“…that what is proved by impossibility proofs is lack of imagination.”
[John Bell]
Artikel ini adalah bagian kedua dan terakhir dari tulisan berjudul sama yang dimuat di majalah 1000guru Edisi Mei 2015, yang membahas salah satu paradoks terpenting dalam fisika kuantum. Pembaca dianjurkan untuk melihat kembali artikel bagian pertama karena di bagian kedua ini kita akan memakai diagram-diagram yang sama seperti di artikel bagian pertama.
Penulis telah bercerita di artikel bagian pertama bahwa, untuk menjelaskan hasil percobaan Mach-Zehnder, sebagian fisikawan kuantum mengasumsikan setiap satu foton yang datang ke beam-splitter akan “diteruskan seutuhnya dan sekaligus dipantulkan seutuhnya secara bersamaan”. Untuk menganalisis implikasi fisis dari asumsi ini, mari kita lihat kembali diagram 2b atau 3a di artikel bagian pertama.
Karena foton yang datang ke beam-splitter A diteruskan seutuhnya ke jalur ABD, dapat disimpulkan bahwa pasti “ada” foton di jalur ABD. Tetapi, karena foton yang sama “dalam waktu bersamaan” juga dipantulkan ke jalur ACD, implikasinya pasti “tidak ada” foton di jalur ABD. Berdasarkan asumsi ini, kita bisa mengatakan bahwa di jalur ABD ada dua situasi sekaligus dalam waktu bersamaan, yaitu ada sebuah foton yang lewat dan tidak ada foton yang lewat sekaligus! Perhatikan kata sambung “dan” dalam kalimat tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada jalur ACD, ada foton yang lewat dan tidak ada foton lewat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ingat, seperti yang kita diskusikan di artikel bagian pertama, keadaan ini terjaga sampai ada peristiwa pengukuran.
Tentu saja asumsi di atas melanggar intuisi kita yang mengatakan bahwa suatu kejadian hanya bisa terjadi atau tidak terjadi. Pada umumnya, dua kejadian yang eksklusif satu sama lain seharusnya tidak bisa terjadi dalam waktu bersamaan. Misalnya, ada kucing lewat jalan di depan rumah atau tidak ada kucing yang lewat. Mana mungkin dua kejadian tersebut terjadi bersamaan? Contoh lain, koin yang kita lempar jatuh di lantai dengan gambar ada di atas atau angka di atas. Tentunya sangat sulit membayangkan sebuah keadaan koin jatuh di lantai dengan gambar dan angka keduanya di atas sekaligus.
Dalam dunia mikroskopik, para fisikawan berargumentasi bahwa asumsi dua kejadian yang eksklusif satu sama lainnya tidak dapat terjadi bersamaan itu tidak akan bisa menjelaskan hasil percobaan Mach-Zehnder (atau percobaan dua celah) seperti yang ditunjukkan di gambar 2b. Karenanya, kita harus mengasumsikan bahwa di setiap jalur ada sebuah foton dan tidak ada foton sekaligus dalam satu waktu, ketika tidak ada peristiwa pengukuran.
Begitu juga ketika para fisikawan menganalogikan dengan gelombang yang merambat di dua jalur secara bersamaan (diagram 3a), gelombang tersebut bukanlah gelombang fisik yang riil seperti gelombang yang merambat di air atau udara, tetapi gelombang yang “abstrak”. Ketika gelombang riil (misalnya gelombang di air) melewati dua jalur, maka ketika kita deteksi ada gelombang merambat di salah satu jalur, bagian gelombang yang merambat di jalur yang lain tidak lenyap. Pada “gelombang kuantum”, seperti yang dijelaskan di artikel bagian pertama, ketika kita deteksi ada gelombang kuantum merambat pada salah satu jalur (melalui pengukuran), maka tiba-tiba bagian yang merambat di jalur lain “lenyap seketika” secara misterius, dan si gelombang berubah menjadi partikel biasa yang hanya bisa ada di satu tempat dalam satu waktu.
Cerita di atas terasa sangat aneh dan lebih mirip cerita fiksi bila tidak bisa dipakai untuk memprediksi hasil-hasil percobaan. Tetapi, jangan khawatir kalau pembaca merasa kesulitan mengikuti cerita di atas. Bahkan Schrödinger dan Einstein yang ikut membuat formulasi fisika kuantum, juga merasa sangat terusik dengan cerita di atas. Tentu saja kita harus terbuka, karena siapa tahu alam semesta memang bekerja secara misterius dan tidak sesuai dengan intuisi kita.
Schrödinger lalu berusaha menunjukkan kelemahan argumentasi di atas dengan percobaan di pikiran seperti diilustrasikan pada diagram 4 (penomoran diagram melanjutkan dari artikel bagian pertama). Percobaan yang dibahas di sini bukan versi asli dari Schrödinger, tetapi prinsipnya tetap sama. Pertama, kita taruh beam-splitter di sebuah kotak yang di dalamnya ada kucing dan alat yang supersensitif yang akan mengeluarkan gas beracun bila ada “satu” foton yang datang kepadanya. Kotak ini lalu ditutup sedemikian rupa sehingga kita tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Salah satu lengan dari beam-splitter kita hubungkan dengan alat penyemprot racun.
Kita tembakkan “sebuah” foton ke beam-splitter sesuai ilustrasi pada diagram 4. Menurut asumsi di atas, foton tersebut akan lewat dua jalur sekaligus, dan karenanya di lengan yang menghubungkan beam-splitter dan kotak penyemprot racun akan ada dua keadaan sekaligus, yaitu: (1) ada foton (karena foton diteruskan) dan (2) tidak ada foton (karena si foton dipantulkan) dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu, secara bersamaan pula, di dalam kotak akan ada dua situasi (yang eksklusif satu sama lain), yaitu: (1) foton mengenai alat yang akan menyemprotkan gas beracun dan (2) tidak ada foton yang mengenai alat dan karenanya di dalam kotak tidak ada gas beracun. Akibatnya sang kucing akan berada dalam dua keadaan sekaligus, yakni mati (karena menghirup gas beracun) dan hidup, secara bersamaan.
Ketika kita mengasumsikan bahwa sebuah foton bisa di dua tempat dalam satu waktu di artikel bagian pertama, kita bisa berargumentasi, “Mengapa tidak? toh foton adalah benda mikroskopis dan kita tidak dapat melihatnya secara langsung?” Mungkin saja perilaku benda-benda mikroskopis memang tidak sesuai dengan intuisi kita yang kita bangun dari interaksi kita sehari-hari dengan benda-benda makro. Jangan-jangan intuisi kita sehari-hari itulah yang memberikan “impresi” yang salah. Sekarang, “alasan” semacam ini terasa sangat sulit kita terapkan pada keadaan sang kucing di dalam kotak karena kucing berukuran besar, dan sulit membayangkan ada kucing yang mati dan hidup sekaligus.
Kalau begitu, mari kita lihat keadaan sang kucing dengan membuka kotak yang menutupinya (atau dengan cara yang lain, misal dengan melihat hasil detektor di lengan beam-splitter yang tidak terhubung dengan alat pengeluar racun). Menurut asumsi yang kita bahas di artikel bagian pertama, seperti keadaan foton yang tiba-tiba berubah dari “lewat dua jalur dalam waktu bersamaan” (diagram 2b,3a) menjadi “hanya lewat salah satu jalur saja” ketika dilihat dengan detektor (diagram 1 artikel bagian pertama), maka keadaan sang kucing juga akan dengan tiba-tiba berubah dari hidup dan mati secara bersamaan menjadi keadaan hidup saja atau mati saja.
Proses fisis ini juga secara intuitif dan konseptual sangat sulit dicerna akal. Ketika berbicara masalah foton, kita berargumentasi bahwa perubahan itu (dari sebuah foton lewat dua jalur secara bersamaan ke lewat satu jalur saja) terjadi karena foton adalah benda mikroskopis sehingga keadaannya sangat sensitif terhadap pengukuran (lihat artikel bagian pertama). Alasan ini juga sekarang sangat sulit dipakai untuk menjelaskan perubahan keadaan sang kucing, dari hidup dan mati sekaligus, menjadi hidup saja atau mati saja, karena kucing adalah benda makroskopik yang tentu lebih imun terhadap gangguan yang terjadi pada pengukuran. Terasa sangat aneh bila aksi “melihat” (mengukur) kita bisa membuat perubahan yang begitu dramatis pada nasib sang kucing (objek yang diukur).
Inilah mungkin yang dimaksud Einstein dengan pernyataannya kepada Pais, “Apakah kamu percaya bulan tidak di sana ketika kamu tidak melihatnya?” Atau dengan kata lain, bulan ada di sana karena kamu melihatnya. Intuisi kita mengatakan bahwa bulan ada di sana apakah kita lihat ataupun tidak. Begitu juga dengan sang kucing di dalam kotak. Dia, menurut intuisi kita sehari-hari, “pasti” mati atau hidup meskipun kotaknya tidak kita buka.
Lalu apa solusi dari paradoks ini? Belum ada konsensus. Fisikawan kembali terpecah-belah!
Ada yang percaya bahwa apa yang terjadi pada foton dengan beam-splitter (diagram 1-3 dari artikel bagian pertama) tidak bisa serta merta digeneralisasi pada objek-objek makro seperti alat penyemprot racun dan kucing, sehingga fisika kuantum harus dimodifikasi untuk bisa menjelaskan benda-benda makro seperti alat penyemprot racun, koin, kucing dan lain-lain.
Ada yang percaya bahwa sebelum dibuka kotaknya, sang kucing memang dalam keadaan mati dan hidup sekaligus, tapi begitu dibuka, interaksi dengan benda-benda makro di sekitar akan membuat keadaan hidup dan mati sang kucing secara efektif dalam waktu super cepat akan berubah menjadi hidup atau mati. Saking cepatnya, indra kita (manusia) tidak bisa mengikuti perubahan itu. Karenanya, kita hanya mendapatkan kucingnya mati saja atau hidup saja seperti yang kita lihat sehari-hari. Pembaca bisa membayangkan kalau ada makhluk yang punya indra dengan respon yang supercepat sehingga bisa menikmati situasi misterius di atas.
Nah, kalo pembaca pernah mendengar film-film sains-fiksi bahwa selain dunia (semesta) yang kita tinggali ada dunia lain tempat kembaran kita hidup, film-film itu juga terinspirasi dari usaha para fisikawan memecahkan paradoks di atas yang di sebut sebagai “many worlds interpretation” (interpretasi banyak dunia/semesta). Dalam interpretasi ini, sang kucing mati dan hidup sekaligus tapi pada dua dunia yang berbeda.
Begitu juga dengan kita, sang pengamat, dan kembaran kita. Di satu dunia kita melihat kucingnya mati, dan di dunia lain kembaran kita melihat kucingnya masih hidup, atau sebaliknya. Sayangnya, menurut interpretasi ini, kita tidak bisa berkomunikasi dengan kembaran kita (sehingga kita bisa menghibur kembaran kita bahwa di dunia kita sang kucing masih hidup). Interpretasi ini meskipun terlihat sangat aneh ternyata merupakan solusi yang populer (menurut sebuah survei) terutama di kalangan ahli kosmologi.
Ada yang bahkan percaya bahwa dunia mikroskopis secara fundamental tidak bisa dijelaskan. Ide dasarnya adalah, ketika menjelaskan sesuatu, kita mau tidak mau harus memakai konsep-konsep di fisika Newtonian “yang bisa kita bayangkan” yang berlaku di dunia makro: partikel, gelombang, posisi, momentum, energi, dan besaran lainnya. Konsep-konsep ini “bisa jadi” tidak lagi berlaku di dunia mikro, dan karenanya, memaksakan mengaplikasikan konsep-konsep tersebut untuk menjelaskan fenomena-fenomena di dunia mikro justru akan melahirkan berbagai paradoks.
Dengan kata lain, hasil-hasil percobaan di dunia mikro menunjukkan “keterbatasan” konsep-konsep intuitif di fisika Newtonian. Lalu, apa dong “status” dari fisika kuantum kalau begitu? Menurut mereka, fisika kuantum hanyalah alat hitung yang membantu memprediksi hasil-hasil percobaan. Konsep-konsep matematikanya tidak punya hubungan langsung dengan realitas, seperti momentum ataupun energi di fisika Newtonian.
Di awal artikel bagian pertama, penulis bercerita bahwa ada satu cara untuk memahami fisika kuantum yang terbebas dari paradoks kucingnya Schrödinger, yaitu dengan menganggap keacakan di dunia mikroskopik adalah karena adanya parameter tersembunyi yang tidak bisa kita akses seperti pada keacakan hasil lemparan koin. Dalam deskripsi model ini, setiap satu foton akan selalu hanya lewat satu jalur saja dalam satu waktu dan karenanya kucing Schrödinger pasti akan hanya mati atau hidup meskipun kotaknya tidak kita buka, bukan mati dan hidup sekaligus.
Pembaca mungkin akan langsung bertanya, “Mengapa kita tidak memilih model dengan parameter tersembunyi itu?” Tentu saja para pendiri fisika kuantum pertama kali juga kepikiran hal yang sama, karena itulah penerjemahan keacakan yang paling intuitif yang di ajarkan ilmu statistik. Tetapi selang waktu berjalan, para fisikawan semakin sadar bahwa tidak mudah untuk menjelaskan fenomena interferensi partikel di percobaan Mach-Zehnder (gambar 2b) atau di percobaan dua celah dengan model berdasarkan parameter tersembunyi (hidden variable) ini.
Pada tahun 1952, David Bohm telah membuat sebuah model yang mengasumsikan ada parameter yang tersembunyi dan berhasil menjelaskan fenomena interferensi partikel di percobaan Mach-Zehnder dan fenomena-fenomena lain di dunia mikro. Di model Bohm ini, yang ide dasarnya sudah pernah digagas oleh Louis de Broglie sekitar 30 tahun sebelumnya, sebuah partikel hanya lewat satu jalur dalam satu waktu. Model ini juga deterministic: keacakan yang terjadi di dunia mikro disebabkan karena ketiadaan akses kita pada parameter tersembunyi, seperti keacakan pada hasil lemparan koin.
Tetapi harga yang dibayar ternyata tidak murah. Yaitu, model dari Bohm ini ternyata nonlokal: artinya, model ini membolehkan dua objek yang berjauhan satu sama lain, seberapun jauhnya mereka (misalnya yang satu di Bumi dan yang lainnya di Andromeda), untuk saling mempengaruhi secara instan, sesuatu yang bukan hanya “super aneh” tapi juga terlarang menurut relativitas Einstein.
Terinspirasi dari model Bohm di atas, pada tahun 1964, John Bell, seorang fisikawan yang bekerja di CERN, menunjukkan bahwa semua model yang berdasarkan asumsi adanya parameter yang tersembunyi dan mereproduksi prediksi fisika kuantum pasti bersifat nonlokal (dikenal sebagai “Bell’s theorem” atau teorema Bell). Pernyataan semacam teorema Bell disebut impossibility proof atau no-go theorem, yang menunjukkan bahwa suatu model itu tidak mungkin dibuat (untuk menjelaskan fenomena-fenomena di dunia mikro) kecuali model tersebut melanggar prinsip-prinsip tertentu yang intuitif.
Jadi, semua jalan sepertinya terjal, berliku dan berduri, tapi juga sekaligus menantang untuk dijelajahi.
Di salah satu artikelnya tentang sebuah model yang berdasarkan keberadaan parameter yang tersembunyi, John Bell menulis kalimat yang (bagi penulis) sangat inspiratif:
“…what is proved by impossibility proofs is lack of imagination.”
Terjemah bebasnya, “…bahwa apa yang dibuktikan oleh impossibility proof (seperti teorema Bell di atas) adalah kedangkalan atau kekeringan imaginasi .”
Bisa jadi, solusi dari paradoks kucing Schrödinger dan paradoks-paradoks lain di fisika kuantum menunggu imaginasi dan ide-ide segar dan kreatif dari para pembaca. Solusi dari paradoks-paradoks ini adalah pintu masuk untuk memahami arti fisika kuantum, yang oleh Lee Smolin dinobatkan sebagai “the greatest mystery of all” dari masalah-masalah besar di fondasi fisika. Di balik kesederhanaan percobaan Mach-Zehnder di atas sepertinya tersimpan salah satu rahasia besar dari alam semesta.
Bahan bacaan:
- Lee Smolin, The Trouble with Physics, Houghton Mifflin Company, New York (2007).
- Agung Budiyono, “Sekilas Tentang Kucing Schrödinger (Bagian pertama)”, Rubrik Fisika Majalah 1000guru Edisi Mei 2015: http://majalah1000guru.net/2015/05/kucing-schrodinger-bagian1/
Penulis:
Agung Budiyono, peneliti fondasi fisika kuantum dan mekanika statistik, lahir di Juwana dan saat ini bertempat tinggal di Yerusalem. Kontak: agungbymlati(at)gmail.com. Tulisan ini saya dedikasikan untuk kucing-kucing saya yang mewarnai hari-hari saya sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Semoga di alam semesta yang lain, kita masih ditakdirkan untuk bersama.