Konflik Remaja dan Orang Tua dalam Keluarga

Sebagai makhluk sosial, hubungan satu manusia dengan manusia lainnya tidak selalu berlangsung mulus. Terkadang ada saja gesekan yang diakibatkan perbedaan cara pandang atau pemikiran individu yang berbeda. Kemampuan menghadapi konflik semacam itu menjadi hal yang sangat penting dimiliki, terutama bagi anak-anak usia remaja dan orang tuanya. Dalam tulisan ini, mari kita lihat beberapa konflik yang dapat menimpa remaja dalam suatu keluarga. Dengan mengetahui bentuk-bentuk konflik yang mungkin terjadi, mudah-mudahan kita dapat meminimalkan konflik yang berpotensi pada perpecahan.

Remaja awal merupakan waktu ketika konflik antara remaja dan orang tua meningkat tajam. Biasanya ini terjadi bersamaan dengan perubahan fisik dan kemampuan daya pikir anak yang berkembang dan menemukan cara pandang baru. Peningkatan konflik ini sebaiknya ditangani dengan diskusi seiring perkembangan kematangan orang tua dan remaja seperti dalam perubahan biologis saat pubertas, perubahan kognitif meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan identitas, dan perubahan sosial pada orang tua yang memasuki usia dewasa madya.

Banyak konflik yang meliputi kejadian keseharian kehidupan keluarga seperti membersihkan kamar, kerapian berpakaian, jam pulang, hingga tidak berbicara di telepon selamanya. Pada masa remaja awal, konflik jarang melibatkan masalah seperti obat-obatan dan penyimpangan. Dalam salah satu penelitian oleh Laursen pada tahun 1995, remaja awal lebih banyak mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap ibu daripada teman, pacar, saudara, ayah, atau orang dewasa lainnya. Penelitian lainnya yang mengambil sampel beberapa SMA menunjukkan bahwa konflik paling banyak terjadi dengan ibu, dan mayoritas terjadi antara ibu dan anak perempuan.

Montemayor pada tahun 1992 memperkirakan bahwa pada 20% keluarga dari 4-5 juta keluarga di Amerika, terjadi konflik berkepanjangan antara orang tua dan remaja yang terus-menerus, berulang-ulang, dan konflik yang tidak sehat. Dari konflik berkepanjangan itu, intensitas konflik dengan jumlah remaja yang lari dari rumah, kenakalan remaja, jumlah dikeluarkan dari sekolah, kehamilan, dan pernikahan dini, keanggotaan sekte sesat, dan penggunaan obat-obatan.

Salah satu penelitian oleh Judith Smetana pada tahun 1997 mengungkapkan bahwa konflik orang tua dan remaja dapat diselesaikan dengan mempertimbangkan perubahan sosial kognitif remaja yang berhubungan dengan perbedaan pendekatan orang tua dan remaja dalam menentukan pendirian. Misalnya dalam pemilihan pakaian yang dikenakan remaja, orang tua dapat memberikan masukan dengan baik, tetapi tidak harus sampai memaksa.

Ada kemungkinan pula pengaruh budaya dan agama yang dapat mengurangi konflik. Reed Larson pada tahun 2001 mempelajari remaja status ekonomi menengah dan keluarganya di India dan ia menemukan bahwa hanya sedikit konflik yang terjadi. Padahal, keluarga-keluarga yang ditelitinya termasuk pada keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter. Larson juga mengamati bahwa di India tidak terjadi perpecahan ketika orang tua memilihkan pasangan pernikahan untuk remaja. Contoh lain pengaruh budaya adalah tingkat konflik di Jepang yang lebih rendah dari Amerika.

Peningkatan kebebasan sebagian remaja kerap dianggap oleh para orang tua sebagai pemberontakan. Namun, secara psikologis, keluarga yang sehat menyesuaikan dorongan pada remaja untuk mencapai kebebasan dengan memperlakukan remaja dengan cara lebih dewasa dan lebih melibatkannya dalam pengambilan keputusan keluarga. Sementara itu, keluarga yang tidak sehat secara psikologis lebih sering mengungkit-ungkit kekuasaan orang tua.

Pencarian jati diri remaja dan otonomi juga kerap menimbulkan kebingungan dan konflik bagi banyak orang tua. Satu aspek penting dalam otonomi adalah otonomi emosi, yang merupakan kapasitas melepaskan ketergantungan seperti anak kecil kepada orang tua. Peningkatan otonomi pada remaja terkadang membuat sosok orang tua seperti orang lain di luar keluarga. Perbedaan gender biasanya memberikan otonomi lebih bebas pada remaja pria dari pada remaja perempuan. Perbedaan gender ini ditemukan pada keluarga tradisional yang menerapkan peran gender.

Pola asuh otoriter biasanya berhubungan dengan rendahnya otonomi remaja. Sementara itu, pola asuh demokratis biasanya berhubungan dengan meningkatnya otonomi remaja. Dalam hal ini, pencapaian otonomi remaja sering beragam sesuai budaya, orang tua, dan remaja sendiri. Sebagai contoh, otonomi dini pada remaja lebih banyak terjadi pada masyarakat kulit putih.

Banyak pula kaum muda mengalami masa otonomi pada saat meninggalkan rumah untuk kuliah. Mahasiswa biasanya lebih memperlihatkan ketergantungan secara psikologis pada orang tuanya dan kurang bergaul dibandingkan kakak kelasnya. Kemudian, mahasiswi secara umum lebih memiliki ketergantungan secara psikologis dari pada mahasiswa. Menariknya, penelitian dari Holmbeck dkk pada tahun 1995 menunjukkan bahwa mahasiswa yang pergi jauh dari rumah untuk kuliah justru merasa lebih dekat dengan ibunya, sedikit konflik dengan orang tua, dan lebih bisa mengambil keputusan dan otonomi dari pada mahasiswa yang tinggal di rumah.

Konflik antara remaja dan orang tua di rumah terkadang berujung pada kaburnya remaja dari rumah. Secara umum, remaja yang lari dari rumah disebabkan ketidaknyamanan mereka berada di rumah. Banyak yang pergi dari rumah karena penyiksaan orang tua atau orang dewasa lainnya. Ada pula orang tua pecandu obat atau alkoholik. Pada beberapa kasus, bisa jadi karena orang tua tidak mampu menafkahi dengan baik. Orang tua yang cepat marah maupun orang tua yang gagal memberikan perhatian pada remaja juga menjadi penyebab kaburnya remaja dari rumah.

Remaja yang kabur dari rumah bukan hanya dari kalangan sosial ekonomi lemah. Pada kalangan sosial ekonomi menengah, biasanya remaja memutuskan untuk kabur dari rumah ketika sudah lelah dengan orang tua yang bermuka dua, orang-orang yang mengaturnya, sedangkan mereka hidup dengan bebas dan idealisme-idealisme yang salah.

Kabur dari rumah sering kali merupakan proses yang bertingkat. Mulanya remaja jarang di rumah dan lebih banyak di jalan atau dengan teman. Orang tua biasanya mengingatkan tapi mereka tidak mengerti kenapa harus di rumah dan mengapa orang tua harus peduli mereka.

Beberapa teori sempat diungkapkan para peneliti untuk meminimalkan konflik orang tua dan remaja. Salah satunya adalah teori kelekatan yang diajukan oleh Mary Ainsworth pada 1979 dan John Bowlby pada 1989. Mereka mengatakan bahwa kelekatan anak dan orang tua pada masa balita merupakan pokok pada perkembangan kemampuan sosial anak ketika kelak beranjak remaja. Para peneliti lainnya, misalnya Lieberman dkk. pada 1999, menyatakan bahwa kelekatan di masa tersebut berhubungan positif dengan relasi teman sebaya dan pertemanan.

Pada akhirnya, konflik antara remaja dan orang tua selalu dapat dipecahkan jika komunikasi antara mereka berlangsung dengan baik dan terbuka. Kondisi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya tidak bisa dipukul rata. Berbagai faktor yang telah diungkapkan, seperti kondisi fisik, budaya, agama, kelekatan, sangat berpengaruh dalam resolusi konflik remaja dan orang tua.

Bahan bacaan:

  • Laursen, B. “Conflict and social interaction in adolescent relationships.” Journal of Research on Adolescence, 5, 55-70 (1995).
  • Montemayor, R., Adams, G. R., Gullotta, T. P. “Personal relationships during adolescence.” Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc. (1994).
  • Smetana, J. G. “Parenting and the Development of Social Knowledge Reconceptualized: A Social Domain Analysis.” New York: Wiley (1997). http://www.researchgate.net/publication/232431491
  • Larson, R., Verma, S., dan Dworkin, J. “Adolescents’ family relationships in India: The daily lives of Indian middle-class teenagers.” Abington, MA: Prentice Hall (2001).
  • Larson, R. W., Richards, M. H., Moneta, G., Holmbeck, G., dan Duckett, E. “Changes in adolescents’ daily interactions with their families from ages 10 to 18: Disengagement and transformation.” Developmental Psychology, 32, 744-754 (1996).
  • Seputar teori kelekatan (Ainsworth dan Bowlby):
  • Lieberman, M., Doyle, A., Markiewicz, D. “Developmental patterns in security of attachment to mother and father in late childhood and early adolescence: Associations with peer relations. Child Development, 70, 203-213 (1999).

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, saat ini bertempat tinggal di Sendai, Jepang.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top