(Pada rubrik ini diceritakan pengalaman sang penulis yang sehari-hari bersepeda di Jerman sehingga sudut pandang yang digunakan adalah orang pertama “saya”)
Sebelum berangkat ke Jerman saya tidak membayangkan akan bersepeda. Apalagi mengendarainya setiap hari. Saya memilih menggunakan alat transportasi kebanggan Jerman, yaitu trem yang kenyamanan dan keakuratan jadwalnya terkenal handal. Setelah hampir 8 bulan di sini, rupanya takdir saya lain. Nyatanya 15 menit lalu, saya memasukkan sepeda ke keller (gudang bawah tanah) setelah terpakai 10 km untuk pergi ke tempat sholat Jumat. Ironisnya, bukan hanya seminggu sekali saya lakukan itu, tapi hampir setiap hari atau dengan kata lain saya bersepeda terus.
Saya tinggal di Leipzig, dua jam dari Berlin. Kota asal komponis Bach, filsuf Leibniz, Nietzsche, dan penyair Goethe ini kira-kira sebesar Jogja tetapi sesepi Klaten karena hanya berpenduduk 500.000 jiwa. Di kota ini berdiri universitas tertua kedua di Jerman yang Desember nanti merayakan ulang tahun ke 600-nya. Di sini juga terdapat rumah opera Gewandhaus Orchestra yang pernah disinggahi komponis besar seperti Bethoven, Wagner, Bach dan menjadi baromater musik klasik Eropa hingga sekarang. Memang tradisi Leipzig kental dengan seni, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan ini masih bisa dinikmati lewat bangunan-bangunan kuno yang berarsitektur indah dari Abad Tengah, Renaissance dan Baroque.
Di kota tua yang bangkit dari masa kelam akibat perang ini, saya mulai mengakrabi sepeda. Awalnya saya takjub oleh sistem transportasi di sini. Bayerichepltaz saja misalnya, dua halte dari rumah saya, adalah stasiun kereta api pertama Eropa, yang artinya juga pertama di dunia. Cukup menunjukkan betapa tradisi berlalulintas sudah sangat lama di jalanan sini. Oleh karena itu wajar kalau Jerman menjadi tujuan belajar penataan transportasi modern. Trem dan bus kotanya handal. Lalu lintas mobil yang sebagian besar adalah produk Jerman, sebagian lagi buatan Eropa dan sebagian kecil Jepang atau Korea dan sepeda motor yang rata-rata 750 cc ke atas, tertata rapi. Setiap hari, dari dalam trem saya mengamati keteraturan ini. Hingga saya dikejutkan oleh sesuatu yang selama ini terlewat yaitu kenyataan bahwa banyak orang bersepeda.
Sejak saat itu saya makin asyik mengamati sepeda, hingga akhirnya memutuskan beralih menaikinya. Ada beberapa hal menarik yang saya amati tentang budaya bersepeda di sini.
Pertama, orang-orang di sini bersepeda dengan kencang, bahkan sangat kencang. Dulu saya kira mereka terburu-buru karena akan turun hujan, telat atau ada sebab lain, tetapi di sini jarang ada hujan lebat yang menyebabkan musti mengebut supaya selamat. Pun jarang orang lari dikejar atau mengejar waktu. Lalu mengapa mengebut? Alasannya saya temukan nanti.
Selain mengebut, dibandingkan dengan ukuran budaya Jawa mereka juga kurang sopan, misalnya belok atau menyebrang tidak tengok kanan-kiri. Anehnya belum pernah tabrakan. Saya menduga gaya bersepeda demikian terkait dengan serba teraturnya lalu lintas di sini yang dihasilkan oleh sejenis ketaatan tingkat tinggi pada aturan dan tata krama.
Kedua, berbeda dengan model bersepeda orang Belanda yang pernah saya lihat di Leiden dan Amsterdam, orang Jerman tidak bersepeda dengan bergerombol atau berdampingan. Mereka juga tidak berboncengan. Anak-anak memakai sepeda tanpa kayuh dekat ayah mereka, sedangkan yang lebih kecil lagi masuk kereta sepeda. Banyaknya keluarga yang bersepeda ini membuat saya teringat kawan di masjid. Ali namanya, orang Bukittinggi yang menikahi wanita Jerman. Ali sedang gencar persiapan pulang ke Indonesia dengan istri dan 2 balitanya. Persiapan serius karena mereka akan bersepeda menempuh jarak 11.000 km, melewati 14 negara hingga Indonesia. Meski tidak percaya dengan keputusannya, saya diam-diam mengagumi. Ceritanya tentang pulang bersepeda itu selalu saja menggetarkan, mendesir-desir adrenalin dan mengalirkan semangat.
Orang jerman biasanya bersepeda sendirian, mengebut, dan sambil memutar musik dengan MP3 player dan sejenisnya. Kalau melihat sisi positifnya, mereka efektif dan efisien. Namun bagi saya yang baru pemula terjun di jalanan Jerman, kurang nyaman dengan ini. Sering kali saya terkaget-kaget disalib, bahkan oleh ibu-ibu dengan anjing di keranjang belakangnya. Padahal saya merasa sudah mengebut, presneleng mentok dan nafas terengah-engah. Saya biasanya lalu menentramkan diri dengan menyalahkan sepeda bekas saya atau ke diri saya sendiri yang tidak tahu cara merawat dan tidak biasa bersepeda.
Ketiga, di sini jalan untuk sepeda sudah ditentukan. Jalur bersepeda tersebut berwarna merah dengan lebar kira-kira 2 meter dan mulus. Jalur tersebut berada di bahu jalan utama dan terpisah dari jalur pengguna kursi roda (desabled person) dan pejalan kaki. Jalur ini juga mempunyai lampu pengatur lalu lintas sendiri yangt berbentuk mungil menggemaskan. Oleh karena itu, terang saja tidak pernah ada tabrakan.
Selain itu, itikad mobil, bus, bahkan trem adalah mendahulukan para pengguna sepeda. Suatu ketika saya mengejar lampu hijau, mengebut di belakang mobil yang akan belok. Perhitungan saya, begitu dia belok jalan di depan saya akan terbuka hingga saya bisa lewat. Ternyata mobil tersebut malah berhenti, memberi kesempatan saya untuk lewat lebih dulu. Begitu pula kalau kita hobi potong jalan, ngebut dengan asal-asalan atau ugal-ugalan, mereka tetap akan memberikan jalannya. Polisi yang kemudian akan menangai dengan memberikan tilang berupa denda yang besar kecilnya tergantung kesalahan, biasanya berkisar 20-30 Euro (450 ribu Rupiah) atau setara harga sepeda bekas saya.
Keempat, bentuk sepeda dan pakaian pengendaranya cukup menarik. Mulanya saya tidak begitu meperhatikan tetapi ketika pergi ke Belanda, saya baru sadar kalau ini berbeda. Sejauh dari yang saya lihat di kota ini, sepeda Jerman modelnya relatif modern dan kental sentuhan teknologi. Maksud saya bentuknya tidak seperti sepeda Belanda yang familiar di tanah air, yang sama seperti yang sepeda tua yang pernah dipunyai almarhum Kakek dan kawan-kawan penggiat sepeda tua di Jogja.
Bagi saya, sepeda Jerman terkesan canggih, sederhana, kuat dan agak bergaya. Kebanyakan seperti sepeda gunung atau sepeda balap. Ada juga sepeda dewasa yang tidak pakai kayuh tapi lentur, mirip motor balap yang dipakai menapaki batu-batu terjal. Sepeda untuk ibu-ibu dan orang tua beda lagi bentuknya. Jenisnya seperti sepeda perempuan dengan rangka utama sebesar lengan orang dewasa, bukan lengkung atau berbentuk jengki, tapi dari setang menurun landai mengikuti bentuk roda depan, lalu mendatar bertemu rangka vertikal tempat sadel, di titik tuas gerigi depan. Dengan begitu ruang antara sadel dan setang terkesan lebar. Ada pula sepeda untuk orang cacat yang dikayuh pakai tangan. Jenis yang gak aneh berikutnya adalah sepeda roda empat yang naiknya sambil tiduran. Malah ada jenis yang dinaiki orang tua hampir renta, yang jalannya pakai baterei. Saya tidak tahu yang ini masih bisa disebut sepeda atau bukan.
Tentang kostum, meski tidak semua orang tetapi ada sebagian orang bersepeda dengan pakaian “resmi” untuk pengendara sepeda berupa helm, kacamata, sarung tangan, kaos dan celana ketat. Model pakaian “resmi” begini juga berlaku untuk para pengendara sepeda motor, yang rata-rata motor besar. Jadi baik yang naik sepeda onthel maupun sepeda motor wujudnya seperti pembalap semua. Sudah begitu naiknya kencang sekali. Sampai saya pernah berpikir mereka ini pejalan jauh, pembalap sedang latihan, atau orang biasa yang keluar untuk bersepeda dan terburu-buru ke kondangan atau alasan lain. Kalau orang biasa yang akan pergi ke kantor atau ke rumah teman, kostum begini jelas tidak luwes. Demikian pengamatan sepintas saya tentang bersepeda di Jerman, khususnya di kota Leipzig.
Penulis:
Farid Mustofa, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan menempuh S3 di Kota Leipzig.
Kontak: faridmustofa(at)yahoo(dot)com