Sejak pemberitaan mengenai isu kiamat 2012, sudah banyak perhatian diarahkan kepada Matahari dengan segala macam aktivitasnya, yang dipercaya akan menyebabkan kiamat dalam teori kiamat yang kini terbukti salah. Buktinya, kita masih bisa membaca tulisan ini, bukan? Banyak film, salah satunya berjudul 2012, yang sudah menggambarkan dugaan mereka akan sebuah kiamat, seperti flare Matahari yang membakar Bumi, aliran neutrino yang memanaskan inti Bumi sehingga menyebabkan permukaan Bumi bergolak, dan banyak lagi. Digambarkan sebuah gambaran yang dahsyat dan mengerikan akan badai Matahari, yang dikatakan mampu menyebabkan kehancuran skala global di Bumi.
Tetapi, apa benar badai Matahari sebegitu mengerikan? Nyatanya, tidak!
Badai Matahari yang masih normal selama ini bahkan masih jauh dari kata-kata mengerikan macam ‘kiamat’. Yang diletup-letupkan oleh Matahari, seringnya, hanya ‘mengotori’ wilayah angkasa sekitar Matahari saja. Hanya letupan yang cukup besar untuk bisa melontarkan sedemikian banyak massa ke planet-planet, dan perlu arah yang tepat juga supaya massa yang terletup itu bisa sampai ke Bumi. Mungkin, sebelumnya kita perlu memahami dahulu, apakah yang dimaksud dengan badai Matahari ini.
Badai Matahari adalah istilah populer untuk menunjukkan peningkatan aktivitas magnetik Matahari. Namun, jangan bayangkan Matahari sebagai seorang anak kecil yang sangat ‘aktif’ dan melompat kesana kemari. Alih-alih melompat, yang Matahari lakukan ‘hanyalah’ sesekali meletup-letup, menyemburkan berbagai macam partikel ke angkasa. Ketika mencapai Bumi, adakalanya partikel ini akan menyebabkan badai geomagnetik di Bumi, dan istilah ‘badai Matahari’ sendiri sering digunakan hanya untuk merujuk ke badai geomagnetik ini.
Lalu, bagaimana cara untuk mengetahui apakah Matahari sedang aktif atau tidak? Cara terpraktis adalah dengan mengamati jumlah bintik di permukaan Matahari karena bintik Matahari mudah diamati. Hanya dengan sedikit filter Matahari atau kertas untuk memproyeksikan bayangan Matahari, citra Matahari beserta sedikit ‘jerawat’-nya dapat terpotret dengan baik. Dan memang, bintik Matahari terkait dengan aktivitas magnetik Matahari, sehingga banyaknya bintik Matahari dapat digunakan untuk memprediksi kekuatan aktivitas Matahari di masa keaktifannya.
Semua berawal dari fakta bahwa rotasi Matahari bersifat diferensial. Tidak begitu berhubungan dengan dengan kalkulus, diferensial yang dimaksud disini adalah bahwa periode rotasi Matahari berbeda tergantung lintang, sekitar 25 hari di dekat ekuator/khatulistiwa-nya Matahari, dan 38 hari di dekat kutubnya Matahari. Hal ini disebabkan wujud Matahari yang merupakan plasma gas, yang berbeda dengan permukaan Bumi yang padat. Kemudian, karena di Matahari terbentuk medan magnet, tentunya akan ada fluks magnetik dari kutub selatan ke kutub utara Matahari. Seiring berotasinya Matahari, fluks-fluks magnetik itu akan ikut terbawa oleh plasma Matahari, dan setelah sekian lama, garis-garis fluks itu akan terpuntir-puntir akibat kecepatan rotasi di ekuator yang lebih cepat.
Di beberapa tempat, garis fluks magnetik yang terpuntir ini akan menyembul keluar dari permukaan Matahari, dan akan terlihat sebagai daerah gelap yang dinamai bintik Matahari. Meskipun terlihat gelap, sebenarnya bintik Matahari memiliki kecerlangan permukaan (intensitas energi cahaya per satuan luas) setara dengan Bulan, dan ia gelap karena suhu yang relatif lebih ‘dingin’ (meskipun masih pada kisaran 3000-4500 K) dibandingkan bagian lain permukaan Matahari (biasanya 6000 K). Rendahnya suhu di bintik Matahari ini berhubungan dengan adanya fluks magnetik yang kuat di daerah tersebut, sebagai hasil dari puntiran tadi. Adanya fluks magnetik yang kuat menghambat arus konveksi dengan efek yang serupa dengan efek ‘eddy current ‘, efek induksi elektromagnetik yang dalam beberapa kondisi dimanfaatkan sebagai rem pada kereta, roller-coaster, bahkan juga untuk memasak di kompor induksi. Tetapi, dalam situasi ini yang diperlambat adalah arus konveksi dari dalam Matahari.
Setiap sekitar 11 tahun sekali, puntiran ini menyebabkan berbagai aktivitas Matahari lainnya, seperti semburan Matahari (solar flare) maupun lontaran massa korona (coronal mass ejection/CME) yang kebanyakan terjadi di dekat bintik Matahari. Ini yang cukup penting dari aktivitas Matahari, khususnya para letupan: Semuanya akrab dengan bintik matahari. Lebih akrab daripada bunga dan lebah yang senantiasa berbagi manfaat. Kedua kejadian inilah yang melontarkan partikel bermuatan dalam jumlah yang sangat besar, dikenal sebagai angin Matahari. Angin Matahari inilah, beserta segala macam intrik dan ritmiknya, yang menjadi sebab utama dari berbagai kekacauan yang biasa dikaitkan dengan aktifnya Matahari.
Ada apa dengan angin Matahari ini? Angin Matahari jangan disamakan dengan aliran semilir udara yang biasa kita cari ketika sedang kegerahan. Angin Matahari sebenarnya adalah kumpulan besar dari partikel bermuatan dan “panas” yang dilepaskan ketika terjadi berbagai letupan di permukaan Matahari. Bersama sebagian plasma gas Matahari, partikel-partikel ini terlempar ke berbagai tempat di sekujur tata surya.
Singkat cerita, sampailah partikel-partikel bermuatan tersebut ke Bumi, biasanya dalam waktu 3-4 hari. Mungkin langsung terasa mengerikan, membayangkan begitu banyak partikel akan datang menerjang Bumi. Akan tetapi, Bumi sudah memiliki pelindung alamiah yang bisa menapis partikel-partikel itu supaya tidak menghujani Bumi dan memberikan teror kepada penghuninya yang selama ini terbiasa berkecimpung dalam kedamaian. ‘Pelindung’ tersebut kini dinamai magnetosfer Bumi, atau yang juga dikenal sebagai “sabuk van Allen”, sesuai nama si penemunya.
Magnetosfer ini, sebagaimana terlihat dari namanya (kata magnet dan sphere ‘bola’), adalah sebuah ‘bola medan magnet‘ yang melingkupi Bumi beserta segenap manusia di permukaannya, baik yang sedang makan siang, yang sedang menggosok gigi, ataupun sedang mengomeli tetangganya yang kurang bersih dalam membuang sampah. Mesk demikian, bentuknya memang tidak bola akibat adanya angin Matahari.
Bagaimana bisa Bumi memiliki medan magnet? Sederhananya, di bagian dalam Bumi yang dikenal dengan nama inti luar, disana cukup panas hingga logam-logam yang dulu tenggelam ke pusat Bumi di saat pembentukannya, disana berada dalam fase cair. Cairan logam ini mengalami konveksi akibat pemanasan dari tekanan dan peluruhan radioaktif oleh inti dalam, yang berisi logam berwujud padat meskipun lebih panas (bisa dijelaskan dengan tingginya tekanan disana, dan fakta bahwa inti Bumi mendingin secara bertahap, meskipun sangat lambat).
Mungkin beberapa dari kita tahu jika dalam logam, elektron sangat bebas bergerak yang menyebabkan logam mudah menghantarkan listrik. Elektron yang bisa berkelana dengan bebas di logam padat, tentunya akan berkelana lebih bebas lagi di logam cair. Dan ketika ada aliran elektron, maka ada aliran listrik. Ada aliran listrik, akan muncul medan magnet. Dari sanalah Bumi bisa memiliki medan magnetnya sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh teori dinamo.
Lalu, memangnya bagaimana magnetosfer melindungi segenap kehidupan di Bumi? Secara sederhana mungkin bisa dijelaskan seperti berikut. Sudah disebutkan bahwa angin Matahari didominasi oleh partikel bermuatan listrik. Sebuah partikel bermuatan listrik, ketika melalui sebuah daerah medah magnet, akan didorong oleh gaya Lorentz sehingga membelok dari jalurnya semula, dan terus hingga partikel hanya akan berputar-putar tanpa ada kemajuan apapun. Hal ini, selain jelas akan memperlambat perjalanan elektron, akan menjadikan daerah di depan magnetosfer Bumi (pada arah yang menghadap Matahari) padat dengan partikel.
Layaknya prajurit yang ingin mencari jalan belakang untuk memasuki daerah musuh, akhirnya partikel-partikel akan melaju pada arah yang kurang lebih sejajar dengan garis-garis medan magnet Bumi, yang dengannya partikel praktis tidak mengalami pembelokan akibat gaya Lorentz. Karena para partikel mengikuti garis medan magnet, tentunya mereka akan tiba pada daerah dekat kutub magnetik Bumi. Di salah satu bagian atmosfer yang bernama ionosfer (ketinggian 85 hingga 600 km dari permukaan Bumi), partikel bermuatan ini, yang masih berenergi tinggi dari letupan Matahari yang meluncurkannya, akan bertabrakan dengan berbagai atom/molekul yang mengisi ionosfer. Tabrakan antar partikel bermuatan dengan atom-atom akan memberikan cukup energi bagi atom untuk mengalami eksitasi elektron, yang dilihat para penggalau di tengah malam di bawah sana sebagai pendaran cahaya. Kombinasi dari jutaan, bahkan milyaran berkas cahaya akibat eksitasi ini akan terlihat oleh manusia di darat sebagai sebuah tirai cahaya warna-warni (umumnya hijau dan merah) yang terus bergerak secara aktif dari waktu ke waktu. Kini tirai cahaya tersebut dikenal sebagai aurora.
Tetapi, tentu saja, jika efek dari sebuah kejadian bernama badai Matahari ‘hanyalah’ tirai cahaya raksasa yang justru mengagumkan untuk dipandang, tidak akan ada ribut-ribut mengenai badai Matahari akan menyebabkan kiamat. Dan, mengingat badai Matahari cukup ramai dibicarakan ketika isu kiamat 2012 masih hangat-hangat, fresh dari oven, masih ada efek lain yang perlu dibicarakan.
Mengulang lagi sedikit, sejumlah partikel bermuatan akan memasuki atmosfer Bumi dari daerah dekat kutub magnet, baik selatan maupun utara. Sebagian besar dari mereka akan bertabrakan menghasilkan cahaya aurora, tetapi sebagian yang lain akan lolos. Kemana yang lain ini akan pergi? Bisa kemana saja. Kebanyakan jatuh ke permukaan yang tak terjamah manusia dan lalu terlupakan. Tetapi akan ada saja yang menyusup ke dalam peralatan elektronik, dan kemudian memenuhinya begitu rupa sehingga sang alat elektronik tak kuasa lagi menampung mereka dan kemudian rusak.
Sejarah mencatat, antara tanggal 1-2 September 1859, semburan Matahari terbesar yang pernah terdokumentasikan terjadi dengan nama Peristiwa Carrington, dan sejumlah besar partikel bermuatan dihembuskan langsung ke arah Bumi, hanya dalam waktu 17,6 jam. Kemudian, aurora yang biasanya teramati di lintang tinggi (sekitar 60 derajat), pada malam itu teramati hingga sejauh Kuba dan Hawaii. Dan, efek yang menyusul adalah rusaknya jaringan kabel telegraf secara luas di Eropa dan Amerika Utara, akibat partikel bermuatan tersebut memenuhi kabel sedemikian rupa sehingga beberapa kabel memercikkan bunga api dengan sendirinya. Kejadian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pada 13 Maret 1989 (24 tahun yang lalu!), saat gelombang besar partikel bermuatan merusak fasilitas pembangkit listrik di provinsi Québec, Kanada, dan menyebabkan kegelapan total hampir di seluruh penjuru provinsi selama 9 jam.
Selain pada alat di Bumi, satelit tentunya lebih rentan terserang penyakit partikel ini. Dengan cara serupa sebagaimana rusaknya berbagai perangkat elektronik di Bumi, satelit bisa pula mengalami gangguan akibat partikel-partikel angin matahari ini. Bahkan, efeknya akan lebih dahsyat, mengingat posisi satelit yang perlindungannya lebih minim dibanding perangkat elektronika di permukaan Bumi. Satelit yang melintasi daerah dekat kutub secara teratur, tentunya akan lebih berisiko terserang partikel angin Matahari, jika mengingat daerah kutub adalah ‘jalan masuk’ bagi partikel-partikel tersebut.
Dari tadi banyak membahas mengenai efek buruk dari apa yang disebut ‘badai Matahari’, mungkin di benak kita muncul pertanyaan selanjutnya: Adakah keuntungan dari adanya badai Matahari? Tentu saja ada. Meskipun memang tidak secara langsung. Dengan adanya badai Matahari, manusia bisa merancang perangkat yang lebih kuat untuk dioperasikan di luar angkasa. Dengan adanya badai Matahari, para penghuni daerah dekat kutub dapat menyaksikan tontonan aurora, yang relatif tidak berbahaya meskipun di atas sana terjadi entah berapa banyak tumbukan skala atom.
Berkat adanya badai Matahari pula, terutama siklus 11 tahunannya, para astronom dapat mempelajari aktivitas Matahari dan melihat pengaruhnya untuk Bumi selama ini. Sebagai contoh, antara tahun 1645-1715, ada sebuah periode bernama Maunder Minimum, yaitu ketika bintik Matahari teramati sangat sedikit. Bahkan korona tidak terlihat ketika astronom mengamati gerhana Matahari total. Yang unik, periode tersebut bertepatan dengan ‘zaman es kecil’ yang melanda Eropa dan Amerika Utara, memicu dugaan keterkaitan aktivitas Matahari dengan suhu Bumi.
Dengan diketahuinya siklus aktivitas Matahari tiap 11 tahun, dan siklus pembalikan medan magnet Matahari setiap 22 tahun (setiap 11 tahun medan magnetnya berbalik), tentunya para astronom akan bisa memprediksi kapan Matahari mencapai periode keaktifannya lagi. Salah satunya adalah saat ini, yang diduga akan mencapai puncaknya di pertengahan 2013. Meskipun begitu, siklus keaktifan Matahari ini secara umum dinilai tak cocok dijadikan bahan dasar isu kiamat. Nyatanya, sampai saat ini kehidupan di Bumi masih bertahan, setelah melalui entah berapa kali siklus keaktifan Matahari. Dan lebih jauh lagi, siklus keaktifan Matahari yang kini sedang berlangsung dinilai sebagai yang terlemah dalam 80 tahun terakhir. Setidaknya tidak perlu khawatir akan segala macam isu kiamat, terutama dalam waktu dekat. Apalagi jika kiamatnya disebabkan semburan Matahari mencapai Bumi, sebagaimana pernah digambarkan salah satu film. Jika itu betul-betul terjadi, mungkin Matahari sendiri sudah berpindah menuju Bumi. Dan bagaimana ini bisa terjadi, kalaupun mungkin terjadi? Tidak perlu dipikirkanlah yang semacam itu.
Bahan bacaan:
- http://en.wikipedia.org/wiki/Solar_flare
- http://en.wikipedia.org/wiki/Solar_cycle
- http://en.wikipedia.org/wiki/Aurora_(astronomy)
- http://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/spaceweather/index.html
Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.