemisinin, artesunate dan artemether akan diubah oleh sistem tubuh kita menjadi dihydroarteimisinin, zat aktif dari obat golongan ini.
Artemisinin bekerja sangat baik dengan membunuh parasit aseksual dalam darah, terutama yang dalam bentuk skizon (sebelum sel darah merah pecah dan melepaskan merozoit) tapi tak bisa membunuh parasit eksoeritrositik (lihat paragraf keempat, ya). Obat ini sangat larut dalam lemak dan mudah menembus membran sel darah merah serta membran parasit.
Bagaimana dengan analog-analog yang banyak tadi? Nah analog yang tadi disebutkan beda cerita ya, artesunate dan dihydroartemisinin itu larut dalam air. Itulah sebabnya artesunat dapat diberikan dengan injeksi lewat darah, sedangkan artemisinin tidak. Tapi mengapa kita tidak sakit oleh radikal bebas yang dihasilkan dari obat ini? Hal itu terjadi karena sel yang terinfeksi akan cenderung mengkonsentrasikan artemisinin di dalam sel nya hingga 100 kali lipat dari sel darah merah yang tak terinfeksi oleh Plasmodium.
Artemisinin sangat cepat dihilangkan dari darah oleh proses normal tubuh sehingga artemisinin tidak bisa digunakan dalam monotherapy (hanya menggunakan artemisinin) dan profilaksis (pengobatan pencegahan). Terapi dengan artemisinin juga harus diakukan dengan jangka waktu yang lama. Untuk meningkatkan efektifitas terapi, biasanya terapi malaria dilakukan dengan terapi kombinasi.
Di Indonesia sendiri obat yang digunakan sebagai pilihan pertama adalah kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin (DHAP) dan primakuin. Mengapa harus dikombinasikan? Ini untuk menghindari kejadian resistensi terhadap obat ini, dan sebagaimana disebutkan tadi, ia cepat hilang dari peredaran darah, sehingga diberi ‘teman’ yang tahan lama berada di dalam darah yaitu piperakuin. Ditambah lagi, dari studi klinis juga ditemukan hasil yang sangat signifikan dengan dikombinasikannya dua obat tadi. Primakuin dalam kombinasi ini digunakan untuk membasmi parasit yang ada di dalam hati (masih ingat kan, Plasmodium awalnya masuk ke sel hati, baru kemudian ke sel darah merah).
Wah, penjelasannya panjang ya. Intinya, betapa hebatnya Tuhan sudah menyediakan banyak hal untuk kita termasuk menyediakan obat untuk berbagai penyakit yang mungkin menimpa manusia. Tinggal kita yang harus terus berusaha untuk menemukan apa obat itu dan di mana ia berada untuk kesejahteraan umat manusia.
Lihat saja, bu Youyou Tu ini meneliti obat yang memang sudah sering digunakan di Cina sejak 2000 tahun yang lalu sebagai penurun demam. Karena beliau yang pertama membuktikan kemanjuran dan manfaat bahkan sampai megisolasi komponen paling pentingnya, jadi deh beliau yang mendapatkan hadiah Nobel dan dinobatkan sebagai penemunya.
Sedikit lagi catatan akhir dari penulis. Suatu ketika pernah ada salah satu anggota komite Nobel datang ke kampus penulis. Beliau menegaskan bahwa penelitian yang mendapat Nobel adalah penelitian yang terutama memiliki manfaat yang sangat besar bagi umat manusia, tak peduli dari negara mana pun penelitian itu berasal. Hal yang terpenting adalah HARUS ada tulisan yang dapat membuktikannya (jurnal atau press release). Jadi beliau berpesan: Menulislah! Publikasikan apa yang kita temukan. Mari kita semangat menulis ya rekan-rekan sekalian. Indonesia Go International!
Bahan bacaan:
- http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/2015/press.html
- Moore, T.A., 2010. Pharmacology of Agents Used To Treat Parasitic Infections. In D. L. Kasper & A. S. Faucy, eds. Harrison’s Infectious Disease. McGraw-Hill Medical, p. 1060.
- Rosenthal, P.J., 2012. Antiprotozoal Drugs. In B. G. Katzung, S. B. Masters, & A. J. Trevor, eds. Basic & Clinical Pharmacology. McGraw-Hill Medical, pp. 920–921.
- Murray, P.R., Rosenthal, K.S. & Pfaller, M.A., 2013. Medical Microbiology 7th ed., Philadelphia: Elsevier Saunders.
- Guideline Penanganan Malaria RSUP Dr. Sardjito
Penulis:
Parangeni Muhammad Lubis, Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kontak: parangeni.m.l(at)gmail(dot)com.