Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana kota seperti Jakarta bertransformasi sehingga memiliki bentuk seperti sekarang ini? Jika kita melewati Jalan Thamrin atau Sudirman, kita akan melihat banyak sekali gedung pencakar langit, yang beberapa puluh tahun yang lalu jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Gedung-gedung yang harga jual atau sewa per meternya mencapai puluhan juta rupiah tersebut digunakan untuk beragam keperluan seperti perbankan, kantor perusahaan multinasional, apartemen, supermal, hotel, dan sebagainya. Mengapa kawasan kota tersebut terbentuk seperti itu? Mengapa tidak menjadi taman, hutan kota, kawasan perumahan murah, atau bentuk-bentuk lainnya?
Ilmu sosial memiliki jawaban yang beragam atas pertanyaan tersebut. Berikut ini hanya akan dikemukakan satu teori yang diharapkan tak hanya menggugah keingintahuan, tetapi juga kesadaran dan rasa keadilan kita sebagai warga masyarakat, khususnya pelajar.
Menurut teori yang disebut sebagai teori konstruksi sosial (social constructivism), kota besar pada dasarnya merupakan hasil konstruksi sosial. Artinya, suatu kota tidaklah terbentuk secara alamiah, melainkan terbentuk melalui proses-proses tertentu, oleh aktor-aktor tertentu, dan dengan maksud tertentu pula. Siapakah mereka, bagaimana prosesnya dan apa tujuan mereka?
Kekuatan Pemegang Modal
Dalam disiplin ilmu ekonomi-politik ada argumen bahwa daerah seperti segitiga “Thamrin-Sudirman-Kuningan” dibentuk oleh proses-proses yang melibatkan kekuatan modal (capital). Argumen ini percaya bahwa praktik-praktik penerapan paham kapitalisme merupakan unsur penting yang membentuk struktur kota. Kapitalisme sendiri merupakan suatu sistem sosial-ekonomi yang saat ini berlaku di sebagian besar negara di dunia. Di bawah sistem ini, alat-alat produksi (tanah, pabrik, teknologi, sistem transportasi, dan sebagainya) serta sistem distribusinya dikuasai oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Kelompok ini disebut sebagai kelas pemilik modal (capitalist class) yang umumnya memiliki motif memperbesar keuntungan dan modal. Sisanya, yang sesungguhnya merupakan bagian terbesar masyarakat, yang tidak memiliki modal, disebut kelas pekerja (working class).
Dengan mengacu pada dikotomi kelas di atas, terbentuknya kota dapat dilihat sebagai produk dari pertentangan antara dua kelas tersebut (class struggle), di mana di dalamnya kedua kelas berjuang mentransformasikan wajah kota dilatarbelakangi oleh kepentingan masing-masing. Sebagai contoh, kelas pemegang modal mempromosikan nilai tukar (exchange value) dari sebuah lokasi, sementara kelompok lain mementingkan nilai guna (use value) dari lokasi tersebut. Motif dari pembangunan berbagai macam gedung di kota-kota besar, dalam kacamata kapitalisme adalah keuntungan, bukan untuk memenuhi, misalnya, kebutuhan tempat tinggal bagi warga. Tingkat nilai tukar (uang) dari sebuah lokasi dengan demikian di mata kapitalis merupakan aspek utama yang menjadi pertimbangan pembangunan lokasi tersebut, karena nilai tukar yang tinggi (mahal/komersial) akan mendatangkan keuntungan yang tinggi pula.
Sementara itu, bagi mereka yang bukan pemegang modal (dalam hal ini sebagian besar warga kota), pembangunan kota sesungguhnya lebih diharapkan dapat memenuhi kebutuhan peningkatan kualitas hidup, seperti tempat tinggal, sarana pendidikan, atau rekreasi yang murah. Kebutuhan akan tempat tinggal di kota besar merupakan kebutuhan yang sangat krusial. Kebutuhan tersebut terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk, sementara di sisi lain lahan kosong kian langka dan sebagian besar telah dikuasai oleh para pemegang modal.
Lalu bagaimana hasil pertarungan dua kelompok kepentingan tersebut? Pada umumnya pertarungan tersebut dimenangkan oleh pihak pemegang modal. Dengan kekuatan modal yang mereka miliki, mereka dapat menentukan dimana sebuah lokasi komersial, misalnya apartemen super mewah atau hotel berbintang 10 (jika ada peminatnya), akan dibangun. Kelompok ini memilih untuk membangun sesuatu yang berpotensi menghasilkan keuntungan paling besar. Maka dapat dipahami mengapa mereka lebih memilih untuk membangun apartemen mewah dibanding membangun rumah susun sederhana yang dibutuhkan oleh lebih banyak warga kota.
Sebagaimana layaknya dalam pertarungan, tidak semua pihak bisa keluar sebagai pemenang. Mengingat para pemegang modal merupakan kelompok yang memiliki kekuasaan atas sumber daya ekonomi, dengan demikian memiliki kekuatan, maka merekalah yang keluar sebagai pemenang dengan pencarian keutungan dan pemupukan modal sebagai motifnya. Dapat dikatakan, teori ini melihat wajah kota sebagai cermin dari kepentingan kelompok yang dominan di masyarakat. Sebagai contoh, terlalu banyaknya pusat bisnis komersial di Jakarta mencerminkan dominasi para pemegang modal, meminggirkan kaum buruh/kelas pekerja.
Accumulation by Dispossession
Proses akumulasi keuntungan dan modal pada dasarnya bukanlah suatu masalah. Masalah akan timbul, pertama, ketika proses pembangunan lokasi-lokasi komersial hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat, dalam hal ini para pemegang modal, tanpa memedulikan kepentingan golongan lainnya. Keberadaan berbagai bangunan mewah dan komersial menghalangi kesempatan golongan miskin untuk memiliki hunian di lokasi tersebut. Pada akhirnya ketiadaan hunian terjangkau menyebabkan maraknya tempat tinggal di pinggiran kota atau kantong-kantong kemiskinan dengan fasilitas yang tidak layak.
Kedua, akumulasi keuntungan dan modal juga menjadi masalah ketika terjadi accummulation by dispossession, artinya penumpukan modal terlaksana melalui penyerobotan lahan-lahan yang sebelumnya merupakan tempat bermukim kaum miskin kota. Fenomena ini dikenal dengan istilah gentrification (penggusuran) dimana orang-orang yang memiliki modal berusaha menguasai lahan masyarakat berpenghasilan rendah untuk dibangun menjadi fasilitas komersial. Fenomena ini mudah dijumpai kota-kota besar seperti Jakarta. Dalam proses ini, sering kali pemilik lahan tidak mendapatkan ganti rugi yang semestinya. Adakalanya masyarakat menolak. Misalnya, di kelurahan Kebon Kosong, Jakarta Pusat, sekelompok masyarakat menolak penggusuran tempat tinggal mereka meskipun pemerintah berpihak kepada para pemegang modal yang hendak menjadikan daerah tersebut sebagai mall.
Setiap teori tentunya memiliki kelemahan, tak terkecuali teori sebagaimana dipaparkan di atas. Dengan mengelompokkan masyarakat hanya ke dalam dua kelompok kelas, teori ini telah mereduksi kompleksitas keberagaman yang ada di masyarakat. Kita bisa bertanya, apakah semua pemegang modal hanya mengejar profit? Tak adakah di antara mereka yang memiliki motif altruistik? Bukankah di dalam kelompok kelas pekerja juga terdapat berbagai sub kelas? Apakah semua kaum pekerja memiliki satu pandangan tentang bagaimana seharusnya kota itu dibangun? Dan sebagainya. Tantangan bagi kita adalah mencari penjelasan yang lebih komprehensif tentang bagaimana proses pembentukan kota itu terjadi.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, teori ini muncul dengan semangat yang perlu diapresiasi. Dengan mengetengahkan proses pembentukan kota sebagai sesuatu yang tidak alamiah melainkan sarat dengan kepentingan akumulasi modal dan keutungan, teori ini memiliki keberpihakan politik yang cukup jelas. Teori ini memihak pada usaha-usaha pemerataan keadilan di masyarakat. Secara implisit teori ini menyerukan bahwa “cities are for people, not for profit”. Pembangunan sebuah kota hendaknya lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan semata-mata mengejar keuntungan. Teori ini juga memiliki agenda politik yang menyatakan bahwasanya setiap orang, bahkan kaum miskin sekalipun, memiliki hak yang sama untuk berada di dalam kota, baik untuk bertempat tinggal maupun mencari penghidupan. “The right to the city” bukan hanya milik para pemegang modal dan orang kaya tetapi semua warga masyarakat. Terakhir, dengan mengingat bahwa kota dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat, maka masyarakatpun sesungguhnya bisa mengubah wajah kota tersebut, dari segi tata ruang, arsitektur dan sebagainya, agar terwujud kota yang lebih berkeadilan.
Bahan bacaan:
- N. Brenner, dkk., Cities for People, Not for Profit, Majalah City vol. 13 No. 2-3 (2009)
- D. Harvey, Justice, Nature, and the Geography of Difference. Blackwell Publishings, Cambridge MA (1996)
- http://www.newleftreview.org/?getpdf=NLR28702&pdflang=en
Penulis:
Tunggul Yunianto, alumnus Jurusan Sosiologi di School of Social Sciences, La Trobe University, Australia.