“…I think I can safely say that no body understands quantum mechanics”
[Richard Feynman]
Sejak 80 tahun yang lalu, para fisikawan dibingungkan dengan paradoks di fisika kuantum yang diceritakan oleh Erwin Schrödinger, apakah kucingnya mati, atau hidup, atau mati “dan” hidup dalam waktu bersamaan. Schrödinger adalah salah satu peletak dasar-dasar fisika kuantum, yaitu suatu cabang ilmu fisika yang memberi cara dan formula matematis untuk memprediksi hasil-hasil percobaan di dunia mikro, yang telah terbukti sangat akurat. Beliau adalah penemu persamaan Schrödinger, persamaan matematika yang paling fundamental di fisika kuantum.
Untuk memahami paradoks kucing Schrödinger secara tepat, tentunya kita harus mengerti konsep-konsep abstrak dan struktur matematika fisika kuantum. Paradoks ini muncul karena “linearitas” persamaan Schrödinger dan bagaimana fisikawan memberi arti fisis pada “state vector”, yaitu entitas matematika paling mendasar di fisika kuantum. Namun, dalam artikel ini kita tidak akan mengulik persamaan Schrödinger, tetapi kita akan berusaha mendiskusikan bagaimana paradoks kucing Schrödinger muncul dari bagaimana (sebagian) fisikawan kuantum menerjemahkan hasil-hasil percobaan.
Salah satu karakteristik mendasar dari dunia mikroskopis adalah keteracakan (randomness). Keteracakan secara operasional diartikan bahwa meskipun segala parameter telah kita atur sama untuk setiap percobaan yang kita lakukan berulang-ulang, maka hasil percobaan “pada umumnya” tidak sama.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan diagram 1a dan 1b. Misalkan kita lakukan percobaan dengan menembakkan foton (partikel yang menyusun cahaya) satu per satu ke arah sebuah beam-splitter A (pembagi berkas caahaya) dan mendeteksi apakah foton dipantulkan ke detektor B (diagram 1a) “atau” diteruskan ke detektor C (diagram 1b), atau dipantulkan “dan” diteruskan sekaligus. Detektor yang mendeteksi foton akan menyala dan menyerapnya. Kita pastikan setiap foton yang kita tembakkan punya karakteristik fisik yang sama, begitu juga dengan semua parameter dari beam-splitter A. Bagaimanakah hasil percobaannya?
Ternyata hasil percobaannya adalah, untuk setiap foton yang kita tembakkan ke beam-splitter A, maka detektor B dan C akan menyala secara “acak”. Fakta penting kedua adalah bila B menyala, C tidak menyala, dan sebaliknya. Karenanya, kita “bisa” berkesimpulan bahwa setiap “satu” foton yang datang akan dipantulkan seutuhnya “atau” diteruskan seutuhnya oleh beam-splitter secara “acak”.
Setiap melihat sesuatu yang acak, pertanyaan pertama yang wajib kita ajukan adalah, “Apakah ada informasi tersembunyi, yang terlepas dari pantauan kita, yang membuat sebuah peristiwa kelihatan acak? Apakah keteracakan ini bukan hanya cerminan dari ketidaktahuan kita akan semua parameter yang relevan untuk mendeskripsikan fenomena tersebut?”
Sebagai contoh sederhana dari kecurigaan ini, mari kita lempar koin berulang-ulang. Hasilnya, apakah koin jatuh di lantai dengan gambar di atas “atau” angka di atas, tentu saja (pada umumnya) acak. Namun, apakah kita serta-merta berkesimpulan bahwa dinamika koin di udara dan di lantai acak secara “esensial”? Jawaban yang diajarkan Fisika Newton (fisika tentang benda-benda makro) pada kita adalah, “Tidak!”
Kalau saja kita bisa mengatur konfigurasi tangan kita, koin, gerak molekul-molekul udara di sekitar, dan nilai parameter-parameter lain yang relevan untuk dinamika koin agar sama persis untuk setiap lemparan, maka Fisika Newton memberikan hasil yang selalu pasti (deterministik) untuk setiap lemparan kita. Tidak ada keacakan yang esensial di sini. Keacakan terjadi karena nilai parameter dari satu lemparan ke lemparan yang lain berubah-ubah di luar kontrol kita.
Apakah analisis seperti itu bisa kita terapkan di percobaan dengan foton dan beam-splitter padadiagram 1 di atas? Apakah keacakan hasil percobaan itu hanya menunjukkan ketidaktahuan kita pada parameter yang tidak bisa kita akses atau tersembunyi? Nah, pada tataran inilah para fisikawan berbeda pendapat.
Sebagian besar fisikawan (golongan “arus utama”) percaya bahwa tidak ada parameter yang tidak bisa kita akses di percobaan itu. Hanya sebagian kecil fisikawan yang percaya bahwa ada parameter tersembunyi (hidden variable) yang tidak bisa kita akses yang bertanggung jawab pada keacakan di dunia mikro. Penulis sebenarnya termasuk pada golongan kedua ini (paling tidak dalam lima tahun terakhir). Di antara fisikawan terkemuka yang cukup militan di golongan kedua ini adalah David Bohm dan Albert Einstein. Khususnya Einstein, ia pernah mengatakan, “God doesn’t play dice with the world.”
Nah, paradoks dilema kucing Schrödinger yang diceritakan di sini berlaku pada sebagian dari golongan fisikawan arus utama yang percaya bahwa dunia mikroskopik itu acak secara esensial. Salah satu yang mendorong para fisikawan golongan ini menolak keberadaan parameter yang tersembunyi untuk menjelaskan keacakan di dunia mikro adalah fenomena interferensi partikel di percobaan Mach-Zehnder atau percobaan dua celah yang sudah beberapa kali kita bahas di majalah 1000guru (lihat misalnya edisi September 2014).
Mari kita perhatikan percobaan Mach-Zehnder pada diagram 2. Kita asumsikan beam-splitter (disingkat B-S) A dan D memantulkan “atau” meneruskan dengan proporsi setengah-setengah, B dan C adalah cermin-cermin yang akan memantulkan setiap foton yang datang padanya, dan detektor E dan F bertugas mendeteksi foton. Seperti yang pernah dijelaskan di majalah 1000guru edisi September 2014, apabila keacakan foton ketika melewati beam splitter A dan D adalah seperti keacakan hasil lemparan koin, ketika kita tembakkan sejumlah N foton satu per satu dengan nilai N cukup besar, maka kita bisa dengan mudah menghitung bahwa sekitar separuh dari jumlah foton tersebut akan mendarat di E dan separuh lainnya akan dideteksi F (Lihat diagram 2a).
Anehnya, apabila panjang jalur ABD dan ACD sama, hasil percobaan menunjukkan bahwa semua foton yang kita tembakkan akan mendarat di detektor E (diagram 2b). Ini tentu saja tidak lagi sesuai dengan intuisi kita yang kita bangun dari hasil percobaan di diagram 1.
Ditambah lagi, keacakan yang terjadi di percobaan di diagram 1 tiba-tiba secara misterius lenyap, setiap foton yang kita tembakkan ke beam–splitter A “pasti” akan mendarat di detektor E (diagram 2b). Pembaca yang jeli pasti akan bertanya, bagaimana mungkin percobaan yang bagian-bagiannya acak dan independen satu sama lain (yaitu beam-splitter A dan D di diagram 2b), tetapi secara keseluruhan hasilnya menjadi tidak acak, alias deterministik?
Inilah mengapa sebagian besar para fisikawan percaya bahwa keacakan di percobaan di diagram 1 bukanlah “keacakan biasa” seperti yang terjadi di lemparan koin. Bagaimana cara menjelaskan hasil percobaan ini?
Fisikawan “arus utama” percaya bahwa ketika melewati beam-splitter A, setiap “satu” foton akan dipantulkan secara utuh “dan” diteruskan secara utuh oleh beam-splitter secara bersamaan, kurang lebih “seperti” gelombang (diagram 3a). Artinya, setiap “satu” foton melewati dua jalur ABD dan ACD “secara bersamaan” seperti yang dianekdotkan di komik gambar 3b di mana seorang pemain ski menghindar ke ke kiri dan ke kanan sekaligus ketika melewati sebuah pohon.
Nah, sesampainya di beam-splitter D, foton dan “kembarannya” akan berinterferensi “seperti” gelombang sehingga di detektor F terjadi interferensi saling mematikan dan di detektor E terjadi interferensi saling menguatkan (diagram 3a). Karena total hanya ada satu foton di kedua jalur, maka foton seolah-olah berinterferensi dengan dirinya sendiri.
Masalahnya adalah bahwa cerita di atas kelihatannya tidak konsisten dengan hasil percobaan di diagram 1 yang menunjukkan bahwa sepertinya sebuah foton hanya bisa lewat satu jalur dalam satu waktu seperti partikel biasa. Lebih detailnya lagi, perhatikan bahwa di satu sisi kita asumsikan sebuah foton lewat dua jalur dalam waktu bersamaan (yang didukung oleh hasil percobaan di diagram 2b), tetapi di sisi lain ketika kita ingin tahu apakah benar si foton lewat dua jalur bersamaan, ternyata hasilnya tidak, yang ditunjukkan oleh hasil percobaan di diagram 1. Lantas, bagaimana cara merekonsiliasi dua penjelasan dari dua fenomena yang sepertinya saling bertentangan satu sama lain ini?
Para fisikawan kuantum kemudian memperkenalkan konsep pengukuran di dunia mikro yang secara fundamental berbeda dengan pengukuran dalam fisika klasiknya Newton (yang mengatur dunia makro). Dalam fisika Newton, pada prinsipnya pengukuran merefleksikan keadaan dari objek yang hendak diukur tanpa mengganggunya, dan karenanya secara konseptual tidak begitu penting. Para fisikawan kuantum percaya bahwa di dunia mikroskopik, asumsi ini tidak lagi bisa dipertahankan.
Pengukuran pada fisika kuantum mengasumsikan bahwa kegiatan “mengukur” itu mau tidak mau akan mengganggu keadaan objek yang diukur. Bila objek yang kita ukur besar (makro), misalnya sebesar koin atau kucing, gangguan ini bisa kita abaikan seperti di fisika Newton. Sebaliknya, bila objek yang kita ukur berukuran mikro, seperti foton, gangguan ini tidak bisa lagi kita abaikan, dan bisa jadi menjalankan peranan yang krusial pada fenomana-fenomena di dunia mikro.
Singkat cerita, pada konteks percobaan dengan beam-splitter di diagram 1, sebagian dari fisikawan kuantum arus utama berasumsi bahwa sebelum bertemu detektor B atau C (alat pengukur), si foton benar-benar melewati dua jalur secara bersamaan “seperti” gelombang. Namun, ketika bertemu detektor, keadaan si foton akan terganggu. Saat salah satu detektor menyala (ada foton yang tertangkap), kembaran si foton di jalur sebelah lenyap “seketika” secara misterius sehingga detektor yang lain tidak menyala. Inilah sebabnya hanya salah satu detektor yang menyala dalam setiap pengulangan percobaan.
Proses di atas terjadi dengan acak secara esensial sehingga untuk setiap satu foton yang kita tembakkan kita tidak tahu detektor mana di diagram 1 yang akan menyala. Sebaliknya, apabila di tengah jalan tidak kita ganggu dengan pengukuran, dinamika si foton akan deterministik (tidak acak) mirip gelombang seperti ditunjukkan di diagram 3b. Keacakan di dunia mikro karenanya terjadi akibat dari pengukuran.
Tentu saja model fisika tidak boleh berhenti pada cerita kualitatif. Cerita-cerita (model) fisika harus bisa dipakai untuk memprediksi sebuah kejadian secara kuantitatif dan karenanya harus ditransformasikan dalam bahasa matematika. Para fisikawan kuantum ini lalu menerjemahkan cerita “magis” di atas ke dalam konsep dan formula-formula matematika yang abstrak yang berhasil memprediksi secara sangat presisi hasil-hasil percobaan, bahkan untuk kasus yang jauh lebih rumit dari percobaan di atas. Inilah mungkin apa yang ada di pikiran Einstein ketika dia menyebut fisika kuantum sebagai “real black magic calculus“.
Di rubrik fisika edisi bulan yang akan datang kita akan mendiskusikan lebih jauh apa implikasi dari penafsiran hasil-hasil percobaan di atas pada artikel lain, dan bagaimana Schrödinger serta Einstein berusaha menunjukkan kelemahannya yang melahirkan paradoks kucing Schrödinger, salah satu paradoks yang paling terkenal di dunia fisika, bahkan juga popular di kalangan awam. Mungkin pembaca sudah bisa mereka-reka paradoksnya dari cerita di atas.
Hal penting di sini yang perlu diketahui adalah para fisikawan kuantum telah bersepakat dengan keampuhan dan keakuratan formula-formula matematis dari fisika kuantum untuk memprediksi hasil-hasil percobaan. Hasil-hasil percobaan ini telah membantu melahirkan laser, transistor-mikroprosesor, yang telah menjadi pilar dari revolusi dunia teknologi informasi dan komunikasi. Namun, menariknya, para fisikawan sampai sekarang masih dipusingkan oleh arti fisis dari formula-formula fisika kuantum itu sendiri. Sebagian besar fisikawan bahkan sekarang mulai mengapresiasi “kegalauan” Einstein, Schrödinger dan lain-lain bahwa fondasi fisika kuantum masih belum kokoh.
Catatan:
Bagian kedua dari tulisan ini dapat dibaca di: http://majalah1000guru.net/2015/06/kucing-schrodinger-bagian2/
Bahan bacaan:
- David Albert, “Quantum Mechanics and Experience”, Harvard University Press (1994).
- J S. Bell, “Speakable and Unspeakable in Quantum Mechanics”, Cambridge University Press (2004).
- http://en.wikipedia.org/wiki/Hidden_variable_theory
- Agung Budiyono, “Tester Bom Kuantum”, Rubrik Fisika Majalah 1000guru Edisi September 2014: http://majalah1000guru.net/2014/09/tester-bom-kuantum/
Penulis:
Agung Budiyono, peneliti fondasi fisika kuantum dan mekanika statistik, lahir di Juwana dan saat ini bertempat tinggal di Yerusalem. Kontak: agungbymlati(at)gmail.com.