Merenungkan Kembali Arti “Kemajuan”

Dalam pelajaran di sekolah, kita sering mendengar pemaparan arti kemajuan dan pembangunan, tentang tujuan pembangunan negeri kita untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Pembangunan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dicanangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), istilah rencana pembangunan ala Soeharto, dimaksudkan demi tercapainya masyarakat adil dan makmur dan manusia seutuhnya, yang hingga kini kita tidak tahu entah kapan akan tercapai.

Kita tidak bermaksud skeptis terhadap pembangunan ekonomi. Perlu disadari bahwa banyak hal yang dihasilkan oleh pembangunan ekonomi: masyarakat yang berpendidikan, membaiknya tingkat hidup dan kesehatan, dan lain-lain. Tetapi di lain pihak, kita kemudian terlalu sempit mengartikan kemajuan: mempunyai gedung-gedung pencakar langit, handphone yang makin lama makin canggih, TV satelit, internet, dan lain-lain. Aktivitas ekonomi dipacu dan diputar sekencang-kencangnya dan dengan berbagai cara, untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang telah maju beberapa dekade sebelumnya. Dan sekali lagi, entah kapan ketertinggalan tersebut akan terkejar.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan, apakah arti manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, tujuan pembangunan kita itu. Apakah kemajuan ekonomi yang kita kejar dengan berbagai cara benar-benar akan membuat kita menjadi masyarakat adil dan makmur, sebagai manusia seutuhnya? Dengan struktur sosial masyarakat Indonesia, apakah cara-cara dan ukuran-ukuran pembangunan ala negara lain cocok dengan sosial struktur kita?

Bhutan, negara kecil di pegunungan Himalaya, dalam beberapa tahun ini telah berani mendeklarasikan diri bahwa ukuran kemajuan negara mereka bukan diukur dengan GDP atau indikator ekonomi lainnya, tetapi dengan GNH (Gross National of Happiness) – yang dicapai dengan cara-cara dan ukuran-ukuran ala mereka sendiri. Tentunya akan sangat menarik jika kita hubungkan antara pembangunan manusia seutuhnya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dengan GNH. Seharusnya tujuannya tidaklah jauh berbeda.

Ada beberapa variabel GNH yang sama dengan ukuran indeks pembangunan konvensional seperti kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, termasuk tatakelola pemerintahan yang baik (good governance). Tetapi GNH juga memberi perhatian pada ukuran psikologis, ekologis, budaya, bahkan memperhitungkan waktu untuk bersantai. Sepertinya Bhutan sudah menyadari bahwa ukuran kebahagian masyarakatnya tidak akan bisa tercapai dengan ukuran ala negara lain, karena dalam beberapa hal, struktur masyarakatnya berbeda.

Tradisi Magibung (makan bersama) masyarakat Hindu Bali, yang juga dipraktikkan oleh Muslim di Bali Timur setiap Idul Fitri.
Tradisi Magibung (makan bersama) masyarakat Hindu Bali, yang juga dipraktikkan oleh Muslim di Bali Timur setiap Idul Fitri.

Indonesia bukanlah Bhutan, tetapi dalam beberapa hal, struktur masyarakat Indonesia lebih mirip Bhutan dibanding dengan, katakanlah, Amerika. Di tengah kemajuan ekonomi yang kita kejar, kita tetaplah orang Asia dengan budaya komunal. Hubungan keluarga, persaudaraan, agama, dan isu etnik sangat mempengaruhi keputusan kita. Contohnya untuk masyarakat Jawa, prinsip ‘Mangan Ora Mangan Sing Penting Ngumpul’ –makan tidak makan, yang penting hidup bersama lebih membahagiakan—bukanlah  hal yang aneh. Hidup tanpa asuransi kesehatan pun, asal ada sanak saudara, tidak masalah. ‘Gotong royong’ –saling membantu tanpa pamrih—telah lama mendarah daging dalam jiwa kita. Ada lagi budaya ‘nrimo’ (menerima dengan lapang dada) yang amat berharga dan berdampak positif untuk tercapainya rasa bahagia.

Kearifan lokal memang seringkali kita abaikan. Pada banyak masyarakat tradisional kita, budaya dan ekologi tidak terpisahkan –lihat cara hidup Orang Rimba di Jambi atau pengairan Subak di Bali—misalnya. Masyarakat tradisional kita telah lama menyadari betapa pentingnya alam bagi kehidupan manusia, tanpa harus berdebat di konferensi perubahan iklim global. Masyarakat tradisional yang selama ini kita labeli ‘terbelakang’ ternyata sudah sangat ‘berpendidikan’.

Seandainya dalam menentukan ukuran manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur ini kita tengok elemen-elemen penting di atas, bukan saja tujuan itu akan lebih mungkin tercapai, tetapi cara-caranya juga akan lebih sesuai dengan karakter bangsa kita. Tentu saja, ekonomi berbasis laba dan kompetisi masih akan berlangsung, tetapi hal itu tidak akan sampai menghabiskan hutan-hutan kita dan mengeringkan sungai dan danau kita. Roda ekonomi harus berputar, tetapi seberapa cepatkah yang kita perlukan? Sebagai manusia Indonesia yang komunal dan nrimo umumnya kita bisa bahagia dengan ukuran kebahagiaan kita sendiri.

Tentu saja tidak setiap orang, bahkan di Indonesia, berpikiran sama. Banyak orang mengasosiasikan kebahagiaan dengan materi. Namun bahkan bagi orang-orang yang materialistis, terbukti ada hal-hal lain yang mereka anggap penting, selain materi, sehubungan dengan kebahagiaan. Negara maju pun sekarang makin sadar bahwa kemajuan ekonomi saja tidak cukup. Menurut sebuah studi untuk konferensi yang didukung oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) tentang subjective well-being (istilah ilmiah untuk kebahagiaan), faktor ekonomi hanyalah salah satu, dan mungkin bukan kebetulan jika penelitinya menyebutkannya terakhir, dari enam faktor penentu (determinants) kebahagiaan. Lima faktor lainnya adalah: personality, konteks/situasi, demografi, institusi, dan lingkungan. Oleh karena itu, jika kita mengorbankan, katakanlah lingkungan, demi mengejar penumpukan materi semata, bukankah hal itu tidak masuk akal? Dapat dikatakan, tujuan antara atau cara-cara kita telah mengalahkan tujuan kita yang utama.

Terakhir, tentu saja masih ada beberapa pertanyaan lain. Bukankah menjadi komunal juga dapat menjadi rintangan dalam membentuk sistem pemerintahan yang baik – seperti menjadi sumber nepotisme dan korupsi? Dan bukankah nrimo juga dapat menjadi halangan untuk sikap kritis dan tumbuhnya demokrasi yang sehat? Kalau good governance dan demokrasi tiada, akankah menjadi manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur dapat tercapai? Topik ini mungkin dapat kita diskusikan kapan-kapan.

Bahan bacaan:

  • http://www.grossnationalhappiness.com
  • A. Van Hoorn, A short introduction to subjective well-being, makalah yang dipresentasikan pada sebuah konferensi di Roma (2007) dengan topik: Is happiness measurable and what do those measures mean for policy.

Penulis:
Ahmad Zaenuddin, mahasiswa pascasarjana bidang Kajian Asia, Murdoch University.
Kontak: ahmad_zaenudin(at)hotmail(dot)com.

Back To Top