Menjaga Keseimbangan Ekosistem untuk Kebaikan Seluruh Makhluk Hidup

Pernahkah teman-teman merenungi bagaimana hubungan kita dengan lingkungan sekitar? Misalnya saja antara kita dengan pohon mangga di halaman sekolah atau antara pohon mangga dan tanah tempatnya bertumbuh? Mungkin kita akan bergumam, “Memangnya ada? Kalaupun ada, masa hubungan yang seperti itu dipikirkan? Aduh, ada-ada saja.” Tentu saja ada, dong. Teman-teman yang pernah belajar biologi pasti juga pernah mempelajari hubungan khusus ini. Ayo, masih ingat, tidak?

Sebelum membahas lebih jauh, coba kita perhatikan lingkungan sekitar kita. Mari kita coba identifikasi komponen kehidupan  yang bisa kita temukan di sana. Di sekitar rumah secara umum kita akan menemukan manusia lain (keluarga atau tetangga), hewan-hewan seperti ayam, tikus, kecoa, pepohonan atau tanaman di pot, dan jangan lupakan jamur atau mungkin lumut. Komponen yang baru saja disebutkan itu termasuk ke dalam komponen biotik.

Selain komponen biotik, terdapat juga komponen lain yang tidak memiliki ciri-ciri komponen biotik. Komponen ini disebut komponen abiotik. Komponen abiotik meliputi faktor-faktor kimiawi dan fisis, seperti udara, angin, kelembapan, air, tanah, mineral, cahaya, suhu, keasaman (pH), kadar garam (salinitas), dan topografi yang semuanya dapat dipengaruhi dan mempengaruhi makhluk hidup.

Sekarang, coba perhatikan lagi komponen biotik di lingkungan rumah kita. Dalam biologi kita dapat mengelompokkan beberapa level organisasi kehidupan. Setiap organisme atau makhluk hidup tunggal, misalnya diri kita masing-masing, disebut sebagai individu. Kumpulan dari organisme yang sama (dari spesies yang sama) selanjutnya disebut populasi. Contohnya adalah kita dan keluarga dihitung sebagai populasi manusia di rumah.

Kumpulan dari beberapa populasi yang berbeda, misalnya populasi manusia, semut, pepohonan di rumahmu dan sekitarnya disebut sebagai komunitas. Nah, hubungan timbal balik antara makhluk hidup (misalnya keluargamu) dengan makhluk lain (misal pepohonan di rumah) serta dengan benda tak hidup di lingkungannya kita sebut sebagai ekosistem. Tidak bisa dipungkiri bahwa ternyata sikap kita sebagai manusia dalam membangun peradaban secara langsung atau tidak langsung sebenarnya mempengaruhi lingkungan termasuk benda tidak hidup di sekitar dan makhluk hidup lainnya. Interaksi yang saling mempengaruhi ini dipelajari dalam bidang ilmu khusus yang disebut ekologi.

Tingkatan organisasi kehidupan. Sumber: eschooltoday.com.

Karena para ahli ekologi mempelajari interaksi antara organisme dan lingkungan fisik, sebagian besar pendekatan yang dilakukan dalam mempelajari ekosistem didasari oleh konsep-konsep fisika dan kimia. Aliran energi dalam ekosistem misalnya, patuh pada hukum termodinamika pertama yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Energi berupa panas dari matahari tidak hilang begitu saja di bumi, ia dikonversi menjadi energi kimia oleh tumbuhan yang selanjutnya menyokong kehidupan manusia dan hewan.

Materi, sebagaimana halnya energi, tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Untuk itulah hukum konservasi massa sangat penting bagi para ahli ekologi sebagaimana hukum-hukum termodinamika. Nah, karena massa bersifat kekal kita dapat menghitung seberapa banyak yang hilang dan didapatkan dari dan oleh ekosistem dalam satu periode waktu. Tidak seperti energi, unsur kimia dalam ekosistem secara terus menerus akan didaur ulang. Fenomena ini digambarkan dalam daur-daur biogeokimia yang terjadi di sekitar kita seperti daur karbon, nitrogen, dan lain-lain.

Keseimbangan daur unsur-unsur kimia sangat berpengaruh terhadap keseimbangan suatu ekosistem. Suatu ekosistem dapat dikategorikan sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) dari suatu unsur dengan cara melihat neraca keseimbangannya. Neraca keseimbangan ini dilihat dari banyaknya unsur yang keluar atau masuk dalam satu putaran siklus di satu ekosistem. Pada kenyataannya, sadar atau tidak, spesies kita (manusia) seringkali menjadi faktor utama di balik ketidakseimbangan neraca keseimbangan daur kimia ini di dunia.

Daur fosfat, salah satu contoh daur biogeokimia di alam. Sumber: g-excess.com.

Para ahli ekologi membagi berbagai spesies ke dalam tingkatan trofik (trophic) yang berbeda sesuai dengan sumber nutrisi dan energi utama spesies tersebut. Posisi produsen primer diisi oleh makhluk hidup yang bersifat autotrof (mampu membuat makanannya sendiri) dan bisa menyokong kehidupan semua makhluk hidup lainnya. Organisme selanjutnya, yang berkedudukan di atas produsen primer adalah heterotrof yang terdiri dari konsumen primer, sekunder, dan tersier yang masing-masing diisi oleh herbivora, karnivora pemakan herbivora, dan karnivora pemakan karnivora.

Kelompok lain yang tidak boleh dilupakan adalah detritivor atau dekomposer yang mendapatkan makanannya dari benda tidak hidup (detritus) seperti bangkai, feses, atau kayu. Dekomposer inilah yang memegang peranan penting dalam menghubungkan konsumen dan produsen primer dengan cara mendaur ulang berbagai elemen kimia.

Jumlah energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia oleh autotrof dalam suatu periode waktu tertentu adalah produktivitas primer sebuah ekosistem. Produktivitas primer ini yang menjadi titik acuan dalam mempelajari metabolisme dan aliran energi dalam ekosistem. Namun, perlu diingat, tidak semua energi yang didapatkan oleh produsen primer dapat disalurkan kepada konsumen karena energi tersebut harus dikurangi dengan energi yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis dan respirasi dari si produsen. Pada akhirnya, sisa energi yang ada atau bahasa kerennya produktivitas primer bersih (net primary production, NPP) inilah yang bisa mengalir ke konsumen. Ada beberapa faktor pembatas yang mempengaruhi produktivitas primer bersih dalam suatu ekosistem termasuk jenis ekosistem itu sendiri.

Jumlah energi yang tersedia untuk setiap tingkatan trofik ditentukan oleh NPP dan tingkat efisiensi untuk setiap makanan yang dapat diubah menjadi biomassa di setiap tingkatannya. Ternyata, tingkat efisiensi ini (efisiensi trofik) hanya berkisar antara 5-20% dengan sebagian besar berada pada tingkat 10%. Apa artinya? Artinya, sekitar 90% energi dari satu tingkatan trofik tidak ditransfer ke tingkatan trofik di atasnya. Jangan lupa pula bahwa fenomena ini dikalikan sepanjang rantai makanan

Efisiensi trofik ini membatasi sejauh mana tingkatan trofik yang dapat disokong oleh ekosistem. Makhluk hidup pada tingkatan konsumen tersier hanya menerima sekitar 0,1% energi dari total energi yang dimiliki produsen primer. Hal ini menjelaskan mengapa dalam suatu rantai makanan hanya ada sekitar empat hingga lima tingkatan trofik.

Tingkatan trofik dan aliran energi dalam rantai makanan.

 

Manusia, oh manusia

Millenium Ecosystem Assessment Board dalam laporannya menyatakan bahwa struktur ekosistem dunia selama sejarah manusia berubah paling drastis dalam separuh terakhir abad ke-20 karena berbagai tindakan perubahan yang dilakukan manusia. Tidak tanggung-tanggung, sekitar 24% area daratan di bumi telah berubah menjadi area kultivasi dan lebih banyak area yang diubah menjadi lahan pertanian/perkebunan dalam 30 tahun terakhir sejak tahun 1950 dibandingkan 150 tahun antara tahun 1700 dan 1850.

Bukannya tak membawa dampak apa-apa, perubahan ini ternyata membawa dampak besar pada daur kimia yang terjadi. Ambil saja contohnya daur karbon dioksida. Sejak tahun 1750 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer telah meningkat hingga 34%. Dari nilai itu, sekitar 60% peningkatan ini terjadi setelah tahun 1959. Peningkatan karbon dioksida ini akhirnya menjadi cikal bakal pemanasan global dan banyaknya perubahan iklim yang terjadi.

Tidak hanya pemanasan global, ada banyak gangguan lain pada ekosistem oleh manusia, misalnya:

  1. eutrofikasi (pertumbuhan alga yang berlebihan) akibat nutrisi pertanian dan peternakan yang mengalir ke sumber air,
  2. hujan asam akibat polusi udara oleh bahan bakar fosil,
  3. akumulasi zat beracun akibat sampah industri di lingkungan yang membahayakan tingkatan trofik tertinggi (termasuk manusia), serta
  4. penipisan ozon akibat berbagai aktivitas manusia seperti pelepasan Freon ke atmosfer.
Para peneliti mengungkapkan hubungan yang kuat antara perubahan iklim dengan meningkatnya gelombang panas, banjir, dan fenomena cuaca ekstrim. Sumber: ucsusa.org.

Tentu saja perubahan ekosistem dan memburuknya lingkungan akan mengurangi kenyamanan bahkan membahayakan hidup kita. Tak hanya itu, kehidupan spesies lain yang menyokong kehidupan kita pun dipertaruhkan. Jika demikian, sudah sepatutnya kita sebagai makhluk yang diberikan akal oleh Tuhan untuk membenahi diri dan membenahi lingkungan.

Kita harus mulai peduli terhadap kondisi lingkungan meskipun hanya lewat tindakan-tindakan kecil. Misalnya, kita memilah sampah dan membuangnya di tempat sampah secara benar. Coba kurangi juga penggunaan kendaraan pribadi lalu beralih ke transportasi publik. Hati-hati, jangan beranggapan pindah ke planet Mars kalau bumi sudah tidak nyaman ditempati itu mudah dan murah, lo. Sahabat 1000guru sahabat bumi juga, kan?

Bahan bacaan:

 

Penulis:

Annisa Firdaus Winta Damarsya, alumnus Department of Biological Science, School of Science, Nagoya University.
Kontak: annisafirdauswd(at)yahoo(dot)co(dot)id.

Back To Top