Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada
Teman-teman di masa kecil mungkin sangat familiar dengan nyanyian di atas. Bintang dan langit, sejak manusia mulai mengamati apa yang ada di sekitarnya, selalu menjadi teman setia bagi para perenung yang mencoba memaknai hidup.
Ketika manusia merasa jenuh akan rutinitas kehidupan yang seolah tiada akhir, beberapa dari mereka akan memilih untuk menyegarkan kepala mereka dengan sedikit pemandangan. Setelah melihat keindahan yang terhampar di muka Bumi, ada saatnya mereka melihat pula ke atas. Langit terbentang dengan indahnya, baik dengan warna biru dan hiasan arak-arakan awan, atau warna hitam kelam yang dihiasi kerlipan bintang.
Tunggu dulu! Tadi disebutkan “bintang kecil di langit yang biru”? Ya, mungkin terjadi sedikit salah paham mengenai hal ini. Sebenarnya bintang yang dapat dilihat ketika langit berwarna biru hanyalah matahari!
Dari sini muncul pertanyaan baru, “Mengapa langit siang berwarna biru?” Pertanyaan yang amat sederhana ini hampir selalu ada di berbagai buku pengetahuan untuk anak-anak. Namun, pertanyaan ini belum benar-benar sepenuhnya terjawab secara ilmiah hingga akhir tahun 1800-an.
Pendapat yang terkadang masih populer (sayangnya keliru) mengenai alasan di balik warna biru langit adalah karena “pantulan dari warna laut”. Padahal, kalau dipikir-pikir, jika memang warna biru langit itu pantulan warna laut, mengapa warna pulau-pulau dan daratan yang beraneka ragam tidak ikut terpantul?
Jawaban yang cukup memuaskan secara ilmiah baru muncul pada tahun 1871, saat seorang ilmuwan bernama John William Strutt, atau dikenal juga sebagai Baron Rayleigh yang ke-3, memberikan penjelasan akan sebuah efek yang disebut hamburan Rayleigh (Rayleigh scattering).
Efek ini secara singkat menjelaskan bahwa ketika suatu cahaya melalui suatu zat transparan (bisa apapun yang transparan, tetapi seringnya udara), molekul penyusun zat tersebut akan lebih banyak menyebarkan cahaya dengan panjang gelombang pendek (cahaya biru/ungu) daripada cahaya yang panjang gelombangnya lebih besar (merah).
Lalu, mengapa langit biru yang kita lihat? Bukankah warna ungu lebih pendek panjang gelombangnya? Jawabannya ada pada porsi cahaya biru yang dikandung sinar matahari. Porsi cahaya biru dalam sinar matahari jauh lebih banyak daripada cahaya ungu. Dengan demikian, meskipun cahaya ungu lebih mudah tersebar, jumlah cahaya biru yang lebih banyak membuat pengaruh cahaya ungu tak terlihat.
Efek yang sama pula (hamburan Rayleigh) yang menyebabkan langit sore (juga Matahari) berwarna kemerahan. Mengapa? Sinar matahari yang mencapai mata pada sore hari, telah menempuh perjalanan lebih jauh di atmosfer Bumi, dan selama perjalanan itu, cahaya biru yang dimilikinya terus dihamburkan oleh molekul nitrogen dan oksigen di atmosfer.
Akibat proses tersebut, sinar matahari yang semula cenderung putih sudah kehilangan banyak bagian dari cahaya biru. Cahaya putih yang kehilangan cahaya biru akhirnya akan terlihat sebagai sebuah cahaya kemerahan. Rona kemerahan atau rona oranye inilah yang muncul di sore hari sesaat sebelum langit kemudian menjadi gelap.
Mungkin kita akan bertanya lagi, “Mengapa langit malam terlihat gelap?” Pertanyaan yang nyaris sama sederhananya dengan pertanyaan sebelumnya, tetapi jauh lebih jarang dibahas di buku-buku pengetahuan anak SD.
Meski pertanyaan tersebut sudah diutarakan dalam beragam kesempatan di dunia ilmiah sejak abad ke-17, pertanyaan sederhana ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “paradoks Olbers”, dari nama seorang fisikawan Jerman, Heinrich Olbers (1758-1840). Menurut Olbers, paradoks ini menyiratkan bahwa alam semesta tidak statis, membantah keyakinan banyak astronom masa itu.
Kita bisa ikuti penjelasan Olbers untuk jawaban dari pertanyaan “mengapa langit malam terlihat gelap” dengan pertama-tama membayangkan sebuah alam semesta yang tanpa batas, bintang-bintangnya tersusun secara merata di semua daerah. Bisa diartikan, jarak antara tiap bintang selalu sama sehingga jumlah bintang bertambah secara teratur dengan bertambahnya jarak.
Kemudian, diketahui secara umum bahwa kecerahan bintang berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Artinya, jika sebuah bintang dipindahkan 2 kali lebih jauh, cahayanya akan menjadi 4 kali lebih lemah. Namun, itu berarti bintang terlihat 2 kali lebih kecil, dan “luas bidang” bintang (dalam hal ini, luas dari “lingkaran” citra bintang yang teramati) juga mengecil 4 kali.
Perhatikan bahwa baik cahaya dan “luas bidang” bintang sama-sama mengecil 4 kali. Inilah yang disebut “kecerlangan permukaan”, kuat pancar cahaya per unit luas bidang. Besaran ini tetap untuk bintang dengan warna serupa.
Meski ‘luas bidang’ sebuah bintang seringkali amat kecil, dan selalu terlihat sebagai sebuah titik cahaya meski diamati dengan teleskop tercanggih, kecerlangan permukaan ini nilainya cukup besar. Buktinya, bintang yang sekecil itu cahayanya masih bisa kita amati di langit malam yang berhiaskan bintang.
Sekarang bayangkan bintang yang sedemikian banyaknya itu bersinar di langit malam. Meskipun masing-masing bintang bersinar lemah, jika mereka bersama-sama tentu cahayanya akan saling menguatkan dan seharusnya langit malam hari terlihat cerah. Nyatanya, langit tetap terlihat gelap. Ini bisa terjadi setidaknya karena dua hal, yaitu cahaya yang terlalu lemah untuk diproses oleh mata atau memang tak sampai ke mata.
Ilmuwan modern menjelaskan cahaya yang tak terproses mata ini, dengan memaparkan bahwa selama cahaya menjelajahi alam semesta, alam semesta ini berubah dan mengembang. Jarak dalam ruang terus meluas sehingga cahaya harus menempuh jarak yang lebih jauh daripada jarak sebenarnya antara sumber cahaya dan pengamat. Hal ini tak mungkin terjadi jika alam semesta bersifat statis.
Paradoks Olbers memicu para astronom berpikir ulang mengenai model alam semesta yang seharusnya. Di antaranya yang diakui para ilmuwan saat ini adalah penelitian Georges Lemaître dan Edwin Hubble seputar pengembangan alam semesta melalui Hukum Hubble yang terkenal itu. Bukti pengembangan alam semesta kemudian ditemukan tahun 1964 oleh Arno Penzias dan Robert Wilson, berupa pancaran gelombang mikro yang seragam dari seluruh penjuru semesta.
Kini banyak orang sudah memahami bahwa alam semesta mengembang, melalui teori Dentuman Besar (“Big Bang”). Akan tetapi, teori Dentuman Besar ini menimbulkan pertanyaan baru terkait paradoks Olbers. Menurut teori Dentuman Besar, alam semesta muda adalah alam semesta yang amat panas, dan juga terang. Jika dulu alam semesta terang, mengapa kini kita melihat alam semesta yang gelap di malam hari?
Untuk menjelaskan ini, bayangkan alam semesta yang terang oleh cahaya. Setiap pancaran cahaya ini berbentuk gelombang sehingga ia mempunyai panjang gelombang tertentu yang saat itu besarnya cukup untuk terlihat oleh mata manusia (biasa disebut cahaya tampak). Seiring mengembangnya alam semesta, ruang di dalamnya ikut mengembang. Cahaya di dalamnya juga ikut mulur sebagai akibat dari mengembangnya ruang.
Sebagai akibat dari “pemuluran” gelombang cahaya, panjang gelombangnya mulur menjadi lebih dari 1100 kali panjangnya semula. Alhasil, “gelombang cahaya tampak” ini sekarang telah “berubah wujud” menjadi “gelombang mikro”, gelombang tak kasat mata yang biasa dipakai untuk menghangatkan makanan dalam oven jenis tertentu. Pancaran gelombang mikro inilah yang ditemukan Penzias dan Wilson dan menjadi bukti kuat akan teori Dentuman Besar.
Sebelumnya, telah disampaikan dua jawaban atas pertanyaan Olbers: cahaya yang terlalu lemah untuk diproses oleh mata, atau cahaya yang memang tak sampai ke mata. Dari penemuan Penzias dan Wilson, rupanya ada jawaban ketiga: memang betul-betul ada cahaya yang dipancarkan yang tak lagi kasat mata!
Menarik, bukan? Ternyata pertanyaan yang begitu sederhana dan terdengar “bodoh” seputar warna langit bisa menyimpan pengetahuan yang begitu mendalam jika kita teliti lebih jauh. Oleh karena itu, mari terus bertanya! Mungkin suatu saat nanti kita sendiri yang menghasilkan penemuan penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Bahan bacaan:
- http://spaceplace.nasa.gov/blue-sky/en/
- http://en.wikipedia.org/wiki/Olbers’_paradox
- http://math.ucr.edu/home/baez/physics/Relativity/GR/olbers.html
Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, alumnus Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.