Senjata Pembunuh dari Bangsa Fungi

Teman-teman, sebagaimana telah diketahui bersama berdasarkan letak geografisnya, Indonesia termasuk dalam kelompok negara beriklim tropis. Karakter yang menonjol dari negara tropis di antaranya adalah suhu udara harian yang cukup tinggi, sekitar 25-32°C dan kelembapan relatif udara yang tinggi pula, yakni di atas 78%. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi bidang pertanian kita. Ditambah lagi dengan curah hujan yang tinggi, lama penyinaran matahari yang optimal, serta perubahan cuaca yang tidak terlalu ekstrim, memungkinkan sebagian besar komoditas tanaman dapat tumbuh dengan baik.

Namun demikian, bukan berarti kondisi tersebut berlangsung tanpa risiko. Temperatur serta kelembapan udara yang tinggi merupakan kondisi yang baik pula bagi pertumbuhan fungi atau yang lebih biasa dikenal sebagai kapang atau jamur. Fungi merupakan organisme eukariotik heterotrof yang mencerna makanannya di luar tubuh lalu menyerap molekul nutrisi ke dalam sel-selnya

Dalam hal tertentu fungi mempunyai peran menguntungkan bagi manusia, misalnya pada proses fermentasi, industri enzim, serta industri pangan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa sebagian besar fungi mempunyai dampak negatif bagi manusia. Dampak tersebut yang kemudian lebih dikenal sebagai mikotoksin.

Mikotoksin adalah senyawa organik beracun hasil metabolisme dari kapang atau fungi. Dampak negatif mikotoksin dapat menyerang manusia baik secara langsung maupun secara tidak langsung, misalnya kontaminasi pada bahan pangan. Hal ini dikarenakan sifat mikotoksin yang tidak rusak meskipun telah melalui proses pengolahan.

Sebagian besar konsumsi masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan harian adalah bahan-bahan berkarbohidrat tinggi. Oleh karenanya, secara langsung potensi paparan mikotoksin dapat dikatakan cukup besar karena fungi sangat adaptif untuk melakukan pertumbuhan dan perkembangan pada bahan berpati tinggi. Berikut ini kita uraikan beberapa jenis mikotoksin beserta komoditas yang umumnya terkontaminasi serta efeknya terhadap kesehatan.

Aflatoksin

Aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang paling banyak diketahui dan dipelajari. Aflatoksin telah diidentifikasi sejak tahun 1960. Racun ini dihasilkan oleh fungi jenis Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus  yang umumnya terdapat pada komoditas jagung, kacang, komoditas bijian lain, serta hasil olahannya.

Aflatoksin dapat dibedakan menjadi enam jenis toksin berdasarkan sifat fluoresensinya terhadap sinar ultraviolet dan sifat kromatografinya. Aflatoksin B1 (AfB1) dan B2 menghasilkan fluoresensi biru, sedangkan jenis G1 dan G2 menghasilkan fluoresensi hijau. Terdapat pula jenis aflatoksin M1 dan M2 yang umumnya ada pada susu ternak yang pakannya terkontaminasi oleh aflatoksin. Aflatoksin dapat menyerang manusia melalui jalur oral (mulut) maupun melalui sistem pernafasan.

Pada manusia, hepatocellular carcinoma (HCC atau kanker hati) merupakan masalah kesehatan utama di Tiongkok di mana hampir 110.000 pasien per tahun terdiagnosa HCC. Di luar faktor resikonya, konsumsi makanan yang terkontaminasi AfB1 ternyata mempunyai korelasi dengan timbulnya HCC. Hubungan positif  antara aflatoksin dan HCC ini kemudian menjadi dasar IARC (International Agency for Research on Cancer) menggolongkan AfB1 ke dalam karsinogen (agen penyebab kanker) kelas 1 untuk manusia.

Gambar kiri: Aspergillus flavus (diambil dari labmed.ucsf.edu). Gambar kanan: Koloni A. flavus (diambil dari pfdb.net)
Gambar kiri: Aspergillus flavus (diambil dari labmed.ucsf.edu). Gambar kanan: Koloni A. flavus  (diambil dari pfdb.net)

 

Deoxynivalenol (DON)

Deoxynivalenol umumnya terdapat pada komoditas jagung, gandum, dan jelai. Mikotoksin ini dihasilkan oleh Fusarium graminearum, Fusarium crookwellense, serta Fusarium culmorum. Sifat toksiknya dapat menyerang manusia dan pernah terjadi pada sebagian orang di India, Tiongkok, Jepang, dan Korea. Deoxynivalenol akan masuk ke dalam sel dan berikatan dengan ribosom aktif yang meneruskan sinyal kimia ke enzim-enzim seperti RNA-activated protein kinase (PKR) serta hemopoetic cell kinase (Hck), yang selanjutnya akan mengakibatkan kematian sel (apoptosis).

Gambar kiri: Fusarium sp. (diambil dari apsnet.org). Gambar kanan: Koloni Fusarium sp. (diambil dari pf.chiba-u.ac.jp)
Gambar kiri: Fusarium sp. (diambil dari apsnet.org). Gambar kanan: Koloni Fusarium sp. (diambil dari pf.chiba-u.ac.jp)

Fumonisin B1

Fumonisin dihasilkan oleh Fusarium moniliforme yang umumnya terdapat pada komoditas jagung. Sifat toksiknya dapat menimbulkan gejala kanker akut serta eucoencephalomalacia (ELEM). ELEM merupakan kondisi fatal yang terjadi akibat kerusakan pembuluh saraf serta munculnya kanker pada tenggorokan. Sifat toksik dari fumonisin adalah berdasarkan kemiripan strukturnya dengan basa sphingoid, sphingosine, dan sphinganine.

Fumonisin merupakan inhibitor sphinganine N-acyltransferase, enzim utama pada metabolisme lipid (lemak), yang menyebabkan gangguan pada jalur metabolisme tersebut. Enzim tersebut mengkatalisis asilasi sphinganine pada biosintesis sphingolipid serta deasilasi sphingosin dan sphingosine yang dilepaskan dari degradasi kompleks sphingolipid.

Apa itu sphinganine, sphingolipid, serta sphingosine? Sphingolipid mempunyai peran penting sebagai membran dan penyusun struktur lipoprotein serta regulasi dan komunikasi antar sel. Sedangkan sphingosine merupakan penyusun dari sphingolipid. Sebagai konsekuensi dari terganggunya metabolisme enzim tersebut, maka terjadi kondisi peningkatan sphinganine secara cepat, peningkatan pembentukan produk degradasi sphinganine seperti sphinganine 1-fosfat serta pemecahan kompleks sphingolipid.

Basa sphingoid yang bebas bersifat toksik pada sebagian besar sel dengan mempengaruhi proses proliferasi sel serta mempercepat kematian sel. Akumulasi sphinganine mempunyai hubungan erat dengan efek hepatotoksik (toksik pada hati) serta nephrotoksik (toksik pada ginjal). Fumonisin juga merusak sifat perlindungan dari sel endhotelial /sel lapisan dalam pembuluh darah. Kondisi demikian berdampak secara tidak langsung pada kerusakan organ ginjal serta terjadinya pembengkakan pada paru-paru.

Ochratoxin A

Ochratoxin biasanya terdapat pada gandum dan jelai. Mikotoksin ini dihasilkan oleh Aspergillus ochraceus yang dapat memicu tumbuhnya sel kanker. Ochratoxin utamanya menyerang enzim yang terlibat pada metabolisme asam amino fenilalanin. Ochratoxin menghalangi kerja enzim yang terlibat pada sintesis kompleks fenilalanin-tRNA .

Ochratoxin juga dapat menyerang enzim lain yang menggunakan fenilalanin sebagai substrat., misalnya fenilalanin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasifenilalanin searah menjadi tiroksin. Selain itu, ochratoxin juga mengubah sistem transportasi pada membran mitokondria dan menghambat produksi ATP, serta menaikkan peroksidasi membran lipid, superoksida dan hidrogen peroksida bagi pembentukan radikal bebas.

Gambar kiri: Aspergillus ochraceus (diambil dari schimmelpilze.de). Gambar kanan: Koloni A. ochraceus (bustmold.com)
Gambar kiri: Aspergillus ochraceus (diambil dari schimmelpilze.de). Gambar kanan: Koloni A. ochraceus (bustmold.com)

Patulin

Patulin merupakan jenis mikotoksin pada komoditas apel. Pengaruh yang ditimbulkan adalah kerusakan pada sistem kekebalan tubuh serta jaringan saraf. Mikotoksin ini dihasilkan oleh Aspergillus clavatus, Penicillium expansum, serta Penicillium patulum.

Jagung terkontaminasi fungi (gambar dari sustainablog.org).
Jagung terkontaminasi fungi (gambar dari sustainablog.org).

Dari keterangan di atas, dapat kita pahami bahwa sebagian besar komoditas yang disebutkan merupakan komoditas konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Meski begitu, bukan berarti kita sebaiknya menghindari dan menghentikan konsumsi terhadap komoditas tersebut.

Cemaran mikotoksin memang mengkhawatirkan, tetapi ada beberapa langkah yang dapat ditempuh setidaknya untuk meminimalisasi terjadinya kontaminasi mikotoksin tersebut. Langkah-langkah tersebut di antaranya:

  1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh mikotoksin.
  2. Perbaikan metode budidaya untuk mengurangi cemaran fungi di lapangan.
  3. Perbaikan metode panen dan pasca panen dengan menyediakan alat pengering yang memadai dan teknik penyimpanan yang benar.
  4. Pengembangan proses pengolahan untuk detoksifikasi mikotoksin dalam bahan mentah baik secara kimiawi maupun biologis melalui proses fermentasi.

Pada akhirnya, tanggung jawab untuk mewujudkan pangan yang sehat dan unggul bukan terletak pada satu atau beberapa kelompok masyarakat saja, namun meliputi semua elemen masyarakat. Dengan adanya kerja sama yang baik antara semua pihak yang terkait, bukan tidak mungkin pangan Indonesia yang memiliki standar tinggi dapat kita wujudkan bersama. Semoga saja!

Bahan Bacaan:

  • Mycotoxigenic Fungi and The Occurance of Mycotoxins in Food Commodities from Indonesia, Diktat Kuliah, Prof. Dr. Ir. Sardjono, MS.
  • Regulasi dan Harmonisasi Metode Analisis Mikotoksin, Focus Group Discussion Aflatoksin Forum Indonesia V, Winiati P. Rahayu.

Penulis:
Wahyu D. Saputra, Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, UGM Yogyakarta.
Kontak: tresno-wahyu(at)hotmail(dot)com.

Back To Top