Burung pun Belajar Berkicau

Seringkali di alam atau di perlombaan kicauan burung kita dapat menemui berbagai jenis kicauan burung yang berbeda-beda tergantung jenisnya. Pernahkah terlintas dalam pikiran kita bagaimana burung mengetahui dapat berkicau? Apakah kicauan burung merupakan perilaku yang diwariskan ataukah dipelajari? Atau bahkan justru gabungan dari keduanya?

Bagaimana hewan mendapatkan perilakunya?

Pada dasarnya banyak pola perilaku hewan yang merupakan kombinasi pewarisan (inheritance) dari induk dan pembelajaran (learning). Contoh perilaku yang diwariskan adalah kemampuan laba-laba membuat pola sarang yang berbeda-beda tergantung spesiesnya. Kemampuan membuat sarang ini tidak pernah dipelajari sebelumnya karena bahkan induk laba-laba sendiri telah mati ketika anak-anaknya menetas. Sementara itu, salah satu contoh pola perilaku yang dipelajari adalah kemampuan tawon betina untuk mempelajari posisi objek di lingkungan sekitar sarangnya. Lalu bagaimana dengan burung berkicau? Bagaimana burung berkicau mendapatkan kemampuannya untuk berkicau? Ternyata, burung berkicau mendapatkan kemampuannya dari pewarisan dan pembelajaran.

Bagaimana burung mendapatkan ‘pelajaran’ berkicau?

Pada dasarnya burung berkicau telah memiliki kemampuan dasar untuk berkicau. Namun, untuk mendapatkan pola kicauan yang sama dengan spesiesnya ia tetap membutuhkan pembelajaran. Burung mempelajari ‘nyanyian’nya melalui salah satu jenis pembelajaran yang disebut imprinting. Dalam dunia etologi, imprinting diartikan sebagai suatu proses pembelajaran cepat (berbatas waktu) yang ditandai oleh individu muda yang membentuk respon perilaku jangka panjang. Hal yang membedakan Imprinting dari tipe pembelajaran lainnya adalah keberadaan ‘periode sensitif’ atau sering juga disebut ‘periode kritis‘.

Kapan tepatnya periode sensitif ini? Periode sensitif berbeda-beda masanya antara satu spesies dengan spesies yang lainnya. Beberapa spesies memiliki periode sensitif yang berkisar beberapa jam saja setelah menetas atau terlahir ke dunia, sementara beberapa lainnya bisa jadi beberapa hari setelah lahir atau menetas. Selama periode sensitif tersebut individu muda menirukan induk atau sesuatu yang dianggap sebagai induknya dan mempelajari sifat-sifat dasar perilaku yang akan menjadi identitas mereka.

Untuk mengetahui apakah pembelajaran merupakan proses yang penting bagi burung untuk membentuk kicauannya, dalam sebuah eksperimen di laboratorium peneliti mengamati burung pipit yang dibesarkan dengan keberadaan kicauan burung jantan dewasa yang kemudian direkam kicauannya ketika dewasa dan dibuat sonogramnya.

Sonogram inilah yang kemudian dijadikan kontrol dan dibandingkan dengan sonogram yang didapatkan dari beberapa perlakuan. Sonogram perlakuan pertama diperoleh dari kicauan burung pipit mahkota putih yang telurnya ditetaskan dalam inkubator dan diisolasi dari dunia luar (termasuk juga diisolasi dari suara kicauan burung jantan pipit mahkota-putih dewasa) sehingga burung tersebut tidak pernah mengenal kicauan asli dari spesiesnya. Hasilnya, sonogram dari kicauan burung yang diisolasi berbeda dengan sonogram kontrol. Memori lagu yang dihasilkannya hanya berkisar pada kicauan dasar yang sudah dimilikinya tanpa pembelajaran.

Eksperimen kedua dilakukan untuk mengetahui apakah burung dewasa membutuhkan umpan balik dari suaranya agar dapat mengekspresikan kicauan khas spesiesnya. Dalam eksperimen kedua ini peneliti membuat tuli burung yang beranjak dewasa yang sebelumnya pernah mendengarkan kicauan burung dewasa. Ternyata, sonogram dari burung dewasa pada perlakuan kedua ini menunjukkan bahwa burung tersebut tidak dapat membentuk kicauan yang sama dengan kicauan asli spesiesnya. Ia tetap membutuhkan umpan balik dari kicauannya sendiri agar dapat mencocokkan dengan kicauan khas spesiesnya.

Ada dua kesimpulan yang bisa diperoleh dari dua eksperimen tersebut. Pertama, burung pipit jantan harus mempelajari memori lagu (kicauan) dari burung jantan dewasa ketika ia masih menjadi anak burung dengan mendengarkan kicauan burung dewasa tersebut. Kedua, burung tersebut juga harus memiliki kemampuan untuk mendengarkan suaranya sendiri agar dapat mencocokkan kicauannya dengan kicauan khas dari spesiesnya.

Bahan Bacaan:

  • D. Sadava, dkk. Life: The Science of Biology. W. H. Freeman (2009).

Penulis:
Annisa Firdaus Winta Damarsya, mahasiswi S1 Biological Science, School of Science, Nagoya University.
Penerima Beasiswa Unggulan Kemdikbud RI – Surya Institute.
Kontak: annisafirdauswd(at)yahoo(dot)co(dot)id.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top