Carbon Nanotube dan Teknologi Modern pada Sebilah Pedang Kuno

Perkembangan sains dan teknologi pada era modern saat ini sering dikatakan telah mencapai taraf cukup tinggi dibandingkan dengan pada masa lampau. Meski demikian, bukan berarti nenek moyang kita di masa lalu tidak mampu menghasilkan perkakas canggih. Bahkan, cukup banyak peninggalan masa lalu yang sangat sulit untuk ditiru generasi ilmuwan maupun insinyur masa kini, seperti beberapa bangunan keajaiban dunia yang masih tersisa hingga sekarang.

Tidak hanya dalam konstruksi bangunan, dalam ilmu dasar seperti fisika dan kimia, ada beberapa peninggalan ilmu dari leluhur kita yang ternyata mengandung konsep-konsep modern yang baru dipahami belakangan. Satu contoh yang relevan adalah bagaimana cara mengatur komposisi bahan-bahan alam untuk menghasilkan material yang kuat sesuai keperluan peradaban manusia masa itu. Dalam artikel ini, kita akan membahas seputar baja Damaskus (dari Suriah) yang sangat terkenal akan kekuatan, fleksibilitas, dan kemampuannya untuk mempertahankan ketajaman ketika digunakan sebagai bahan pedang.

Di masa lampau, baja Damaskus sering ditempa untuk menjadi berbagai bentuk senjata dan alat pertahanan (tameng). Ilmu dan teknologi penempaan baja Damaskus ini populer di Timur Tengah sekitar tahun 300 SM hingga 1700 M. Beberapa legenda mengatakan, tidak ada senjata apapun saat itu yang mampu mematahkan pedang berbahan baja Damaskus. Di masa kejayaannya, pedang ini digunakan secara masif oleh Sultan Salahuddin (Saladin) dan pasukannya dalam menjaga area kerajaan di Timur Tengah dari serbuan beberapa kerajaan Eropa.

Potongan baja Damaskus dari sebilah pedang yang dibuat pada abad ke-16. Tidak seperti senjata baja Eropa yang biasanya berkilat, pedang ini menunjukkan tekstur yang kasar dan pola garis-garis acak yang unik.
Potongan baja Damaskus dari sebilah pedang yang dibuat pada abad ke-16. Tidak seperti senjata baja Eropa yang biasanya berkilat, pedang ini menunjukkan tekstur yang kasar dan pola garis-garis acak yang unik.

Teknik yang presisi mengenai cara penempaan baja Damaskus ini telah hilang ditelan zaman, tetapi senjata-senjata yang dibuat dari baja Damaskus masih tersisa cukup banyak di beberapa tempat di Timur Tengah dan juga Eropa. Hilangnya teknologi baja Damaskus ini kemudian membuat banyak ilmuwan terobsesi untuk dapat membuat material yang serupa kualitasnya.

Pada tahun 1805, ada sebuah penelitian dari James Stodart yang diterbitkan dalam Journal of Natural Phylosophy, Chemistry, and the Arts, yang berupaya menghasilkan pedang dengan kualitas seperti baja Damaskus. Caranya adalah dengan memanaskan baja dengan suhu sangat tinggi dan mendinginkannya segera dalam air dengan tujuan untuk lebih mengeraskan baja tersebut. Namun, ia justru memperoleh retakan yang cukup banyak di berbagai titik pada permukaan baja yang ditempanya.

Upaya lainnya untuk meniru kualitas baja Damaskus dilakukan oleh Stuart Carnes pada tahun 1939 dalam eksperimen yang diterbitkan oleh majalah Populer Science. Studi yang dilakukan Carnes mengandalkan kombinasi bahan karbon dan besi. Dengan perbandingan komposisi karbon dan besi tertentu, ia dapat menghasilkan pedang yang sangat fleksibel ataupun pedang yang sangat tajam. Akan tetapi, untuk mendapatkan pedang yang fleksibel sekaligus tajam seperti legenda baja Damaskus, itu adalah hal yang sangat sulit diperoleh.

Pada tahun 1985, Sherby dan Wadsworth menerbitkan tulisan penelitian di majalah Scientific American dan melaporkan bahwa komposisi karbon yang tinggi menghasilkan titik leleh yang lebih rendah dalam campuran baja. Menurut hasil penelitian ini, penempaan pada suhu rendah sangat penting untuk menghasilkan pola unik yang menjadi ciri khas baja Damaskus.

Hasil penelitian Sherby dan Wadsworth cukup relevan dengan kenyataan bahwa para pembuat pedang di Eropa pada Abad Pertengahan gagal membuat produk seperti baja Damaskus karena mereka justru menempa baja bercampur karbon pada suhu tinggi. Penempaan pada suhu tinggi kemungkinan akan menghilangkan komposisi karbon yang berperan penting dalam memberikan kekuatan mekanik pada baja.

Namun, pada tahun 2006, beberapa ilmuwan dari TU Dresden, Jerman, melakukan analisis bahan yang terkandung dalam sampel baja Damaskus yang diambil dari sebilah pedang kuno. Para peneliti ini sangat terkejut mendapati kemungkinan bahwa segala “keajaiban” yang terdapat pada baja Damaskus bisa jadi semata-mata berasal dari material “modern” yang terkandung di dalamnya. Dengan menggunakan mikroskop elektron, mereka menemukan keberadaan material bernama carbon nanotube dalam jumlah melimpah pada sampel baja Damaskus.

Carbon Nanotube? Makhluk macam apa ini?

Perlu diketahui bahwa unsur karbon secara umum adalah unsur yang sangat penting dalam kehidupan. Selain menjadi salah satu unsur terbanyak di alam ini, sifat bahan yang disusun oleh atom-atom karbon dapat diatur sesuai struktur materialnya. Contoh ekstrem misalnya, karbon dapat menjadi intan yang bersifat transparan dan kuat, dan di sisi lain karbon dapat menjadi grafit yang merupakan material yang buram dan rapuh.

Pada level molekuler, karbon bahkan memiliki beberapa bentuk dasar dengan sifat-sifat unik yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan tertentu. Nah, carbon nanotube adalah salah satu bentuknya pada dimensi satu. Bentuk yang lain (dalam istilah kimia biasa disebut sebagai salah satu alotrop) adalah graphene pada dimensi dua dan fullerene pada dimensi nol.

Fullerene (diilustrasikan dalam warna merah), graphene (abu-abu), dan carbon nanotube (hijau).
Fullerene (diilustrasikan dalam warna merah), graphene (abu-abu), dan carbon nanotube (hijau).

Secara historis, carbon nanotube ditemukan pada tahun 1991 oleh Sumio Iijima, meskipun sebenarnya beberapa penelitian tampaknya telah mengindikasikan keberadaan carbon nanotube lebih awal di sekitar tahun 1950-an. Carbon nanotube dapat dibayangkan sebagai lembaran graphene yang digulung menjadi suatu silinder atau tabung. Jumlah lembaran graphene yang digulung ini pun dapat menentukan sifat carbon nanotube.

Carbon nanotube memiliki diameter sekitar 1-2 nanometer (sepermiliar meter) dan panjang hingga 18 cm. Pada dasarnya, carbon nanotube yang tersusun dari selembar graphene bisa memiliki sifat konduktor ataupun semikonduktor tergantung dari arah penggulungan graphene. Hal ini telah menjadikan carbon nanotube sebagai kandidat kuat material elektronik masa depan untuk menggantikan silikon. Namun, alih-alih sifat elektroniknya, sebenarnya sifat mekanis carbon nanotube dalam bentuk kekuatan material dan fleksibilitasnya yang justru memiliki potensi yang lebih besar untuk segera diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Carbon nanotube yang tersusun atas beberapa lembar graphene (atau disebut multi wall carbon nanotube) dikenal setidaknya 50 kali lebih kuat daripada kebanyakan baja. Sifat yang istimewa ini bahkan dimiliki carbon nanotube dengan kerapatan yang lebih rendah dan fleksibilitas yang lebih tinggi. Salah satu aplikasinya yang sekarang sudah ada di pasaran adalah sebagai otot buatan dan bahan pesawat terbang.

Carbon nanotube dipilin menjadi otot buatan (penelitian M. D. Lima dkk, dipublikasikan di majalah Science tahun 2012).
Carbon nanotube dipilin menjadi otot buatan (penelitian M. D. Lima dkk, dipublikasikan di majalah Science tahun 2012).

Terkait dengan sifat mekanis carbon nanotube yang begitu istimewa, aplikasi lainnya yang pernah dimimpikan beberapa peneliti adalah menjadikan carbon nanotube sebagai bahan kabel elevator ke luar angkasa! Ini terdengar seperti sekadar fiksi, tetapi sebenarnya para peneliti serius memikirkannya. Caranya adalah dengan membentangkan kabel berbahan carbon nanotube di suatu stasiun pada ekuator Bumi ke sebuah beban pengimbang di ruang angkasa sehingga pusat massa sistem ini berada sedikit di atas orbit geostasioner, sekitar 36.000 km di atas permukaan Bumi.

Kabel elevator berbasis carbon nanotube yang dibentangkan dengan cara seperti itu akan seterusnya teregang karena adanya gaya sentrifugal pada beban pengimbang. Kabel elevator pun akan tetap tegak lurus permukaan Bumi karena posisi geostasioner dari pusat massa sistem elevator tersebut. Kendaraan elevator kemudian dapat membawa kita dari Bumi ke luar angkasa dalam beberapa hari tanpa perlu menggunakan sistem yang berbahaya seperti roket saat ini. Akan tetapi, sampai sekarang para peneliti belum menemukan cara yang efektif untuk membuat carbon nanotube sepanjang 36.000 km.

Konsep elevator luar angkasa menggunakan carbon nanotube. Gambar dari Wikipedia.
Konsep elevator luar angkasa menggunakan carbon nanotube. Gambar dari Wikipedia.

Kembali ke pedang kuno berbahan baja Damaskus, penemuan material carbon nanotube di dalam baja Damaskus mungkin saja menjadi alasan dari legenda kekuatan pedang tersebut. Diperkirakan bahwa kekuatan serta fleksibilitas baja Damaskus yang nyaris serupa dengan carbon nanotube bisa jadi memang disebabkan oleh keberadaan carbon nanotube dalam jumlah besar di dalam baja Damaskus. Tentunya kesimpulan ini masih perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut.

Sangat menarik bahwa meskipun carbon nanotube baru benar-benar ditemukan dan diteliti secara intensif pada dua dekade terakhir ini, tetapi pandai logam di masa lampau mungkin pernah tak sengaja menghasilkan carbon nanotube dalam jumlah besar dengan teknik penempaan tertentu pada baja Damaskus. Teknologi ini yang sampai sekarang masih belum bisa ditemukan kembali oleh generasi masa kini. Mungkin saja jika teknologi tersebut berhasil ditemukan, realisasi elevator ruang angkasa akan lebih mudah tercapai.

Bahan bacaan:

Penulis:
Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University.
Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top