Sekelumit Kisah Dinamika Kenampakan Muka Dunia

Seperti apakah rupa Bumi kita?

Mungkin benak kita pernah disusupi pertanyaan semacam ini ketika sedang mengamati bentukan muka Bumi yang demikian beragam. Katakanlah kita bisa mengamati ada gunung-gemunung di sisi barat, sebuah gunung yang besar di arah selatan, dan daerah rata di arah timur. Dan di sana, nun jauh pada arah tetangga, mungkin kita bisa melihat kilau laut menyibak ombaknya di pesisir, memecah horizon.

Jika selayang pandangan kita menyusuri horizon tak cukup untuk memberikan sudut pandang yang lebih luas, kita selalu bisa mendapatkan bantuan dari benda-benda yang telah dikembangkan manusia. Ada peta, baik berupa lembaran dalam buku atlas, terpatri di kulit globe, atau tertayang dari tampilan perangkat teknologi, yang dibuat dalam rangka mengenali lebih lagi bumi yang kita tinggali ini.

Ketika kita mulai merenungkan bagaimana orang-orang bisa mendapatkan gambaran yang sedemikian detail akan muka Bumi, pikiran kita biasanya akan melayang pada satelit. Dengan bantuan entah berapa banyak satelit yang diluncurkan berputar mengelilingi Bumi, manusia bisa mendapat citra yang utuh akan keseluruhan Bumi tanpa harus pergi menjauhi Bumi secara berkala.

Kalau begitu, dahulu, ketika belum ada satelit, bagaimana manusia mengetahui bentuk dari wujud Bumi?

Mari kita tanyakan pada orang zaman dahulu,

“Pak, apa saya boleh bertanya?”

Ya, silakan. Ada perlu apa?

“Saya ingin tahu, bagaimana ya orang zaman dahulu bisa mengetahui bentuk bulat Bumi, dan kenampakan permukaannya?”

Loh, memangnya Bumi bulat?

Dari Datar, ke Bulat, dan Kembali Datar

Proyeksi silinder ekuirektangular sederhana (plate carrée) muka planet Bumi. Sumber gambar: Wikipedia.
Proyeksi silinder ekuirektangular sederhana (plate carrée) muka Planet Bumi. Sumber gambar: Wikipedia.

Sebagian dari kita mungkin masih mengingat bahwa dalam pelajaran geografi, diceritakan Bumi berbentuk bulat. Atau, ya, bukan bola sempurna, melainkan bola yang sedikit dipepatkan. Diameter (garis tengah) Bumi jika diukur antara kutub ke kutub lebih kecil sekitar 0,3% dibandingkan diameter yang diukur ekuator. Akan tetapi, bukan itu topik tulisan kali ini.

Sebagaimana bisa terbaca dari kebingungan yang tergambar dari wawancara kecil-kecilan di awal tulisan ini, ide bahwa Bumi berbentuk bulat seperti bola bukanlah sebuah ide yang mudah dipahami atau disetujui begitu saja. Apalagi ketika alur waktu membawa kita mundur mengarungi waktu, kembali ke masa 2500 tahun yang lalu. Sebagaimana biasa diberitahukan kepada kita bersamaan dengan fakta bahwa bentuk Bumi bulat, pada masa-masa itu kebanyakan orang menganggap Bumi yang mereka tinggali sebagai sebuah permukaan datar yang demikian luasnya. Beberapa versi menambahkannya menjadi Bumi datar, ditudungi kubah langit berhiaskan bintang, Matahari, Bulan beserta planet. Jika menilik bagaimana orang mengamati daratan di sekitarnya, yang tidak melengkung, anggapan bahwa Bumi datar dapat dijelaskan dengan mudah.

Penggambaran Bumi datar yang dinaungi kubah langit. Sebenarnya hanya permukaan atasnya yang 'datar'. Sumber gambar: http://people.howstuffworks.com/creationism1.htm
Penggambaran Bumi datar yang dinaungi kubah langit. Sebenarnya hanya permukaan atasnya yang ‘datar’. Sumber gambar: http://people.howstuffworks.com/creationism1.htm

Penanaman fakta Bumi bulat sendiri mulai digulirkan pada abad keenam sebelum Masehi, didukung beberapa figur Yunani Kuno pada abad ke-6 dan ke-5 SM seperti Pythagoras dan Parmenides, yang kemudian disokong juga oleh Aristoteles. Ketiganya bukan orang sembarangan, lho. Siapa yang belum pernah dengar Teorema Pythagoras? Pemikiran Parmenides berpengaruh besar dalam pemikiran muridnya, Plato, padahal Plato sendiri merupakan peletak fondasi utama dalam Filosofi Barat. Aristoteles mungkin adalah tokoh Yunani Kuno paling terkenal di dunia sejak dulu hingga saat ini, sekaligus murid dari Plato.

Berkat nama besar para tokoh Yunani Kuno tersebut, paham Bumi bulat terus menyebar, mendapat persetujuan dari warga dunia hingga saat ini (meskipun seperti telah disebut sebelumnya, bentuk Bumi tidaklah bulat sempurna). Eratosthenes menjadi salah satu pelopor dalam membawa paham Bumi bulat ke dalam ranah matematis, melalui usahanya menghitung keliling Bumi. Catatan: Meski demikian, tetap ada sekelompok orang yang kukuh berpegang bahwa Bumi itu datar; salah satu kelompok yang paling terkenal adalah The Flat Earth Society.

Perlahan tapi pasti, orang-orang mulai mencoba menggambarkan Bumi berdasarkan pengetahuan akan bentukan geologis di daerah sekitar mereka, juga berdasar pada data-data perjalanan yang diperoleh dan dipublikasikan orang pada masa itu. Mereka berusaha menggambarkan kenampakan permukaan Bumi dalam bidang datar, membentuk apa yang kini kita kenal sebagai peta.

Bumi Yang Kenampakannya “Dinamis”

Salah satu pelopor dalam pembuatan peta dunia adalah Anaximander, yang diyakini sebagai salah satu pemikir generasi awal di kebudayaan Yunani Kuno. Peta dunia versinya dianggap sebagai awal dari berkembangnya ilmu geografi yang kemudian dikukuhkan dasar-dasarnya oleh Eratosthenes.

Rekonstruksi peta dunia versi Anaximander (610-546 SM; kiri) dan Hecataeus (550-476 SM; kanan). Peta Hecataeus diadaptasi dari peta milik Anaximander, yang dimodifikasi dengan memberikan detail lebih. Sumber gambar: Wikipedia.
Rekonstruksi peta dunia versi Anaximander (610-546 SM; kiri) dan Hecataeus (550-476 SM; kanan). Peta Hecataeus diadaptasi dari peta milik Anaximander, yang dimodifikasi dengan memberikan detail lebih. Sumber gambar: Wikipedia.

Di masa itu, hanya sedikit orang yang pernah berkelana hingga ribuan, atau bahkan ‘sekadar’ ratusan kilometer dari kampung halamannya. Juga, pemahaman bahwa Bumi itu datar masih banyak diyakini, sekitar abad ke-6 sebelum Masehi. Berselang beberapa tahun kemudian, Hecataeus, seperti halnya Anaximander yang hidup di kota Miletus (kini di pantai barat Turki), mempublikasikan petanya yang merupakan versi lebih besar dan lebih mendetail dari peta versi Anaximander, juga masih menyiratkan keyakinan akan Bumi datar.

Sejarah kemudian mencatat peta-peta yang mengalami pertumbuhan dari sisi cakupan wilayah, detail, juga dari gaya penggambaran yang mencitrakan lengkungan permukaan Bumi, sebagai indikator bahwa pada saat peta-peta ini dibuat, paham Bumi yang bulat telah menyebar dan umum diterima oleh masyarakat.

Dari kiri ke kanan: Peta dunia versi Eratosthenes (dibuat sekitar 194 SM), versi Posidonius (sekitar. 150-130 SM). dan Ptolomeus (sekitar 150 M). Sumber: Wikipedia.
Dari kiri ke kanan: Peta dunia versi Eratosthenes (dibuat sekitar 194 SM), versi Posidonius (sekitar. 150-130 SM), dan Ptolomeus (sekitar 150 M). Sumber: Wikipedia.

Dimulai dari peta Eratosthenes yang menambahkan detail dari perjalanan Alexander Agung dengan menggambarkan benua Asia secara lebih besar dari Eropa, Eratosthenes juga menambahkan fitur yang serupa dengan lintang dan bujur pada peta masa kini dalam petanya, sebagai implikasi dari pemahaman Eratosthenes akan bentuk Bumi yang bulat. Berselang hampir setengah abad setelahnya, Posidonius, yang sebagaimana Eratosthenes, juga melakukan usaha menghitung keliling Bumi, memperkenalkan peta buatannya, yang meskipun tidak disertai garis lintang dan bujur sebagaimana peta Eratosthenes, menggambarkan kelengkungan Bumi dengan lebih baik.

Peta Ptolemeus sedikit banyak memiliki kesamaan dengan peta Posidonius yang dibuat 300 tahun sebelumnya. Namun, dalam petanya Ptolemeus tidak menggambarkan benua Afrika dan Asia secara utuh, melainkan terpotong pada pinggir cakupan peta. Perhatikan bahwa empat peta yang disebut sebelumnya di tulisan ini menggambarkan samudra di pinggir peta, mengelilingi massa benua yang tercitrakan.

Detail dan cakupan peta Ptolemeus yang lebih baik (mencakup sebagian Asia Tenggara dan China, serta penggambaran Asia yang makin besar) cocok dengan fakta bahwa Jalur Sutra mulai dibuka pada masa Dinasti Han, abad kesatu sebelum Masehi. Dibukanya Jalur Sutra tentu akan memperluas pemahaman pihak Barat (Yunani dan Romawi kuno) serta Timur (China kuno) akan skala keluasan permukaan Bumi, khususnya wilayah Eurasia.

Dalam beberapa abad selanjutnya, kebudayaan Yunani Kuno perlahan dikalahkan oleh tetangganya, Kerajaan Romawi. Kerajaan ini menjadi salah satu kerajaan terbesar pada abad-abad awal Masehi. Ia berdagang dengan Dinasti Han dan kemudian Dinasti Jin di China, serta Kerajaan Persia di Iran. Kerajaan Romawi sendiri mulai mundur ketika negara Khilafah Islamiyah yang dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW bertumbuh secara pesat pada abad ke-7 Masehi, memukul mundur baik Romawi maupun Persia.

Kemunduran kerajaan Romawi kemudian diikuti dengan mundurnya kebudayaan Eropa, menandai periode yang dikenal sebagai Masa Kegelapan. Sebaliknya, bagi kerajaan Islam yang meneruskan negara Khilafah dibawah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ini adalah masa keemasan. Berbagai literatur warisan Yunani Kuno yang ditemukan oleh pihak Islam kemudian diterjemahkan dan dipelajari oleh cendekiawan masa itu.

Peta buatan Ali al-Mas'udi, c. abad ke-9 Masehi. Perhatikan bahwa tulisan Arab di peta terbalik karena peta ini dirancang dengan arah utara di bagian bawah, alih-alih di atas. Sumber gambar: Wikipedia.
Peta buatan Ali al-Mas’udi, c. abad ke-9 Masehi. Perhatikan bahwa tulisan Arab di peta terbalik karena peta ini dirancang dengan arah utara di bagian bawah, alih-alih di atas.
Sumber gambar: Wikipedia.

Kembali ke topik peta, ahli geografi muslim membuat peta dengan banyak pengaruh dari peta Yunani Kuno, terutama milik Ptolemeus. Nama-nama yang terkenal diantaranya Abu Zayd al-Balkhi, Ali al-Mas’udi, Ibnu Hawqal, Ibnu Rustah, Al-Biruni dan Muhammad al-Idrisi.

Abu Zaid al-Balkhi dikenal karena sekolah pemetaan ‘Balkhi’ yang ia dirikan, yang kemudian memunculkan ahli-ahli pemetaan dari kaum muslim pada generasi berikutnya.

Peta Tabula Rogeriana karya Muhammad al-Idrisi, dibuat tahun 1154 M. Desain asli peta adalah arah selatan di bagian atas. Sumber gambar: Wikipedia.
Peta Tabula Rogeriana karya Muhammad al-Idrisi, dibuat tahun 1154 M. Desain asli peta adalah arah selatan di bagian atas. Sumber gambar: Wikipedia.

Ibnu Hawqal adalah salah satu figur lulusan sekolah Balkhi yang paling dikenal. Ia membuat buku bertema geografi dengan judul Surah al-Ard (gambaran Bumi), yang juga memuat peta dunia buatannya. Ibnu Hawqal juga adalah seorang petualang, dan ia pernah berkelana hingga daerah selatan ekuator, menjumpai banyak orang penduduk asli. Hal ini jelas sekali menyanggah pemikiran Aristoteles lebih dari 1000 tahun sebelumnya, tentang wilayah ekuator yang menurutnya terlalu panas untuk bisa dihuni manusia.

Al-Biruni adalah salah satu cendekiawan termasyhur dari Kerajaan Islam, dengan hasil studi meliputi bidang fisika, astronomi, geografi, mineralogi, dan sejarah. Salah satu karyanya terkait dengan proyeksi peta azimuthal-ekuidistan, proyeksi yang digunakan PBB dalam lambangnya untuk menggambarkan Bumi. (meskipun dalam prakteknya Al-Biruni menggunakan proyeksi tersebut dalam menggambarkan bola langit).

Sekarang mari kembali ke perputaran roda sejarah…

Seiring bangkitnya kebudayaan Eropa dalam era yang dikenal dengan nama Renaissance, kini giliran Kerajaan Islam yang meredup dalam bidang pengetahuan. Meski demikian, kekuatan kerajaan Islam dalam hal militer cukup dominan. Hal ini dipertunjukkan kepada dunia lewat penaklukan Konstantinopel atau Istanbul pada tahun 1453 oleh Kekaisaran Utsmani/Ottoman, di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih (Muhammad II atau Mehmet II) yang masih berusia 21 tahun. Penaklukan ini juga menandai runtuhnya Kerajaan Romawi secara keseluruhan. Sebagian sejarawan menandai penaklukan ini sebagai akhir dari Abad Pertengahan.

Mengapa demikian? Setelah takluknya Kerajaan Romawi di tangan Ottoman, perlahan Jalur Sutra yang sudah digunakan selama berabad-abad itu ditinggalkan oleh bangsa Eropa. Berdagang melalui Jalur Sutra berarti mau tak mau harus melewati daerah kekuasaan Utsmani, sementara saat itu Kekaisaran Utsmani dikenal anti-Barat dan tidak membuka peluang berdagang dengan bangsa-bangsa Eropa saat itu. Tidak bisa berdagang ke arah timur, bangsa-bangsa Eropa mulai mencoba memutar ke arah barat, menggapai daerah berdagang lain dengan mengarungi Samudra Atlantik.

Berbagai ekspedisi dari Kerajaan Portugis, Spanyol, Prancis dan Inggris membuat mereka menemukan banyak daerah yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Eropa, seperti gugusan pulau-pulau Oseania, serta kepulauan Indonesia yang kaya rempah. Christopher Columbus menjadi terkenal karena menemukan benua Amerika ketika ia sebenarnya sedang mencari India, kesalahan yang sampai sekarang masih membekas pada nama Barat untuk suku asli Amerika Utara, Indian.

Spanyol dan Portugal yang sebelumnya sibuk bertikai memperebutkan daerah untuk dikuasai, kemudian merajalela di daerah jajahan masing-masing yang dipisahkan oleh garis bujur yang ditentukan pada Perjanjian Tordesillas, yang namanya, serta visi 3G-nya (gold, glory, gospel), mungkin masih terngiang-ngiang dari pelajaran IPS kita di masa SD dan SMP. Salah satu ekspedisi ini, yang dipimpin Ferdinand Magellan, adalah ekspedisi pertama yang membuktikan secara nyata bahwa Bumi itu bulat, dengan berlayar dari Portugis, menyusuri pantai timur Amerika Selatan, kemudian bertolak ke arah Pasifik, terus hingga mencapai Filipina (Magellan sendiri terbunuh di Filipina), Maluku, dan kembali ke Portugis.

Bermain Dengan Proyeksi, Berakibat Saling Berselisih

Meningkatnya frekuensi pelayaran dengan kuat pada masa Renaissance, atau dikenal sebagai zaman penjelajahan, meningkatkan kebutuhan akan peta yang bisa diandalkan untuk navigasi dalam pelayaran. Ketika kita berbicara tentang pentingnya keberadaan sebuah peta dari sudut pandang navigasi, tentu yang paling penting bukanlah luasnya daerah yang tercakup dalam peta. Fokus saat itu adalah, bagaimana membuat peta yang bisa mempermudah navigasi? Bagaimana sebuah peta bisa dibuat supaya kapal benar-benar bisa berlayar pada arah yang sesuai dengan panduan peta, dan sampai ke tujuan dengan benar?

Jawaban untuk peta semacam itu, atau paling tidak jawaban sementara, hadir pada tahun 1569. Seorang kartografer dari Rupelmonde, Belgia, bernama Gerardus Mercator, memperkenalkan peta dunia versinya, yang dibuat dengan sistem proyeksi tersendiri.

Peta dunia versi Gerardus Mercator, buatan tahun 1569. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di: http://en.wikipedia.org/wiki/Mercator_1569_world_map
Peta dunia versi Gerardus Mercator, buatan tahun 1569. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di: http://en.wikipedia.org/wiki/Mercator_1569_world_map

Apa? Proyeksi? Makhluk apa lagi ini?

Sebagaimana kita, dan juga orang-orang pada abad ke-16 sudah umum ketahui, bentuk Bumi adalah bulat. Dengan demikian, peta yang paling akurat untuk dipakai menggambarkan Bumi tentunya adalah sebuah peta yang diletakkan pada kulit sebuah bola. Kita mengenal bola bergambar yang satu ini dengan panggilan globe.

Sayangnya, meskipun globe secara fisis lebih akurat dibandingkan peta-peta lain yang ada, kelemahan dari menggunakan sebuah globe sebagai peta rujukan paling tidak itu ada dua. Pertama, membawa globe ke mana-mana tidaklah praktis. Memangnya ada orang yang rela membawa sebuah bola kemana-mana, sepanjang waktu, hanya karena di kulit bola terpatri kenampakan wajah Bumi? Kedua, karena sebuah globe secara otomatis akan menjadi sebuah miniatur bola Bumi secara keseluruhan, detail yang tersaji pada muka globe akan jauh berkurang. Untuk mengembalikan detail ini, ukuran globe harus diperbesar. Sebuah opsi yang akan membawa kita kembali ke masalah pertama, bergulung menjadi masalah yang lebih besar. Itu secara harfiah.

Dengan dua alasan tersebut, sebuah peta yang berbentuk datar dan bisa digulung akan sangat mempermudah si pemilik untuk membawanya kemana-mana. Masalah untuk kali ini adalah, bagaimana kita mengubah wujud permukaan bola Bumi menjadi sebuah persegi panjang di selembar kertas? Proses perubahan wujud inilah yang disebut proyeksi. Dan proyeksi milik Mercator adalah salah satunya.

Tetapi, ini bukan sekadar ‘salah satu

Proyeksi Mercator memiliki sebuah keistimewaan yang sangat berguna dalam bidang navigasi pelayaran. Tariklah sebuah garis lurus di peta proyeksi Mercator, kita bisa dapati sebuah garis yang dikenal dengan nama loksodrom, atau garis rhumb. Garis ini, jika dilanjutkan, akan memotong seluruh garis bujur yang dilalui dengan sudut yang sama. Artinya, jika mengikuti garis ini, kita akan terus melaju pada arah yang sama. Keunggulan proyeksi Mercator ini kemudian menjadikannya digunakan sebagai peta standar dalam navigasi kelautan dunia.

Proyeksi Mercator atas muka Bumi. Sumber: http://www.learnnc.org/lp/editions/mapping/6411
Proyeksi Mercator terhadap muka Bumi. Sumber: http://www.learnnc.org/lp/editions/mapping/6411

Akan tetapi, sebagaimana orang dulu bilang “no pain, no gain“, keunggulan proyeksi Mercator yang direspon dengan begitu baik oleh masyarakat ini ternyata berbuah pada kekurangan yang muncul pada kenampakan pulau dan benua di Bumi. Mercator membentuk petanya sedemikian rupa supaya semua garis bujur saling sejajar satu sama lain. Oleh karenanya, mau tak mau ia memperbesar daerah dekat kutub, menghasilkan distorsi yang terkenal di peta Mercator.

Beberapa daftar distorsi yang paling kentara adalah:

  • Greenland yang terlihat jauh lebih besar dari aslinya, bahkan menyaingi besarnya Amerika Selatan dan Afrika, yang aslinya belasan kali lebih besar.
  • Afrika yang sebetulnya adalah benua terbesar kedua di dunia (setalah Asia), di peta Mercator terlihat lebih kecil daripada Amerika Utara, dan hanya sebesar sepertiga Asia.
  • Amerika Selatan terlihat lebih ‘ramping’ akibat distorsi pada ujung selatan benua.
  • Kepulauan Arktik Kanada, yang sebenarnya ‘hanya’ seluas tiga perempat wilayah Indonesia pun menjadi terlihat besar jika dibandingkan dengan Indonesia.
  • Eropa yang sebenarnya hanya seluas sepertiga Afrika, di sini terlihat setara.

Berkaitan dengan karakteristiknya ini, peta dunia yang diproyeksikan dengan proyeksi Mercator tidak menggambarkan kenampakan muka dunia dengan baik. Meski demikian, karena pengaturan peta yang ‘rapi’, dengan garis-garis lintang dan bujur berpotongan tegak lurus, serta tentunya bentuk peta yang persegi panjang, banyak penerbit memilih proyeksi Mercator sebagai penggambaran dunia di peta yang mereka terbitkan. Hasilnya, dalam beberapa abad sejak diperkenalkannya proyeksi Mercator, proyeksi ini telah menjadi proyeksi peta paling populer di dunia Barat. Kebanyakan orang saat itu akan segera membayangkan sebuah peta Mercator ketika membicarakan suatu topik geografi.

Perlahan tapi pasti, seperti menarik kuda bersama dengan pedati, mulai bersemi kontroversi berkaitan peta ini. Distorsi pada peta, seperti sudah digambarkan sebelumnya, memperbesar wilayah Eropa, dengan bangsa-bangsanya yang saat itu terkenal banyak menjajah berbagai daerah lain di Bumi. Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara yang terletak berdekatan dengan ekuator menjadi daerah yang terlihat ‘kerdil’ di peta. Sayangnya, orang Barat sudah merekam peta Mercator sebagai gambaran Bumi, dan seperti semua orang sejak zaman prasejarah paham betul, sesuatu yang digambarkan besar adalah yang lebih mulia, lebih berkuasa, pun juga sebaliknya. Ada kesan membuat wilayah di ekuator terlihat ‘kecil’ dan ‘tidak penting’, dan pihak kontra berargumen, bahwa dengan inilah pihak kolonialis melanggengkan propagandanya.

Proyeksi Gall-Peters atas muka Bumi. Sumber gambar: http://mentalfloss.com/article/19364/3-controversial-maps
Proyeksi Gall-Peters terhadap muka Bumi. Sumber gambar: http://mentalfloss.com/article/19364/3-controversial-maps

Penggunaan peta Mercator sedikit demi sedikit mulai pudar seiring berkembangnya teknologi, begitu pula kontroversi yang menyertai. Sejak tahun 1940an, para karrtograf pun sudah mulai mencari proyeksi yang cocok untuk menggantikan proyeksi Mercator yang ‘sudah tidak cocok’.

Kontroversi yang mulai pudar itu pun kemudian bangkit lagi pada tahun 1973, ketika seorang sejarawan dan jurnalis Jerman, Arno Peters, mempublikasikan sebuah peta proyeksinya. Ia mengklaim petanya sebagai lawan yang tepat bagi peta Mercator. Mengapa lawan yang tepat? Karena, ketika proyeksi Mercator berusaha menyeragamkan sistem lintang dan bujur Bumi dengan cara memperbesar bagian yang jauh dari ekuator, proyeksi Peters memakai aturan equal area dan mempertahankannya dengan cara mendistorsikan bentukan Bumi di daerah dekat ekuator.

Peters berkeyakinan bahwa peta proyeksinya bisa lebih berpihak kepada negara-negara di wilayah ekuator, yang oleh peta proyeksi Mercator terkesan dikerdilkan. Berbagai kelompok pun segera menyatakan dukungannya pada peta proyeksi Peters ini, yang dianggap sebagai bukti kepedulian bagi negara-negara tropis. Namun, karena hasil dari proyeksi ini “tidak lebih bagus daripada hasil proyeksi Mercator”, dukungan yang diperoleh tidak sebanyak yang diharapkan sebelumnya.

Pada akhirnya, yang membuat peta Peters makin tenggelam adalah fakta bahwa ia terlambat dari orang lain dalam membuat peta yang sama, tepatnya terlambat 118 tahun. Tahun 1855, seorang kartografer bernama James Gall, membuat peta dengan desain yang sama dengan buatan Peters. Meskipun Peters sendiri mengaku tidak tahu menahu tentang James Gall sebelum mempublikasikan petanya, sampai sekarang proyeksi itu tetap disebut Proyeksi Gall-Peters.

Seiring waktu, kontroversi peta ini perlahan memudar. Melihat adanya kontroversi atas persoalan “peta siapa yang benar”, sebanyak 7 organisasi geografi profesional di AS tergugah untuk mengadakan pertemuan pada tahun 1989-1990. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan sebuah resolusi berikut ini:

WHEREAS, the earth is round with a coordinate system composed entirely of circles, and

WHEREAS, flat world maps are more useful than globe maps, but flattening the globe surface necessarily greatly changes the appearance of Earth’s features and coordinate systems, and

WHEREAS, world maps have a powerful and lasting effect on peoples’ impressions of the shapes and sizes of lands and seas, their arrangement, and the nature of the coordinate system, and

WHEREAS, frequently seeing a greatly distorted map tends to make it “look right,”

THEREFORE, we strongly urge book and map publishers, the media and government agencies to cease using rectangular world maps for general purposes or artistic displays. Such maps promote serious, erroneous conceptions by severely distorting large sections of the world, by showing the round Earth as having straight edges and sharp corners, by representing most distances and direct routes incorrectly, and by portraying the circular coordinate system as a squared grid. The most widely displayed rectangular world map is the Mercator (in fact a navigational diagram devised for nautical charts), but other rectangular world maps proposed as replacements for the Mercator also display a greatly distorted image of the spherical Earth.

Singkatnya, penggunaan peta berbentuk persegi panjang akan dihentikan sepenuhnya. Termasuk di antaranya, peta Mercator serta peta Gall-Peters. Singkat cerita, hingga saat ini peta Gall-Peters sudah jarang beredar, kecuali di tulisan yang mempropagandakan anti-Mercator, atau tulisan semacam yang sedang Anda baca saat ini. :D

Untuk saat ini, salah satu proyeksi yang paling populer adalah proyeksi Robinson, proyeksi yang sedikit berbeda dari proyeksi lain, karena mengutamakan pendekatan artistik, yaitu bagaimana membuat kenampakan permukaan Bumi terlihat lebih nyata, alih-alih pendekatan matematis seperti yang biasa dipakai pembuat peta sebelumnya.

Proyeksi Robinson (atas) dan proyeksi Winkel tripel (bawah). Sumber gambar: Wikipedia.
Proyeksi Robinson (atas) dan proyeksi Winkel tripel (bawah). Sumber gambar: Wikipedia.

Kebanyakan peta global yang digunakan di Wikipedia menggunakan proyeksi Robinson, sementara sejak 1998, National Geographic memilih proyeksi Winkel tripel dalam terbitan mereka selanjutnya, hingga saat ini. Lalu, bagaimana dengan Mercator? Yang satu ini tetap tak lekang oleh waktu, tetap setia menemani di dinding kelas kita, atau di samping meja Bu Guru. Namun, berhubung tidak semua kelas punya peta dunia, kita bisa lihat salah satu laman yang masih setia dengan peta proyeksi Mercator: Google Maps.

Sedikit hiasan lagi, ada yang bilang bahwa diskusi mengenai peta tidak akan lengkap tanpa menyertakan laman ini: http://xkcd.com/977/

Mungkin cukup sekian dongengnya. Sepertinya penulis terlalu larut dalam mengetik, akhirnya jadi sepanjang ini.

Bahan bacaan:

Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top