Ilmiah, istilah yang cukup eksklusif dan tak merakyat. Meski tak merakyat, sikap ilmiah mesti dimasyarakatkan. Karena sikap ilmiah bisa melahirkan rasa tanggung jawab dan harmonisasi dalam kehidupan. Tak ada sikap ilmiah, kerusakan bisa terjadi di mana-mana, tak terkecuali di jalanan. Mau bukti? Mari cermati data soal kecelakaan lalu lintas berikut ini.
Badan organisasi kesehatan PBB, WHO, merilis laporan terkait pembunuh terbesar ketiga di dunia, yaitu jantung koroner, TBC, dan kecelakaan lalu lintas. Di tahun 2011, 67 persen korban lalu lintas berusia produktif (22 – 50 tahun). Sebanyak 400.000 korban berusia di bawah 25 tahun. Rata-rata angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas berjumlah 1.000 anak dan remaja perhari.
Dalam konteks kecelakaan lalu lintas di Indonesia, lembaga POLRI melansir informasi tentang jumlah kecelakaan dan korban yang meninggal di tahun 2011 dan 2012. Ada 109.038 kasus di tahun 2011, dan 109.776 kasus di tahun 2012. Sedangkan korban meninggal berjumlah 27.441 orang (2011) dan 31.185 orang (2012). Potensi kerugian diperkirakan senilai Rp 203 – 217 triliun pertahun.
Selain didominasi usia muda dan produktif, sebagian besar kasus kecelakaan terjadi pada masyarakat miskin sebagai pengguna sepeda motor, dan transportasi umum. Data dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun.
Ada hal penting yang mesti jeli dicermati, dampak sosial kecelakaan lalu lintas akan menciptakan manusia miskin baru di Indonesia, terutama terjadi pada keluarga yang ditinggal suami dan atau orang yang sebelumnya menjadi penopang hidup keluarga. Data-data mencengangkan ini membuka ingatan penulis pada sebuah tulisan reflektif dan menggelitik punya Mas Prie G.S., ‘Bangsa Ilmiah’ (Majalah Khalifah, Edisi April 2011). Saya kutip salah satu bagian dari tulisan beliau untuk kita renungi bersama.
“Jadi sikap ilmiah itu adalah pencapaian yang jauh lebih dari sekadar pencapaian teknologi. Karenanya, di hari-hari ini, saya terdorong menerjemahkan sikap ilmiah itu ke dalam soal apa saja tak peduli remeh dan sederhana sepanjang ia pro-keluhuran. Sopir truk yang mengganjal rodanya dengan batu lalu meninggalkan begitu saja jelas jauh dari sikap ilmiah. Tetapi seorang yang tergerak menyingkirkannya, adalah manusia ilmiah. Karena di balik tindakan penyingkiran itu ada rentetan imajinasi yang tidak sederhana”.
Jalanan adalah cermin budaya masyarakat. Kapan terakhir Anda melihat angkot berhenti di tikungan, berkendara sambil menggunakan telepon seluler atau melawan arah, berbelok arah secara tiba-tiba, menyeberang jalan sembarangan? Demi mengejar kenyamanan sesaat, banyak orang mengabaikan keselamatan diri dan orang lain. Banyak orang mengedepankan emosi dengan meniadakan cara berpikir rasional.
Mengapa masyarakat tak terbiasa berpikir rasional? Mengapa sulit sekali membangun budaya disiplin di masyarakat? Tak disiplin dan tak berpikir rasional, sumber utama penyebab kekisruhan yang sering terjadi di jalan raya. Tak disiplin dan tak berpikir rasional itu tanda kemalasan. Yang malas-malas pasti ngeri membayangkan kedisiplinan. Bagi mereka, disiplin dan berpikir rasional adalah hidup seperti robot. Itulah pemalas di mana pun tidak bisa diandalkan karena tak punya tanggung jawab.
Hemat penulis, ada beberapa hal yang mesti dilakukan agar persoalan kecelakaan lalu lintas bisa dibenahi secara bertahap.
Pertama, ubah cara berpikir kita soal pentingnya sikap tanggung jawab dalam berlalu lintas. Berkendaraan di jalan raya itu harus beretika. Ingat, jalan raya itu bukan milik kita sendiri. Meski kita tunggangi kendaraan pribadi, kita harus menjunjung tinggi sikap tanggung jawab dan saling menghargai dengan pengguna jalan lain. Hindari kecerobohan yang bisa merugikan orang lain. Tak ada acara salip kiri, santai ber-sms ria saat mengemudi, dan tindakan konyol lain yang bukan hanya menjemput maut untuk diri sendiri, tapi mengundang kematian bagi orang lain.
Kedua, menyengaja infrastruktur jalan raya tetap rusak adalah seburuk-buruk perilaku pemerintah terhadap masyarakat. Bicara soal jalan raya, maka kita sedang bicara soal kebutuhan publik. Oleh karena itu, tindakan melakukan korupsi terhadap biaya pengadaan dan perbaikan fasilitas lalu lintas, inilah salah satu dosa besar pemerintah. Mengapa dosa besar? Karena hal ini dilakukan secara tersistematis, terlembagakan, dan berlangsung terus-menerus tanpa ada niat untuk bertaubat. Perbaiki infrastruktur jalan raya, itu harga mati.
Ketiga, prosedur untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) harus superketat. Sistem yang ketat bisa mendidik orang agar punya cara berpikir benar soal uji kelayakan dalam mengemudikan kendaraan. SIM harus menjadi penanda bagi orang yang punya kesadaran dan tanggung jawab atas keselamatan diri dan orang lain selama berkendaraan. Bukan hanya sebagai ciri bagi orang yang mahir mengemudi saja.
Sebagai contoh, di Kanada, orang yang pada saat tes mahir mengemudi tapi tak tunjukkan sikap disiplin dan bertanggung jawab, orang Betawi bakal bilang, “Maaf kali ye Saudara tak lulus”. Sebaliknya, orang yang punya kemampuan standar dalam mengemudi, namun tunjukkan sikap disiplin dan punya etika berlalu lintas, dialah yang layak lulus. Itulah cara berpikir ilmiah. Membiasakan sikap disiplin dan bertanggung jawab pada diri masyarakat, itulah pendidikan sejati. Mahir mengemudi, itu sekadar pelatihan. Latih saja berulang-ulang, pasti bisa. Berlatih mengemudi butuh waktu relatif singkat. Tapi, mendidik orang untuk bersikap baik, perlu waktu relatif lama agar permanen dan dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Itulah beda nyata antara pendidikan dan pelatihan.
Keempat, terapkan prinsip penghargaan dan hukuman secara konsisten dan terus-menerus. Jangan asal menghukum dan umbar penghargaan sembarangan. Harus terencana dan bertujuan, semata-mata untuk mendidik masyarakat. Misal, orang yang terbukti melanggar aturan lalu lintas tiga kali berturut-turut, maka izin mengemudinya dicabut dan tak boleh berkendaraan selama kurun waktu tertentu. Sebelum vonis dilakukan, proses pembinaan harus dilakoni terlebih dahulu. Pun bagi yang tercatat punya riwayat baik dalam berkendaraan, pihak POLRI bisa mengeluarkan publikasi ke berbagai jaringan media informasi. Jika mau lebih serius, lakukan riset untuk melihat apakah ada hubungan dan pengaruh prinsip penegakan hukum terhadap tingkat kecelakaan lalu lintas. Jika hal demikian dianggap sulit dan merepotkan, artinya memang inilah potret bangsa bermental pemalas.
Kelima, standardisasi semua fasilitas transportasi umum. Kalau bisa nyaman dan aman naik kendaraan umum, mengapa harus pakai kendaraan pribadi? Pemerintah perlu serius mencermati hal ini. Jangan-jangan, cara ini bisa jadi salah satu alternatif solusi untuk menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas. Syaratnya satu, jangan basa-basi dengan persoalan ‘standardisasi’.
Kendaraan laik jalan dan pengemudi yang sudah terstandardisasi bisa membuat masyarakat beralih minat untuk menggunakan kendaraan umum. Apa makna yang bisa ditelisik di balik tradisi mudik? Banyak masyarakat yang memilih naik kendaraan motor menempuh jarak yang sangat jauh. Bukankah ini perkara berisiko? Bisa jadi mereka paham konsekuensi bahayanya naik kendaraan bermotor. Tapi kalau hal itu dilakukan karena alibi tak ada kendaraan umum yang relatif terjangkau dan nyaman, apa kata dunia. Jadi, pahamilah bahwa persoalan kecelakaan lalu lintas amat kompleks.
Mari kita berkaca sedikit dari hal-hal baik di beberapa negara maju. Jalanan di hampir semua negara maju sangat mengutamakan ketertiban, taat aturan, dan mengutamakan pengendara yang paling lemah, yaitu sepeda. Dengan kondisi yang demikian, kondisi jalanan di negara-negara seperti Jepang, Jerman, atau bahkan yang sangat dekat dengan kita, Singapura, sangat nyaman dan aman, walaupun tentu ada kemacetan yang tidak jauh berbeda dengan di Jakarta. Kebanyakan masyarakat di negara maju memanfaatkan transportasi umum seperti bu dan kereta api dengan maksimal.
Manakala pemerintah menetapkan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang bertujuan mengurai kemacetan, selayaknya pemerintah sudah menyediakan transportasi massal yang memadai. Bandingkan dengan solusi kemacetan kota metropolitan di Indonesia yang akan berbenturan dengan adanya program dari pemerintah itu sendiri, seperti penyediaan mobil murah, di tengah masih amburadulnya transportasi massal. Kondisi lain yang semakin menambah miris adalah penegakan hokum terhadap pelanggaran di jalanan yang masih “tebang pilih” terhadap para pelaku pelanggaran dari yang ringan sampai kepada yang menyebabkan nyawa orang lain meninggal. Ironisnya, itu semua terjadi karena adanya indikasi pelaku pelanggarannya adalah orang yang memiliki pengaruh di negeri kita tercinta, Indonesia.
Kehidupan ini selalu memberikan pesan hikmah di balik terjadinya suatu peristiwa. Begitu pun dengan data dan realitas potret kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Inilah saat terbaik bagi Indonesia untuk menasbihkan diri menjadi bangsa yang ilmiah. Bukan dengan beretorika tanpa makna soal istilah ‘ilmiah’. Tapi mulai membenahi cara berpikir masyarakat soal sikap disiplin dan tanggung jawab, menguatkan sistem dan tata aturan berlalu lintas, perbaikan infrastruktur jalan, dan teladan dari para pemimpin dalam berkendara di jalan raya. Persoalan kecelakaan lalu lintas adalah masalah ‘kita’. Maka, semua pihak musti saling menghargai dan bertanggung jawab atas hak-hak orang lain di jalan raya. Marilah belajar menjadi warga dunia yang pandai bersikap ilmiah. Dan semua dimulai dari sikap pemerintah yang musti ilmiah, sederhana dan pro-keluhuran.
Penulis:
Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia.
Kontak: syafaat_makmalian(at)yahoo(dot)com.